Resonansi

Sudut Pandang

Sudut pandang bukan sekadar gaya menulis, tetapi strategi penting yang menentukan fokus, narasi, dan dampak dari sebuah berita.

|
Penulis: Ade Mayasanto | Editor: Fitriadi
Dok. Ade Mayasanto
Ade Mayasanto, Editor in Chief Bangka Pos/Pos Belitung. 

Ade Mayasanto, S.Pd., M.M.

Editor in Chief 
Bangka Pos/Pos Belitung

"Hidup ini soal sudut pandang," ujar seorang pria di sudut meja cafe dan resto, Pangkalpinang, Rabu (30/7) lalu.

Tiga orang duduk berhadapan dan satu yang lain di sebelahnya diam membisu.

Tak ada yang menimpali ucapan tersebut.

Semua diam, duduk sambil melahap pisang, singkong atau bakwan beriris wortel tipis-tipis. 

Pria ini baru saja melalui usia ke-50 tahun.

Saya kebetulan duduk berhadapan dengannya.

Semula mencoba diam, tapi akhirnya memilih menimang-nimang, sambil mengecap sesuatu yang masam atas sebuah bakwan beriris wortel beraroma efesiensi.

Saya mencoba memperhatikan kawan satu ini.

Ucapan sang kawan sepertinya bukan candaan.

Kulit wajah yang mulai meleyot ke kanan dan kiri, seperti ingin menceritakan sesuatu secara mendalam. 

Tapi, bukannya hari itu kami hadir untuk merayakan ulang tahunnya. Lalu buat apa susah, toh. Seperti lagu Koes Plus yang kerap hilir mudik di telinga ini. 

Namun, lagi-lagi saat melihat raut wajah sang kawan begitu sangat menyedihkan.

Saya lalu memberanikan diri untuk bertanya.

Walau, pertanyaan yang dilontarkan sebenarnya hanya basa-basi. "Maksudnya apa tuh?" tanya saya sependek mungkin.

Pertanyaan pendek berlatar basa-basi, ternyata di luar dugaan langsung disambar dengan sebuah cerita panjang oleh kawan secara bersemangat.

"Kisah ini bermula dari anak kecil di sebuah kereta api pada senja hari," ucapnya.

Alkisah, anak kecil ini berulah di gerbong penumpang kereta api.

Ia berlari sambil berteriak Mama dengan suara parau.

Beberapa penumpang mulai kesal lantaran mereka ingin beristirahat, ingin melepas kelelahan sehabis bekerja seharian.

Ada penumpang yang kemudian menyuruh sang anak diam.

Sementara yang lain hanya mengeluh kesal gegara aksi sang anak di lorong gerbong kian menjadi-jadi.

Kini sang anak meraung, menangis dan sesekali duduk di pangkuan seorang pria tua. 

Satu penumpang kemudian memberanikan diri menghampiri seorang pria yang sedari tadi mencoba menenangkan sang anak laki-laki ini.

Namun, setelah menegur pria itu, penumpang ini justru menutup rapat-rapat wajahnya.

Mata penumpang ini berkaca-kaca saat kembali ke kawannya yang masih satu gerbong dengannya.

Sambil berbisik, penumpang ini berkata, "Anak itu baru saja kehilangan ibunya."

Rupanya, tanpa sadar yang diutarakan bukan bisikan.

Bukan hanya kawannya saja yang mendengar.

Pelan namun pasti, bisikan itu menjadi bahan pengetahuan bersama. 

Penumpang lain mendekat ke arah bocah laki-laki ini.

Ia membelai rambut dan punggung sang anak. Rasa kesal mendadak berubah jadi sesal.

Satu per satu penumpang mulai menampilkan rasa iba.

Mereka justru bahagia ketika bocah tampil dalam gurauan, candaan atau kenakalan yang sedari tadi membuat mereka kesal. 

Ulah anak itu seolah bukan lagi sekedar kenakalan.

Mereka seolah tersadarkan bahwa sang anak tengah mencari pegangan di dunia yang tiba-tiba sunyi.

Ia tidak tahu harus kemana, tidak tahu siapa yang akan merawatnya.

Baginya, ia hanya mengenal satu panggilan, Mama!

Namun, mamanya tidak lagi menjawab panggilannya.

Saya yang mendengar kisah itu nyaris saja ikut melelehkan air mata.

Kisah ini mengingatkan bahwa perilaku yang tampak mengganggu, bisa jadi karena ada luka yang dalam.

Dan anak-anak tidak selalu bisa mengungkapkan kepedihan itu dengan kata-kata.

Kadang, mereka hanya bisa menangis, berlari atau berteriak.

"Jadi, hidup itu soal sudut pandang," kata kawan mengakhiri cerita. 

Ia tidak bicara lebih lanjut soal sudut pandang hidup.

Saya lalu memaknai sendiri soal sudut pandang hidup dari kisah sang anak kecil, di sebuah ruang kantor.

Maklum, pertemuan itu bubar saat adzan Dzhuhur berkumandang. 

Di ruang kantor, saya mengingat-ingat cerita kawan soal anak di dalam kereta api.

Dari kisah pendek itu, bolak-balik saya diajak untuk memaknai, menilai, merespons sebuah kehidupan atas pengalaman, nilai dan keyakinan yang selama ini melekat.

Namun, atas semua itu, saya diingatkan bahwa ada cerita lain yang mesti dilihat bukan dari kaca mata orang pertama.

Bisa saja dari orang ketiga, atau campuran dari keduanya. 

Saya termenung.

Sebab, di dunia jurnalistik, sudut pandang sudah lama saya kenal.

Dalam dunia jurnalistik, sudut pandang merujuk pada cara atau arah penulisan berita yang dipilih oleh wartawan untuk menyampaikan informasi kepada publik.

Jadi sudut pandang bukan sekadar gaya menulis, tetapi strategi penting yang menentukan fokus, narasi, dan dampak dari sebuah berita.

Nah, dalam kehidupan, sudut pandang bukan sekedar teknik, tapi menjadi jendela emosi dan makna.

Kenapa menjadi jendela emosi dan makna?

Sebab, sudut pandang hidup bisa berubah seiring waktu.

Rasa kehilangan, cinta, kegagalan atau keberhasilan, terkadang menjadi titik balik atas sebuah sudut pandang. 

Ahli neulogi Dr. Melissa Chen mengingatkan bahwa melihat masalah dari berbagai sudut pandang mengaktifkan lebih banyak neuron, memicu kreativitas dan solusi inovatif.

Yang muncul bukan lagi sekedar opini pribadi, melainkan hasil refleksi mendalam tentang makna, tujuan dan nilai hidup. 

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved