Memahami Radiasi Nuklir dan Risiko Minimal pada Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir

Energi ini bisa berasal dari berbagai sumber, mulai dari cahaya matahari, panas api, hingga sinar radio dan sinar-X. Dalam kehidupan...

Istimewa/ dok Andri Yanto
Andri Yanto, Legal Associate PT Thorcon Power Indonesia 

Oleh: Andri Yanto, Legal Associate PT Thorcon Power Indonesia

SEBAGIAN besar energi yang digunakan oleh manusia dan makhluk hidup di Bumi sebenarnya berasal dari energi nuklir. Sekilas pernyataan ini mungkin terdengar berlebihan, namun secara teknis hal tersebut benar adanya. Sumber energi utama dunia saat ini memang berasal dari bahan bakar fosil: batu bara, minyak bumi, dan gas alam. Namun, fosil-fosil tersebut tidak muncul begitu saja. Kata fossil sendiri merujuk pada sisa-sisa makhluk hidup purba yang telah mati jutaan tahun lalu, kemudian terurai dan secara kimiawi membentuk senyawa hidrokarbon dan metana, komponen utama dari energi fosil.

Lalu, apa kaitannya dengan energi nuklir? Jawabannya terletak pada matahari. Semua makhluk hidup purba yang kemudian menjadi fosil, dahulu memperoleh energi dari sinar matahari untuk bertahan hidup. Matahari sendiri adalah reaktor nuklir raksasa, tempat berlangsungnya proses fusi nuklir, penggabungan inti atom hidrogen menjadi helium yang melepaskan energi dalam jumlah luar biasa besar. Energi dari reaksi nuklir inilah yang menjelma menjadi cahaya dan panas matahari, sumber kehidupan di Bumi.

Lebih jauh, energi matahari tidak hanya memungkinkan tumbuhan tumbuh, tetapi juga menggerakkan sirkulasi udara dan arus laut yang menciptakan angin. Bahkan energi panas bumi (geothermal) pun merupakan hasil dari peluruhan radioaktif (radioactive decay) unsur-unsur berat seperti uranium, thorium, dan kalium di dalam inti Bumi.

Jika ditelusuri ke asalnya, hampir seluruh bentuk energi di dunia, mulai dari energi fosil, surya, angin, hingga panas bumi, semuanya berasal dari hasil reaksi nuklir, baik yang terjadi di dalam matahari maupun di perut Bumi. Satu-satunya pengecualian hanyalah reaksi nuklir buatan manusia di PLTN itu sendiri, yang justru merupakan bentuk pemanfaatan langsung dan terkendali dari fenomena yang sama.

Radiasi dan Radiasi Nuklir

Hukum Termodinamika pertama menegaskan bahwa energi itu kekal, tidak dapat diciptakan dan tidak dapat dimusnahkan, namun dapat diubah dari satu bentuk ke bentuk lainnya. Perubahan atau permindahan bentuk ini terjadi melalui suatu proses yang disebut sebagai radiasi. Secara sederhana, radiasi adalah proses perpindahan energi dari satu tempat ke tempat lain dalam bentuk gelombang atau partikel. Energi ini bisa berasal dari berbagai sumber, mulai dari cahaya matahari, panas api, hingga sinar radio dan sinar-X. Dalam kehidupan sehari-hari, kita selalu berinteraksi dengan berbagai jenis radiasi, baik yang alami maupun buatan. Cahaya yang kita lihat, panas yang kita rasakan, bahkan sinyal dari ponsel dan radio, semuanya merupakan bentuk radiasi.

Radiasi terbagi menjadi dua kelompok besar: radiasi non-pengion dan radiasi pengion. Radiasi non-pengion memiliki energi rendah dan tidak mampu mengubah struktur atom atau molekul. Contohnya adalah cahaya tampak, gelombang radio, dan sinar inframerah. Radiasi pengion, sebaliknya, memiliki energi cukup besar untuk melepaskan elektron dari atom dan membentuk ion. Inilah jenis radiasi yang dikenal sebagai radiasi nuklir.

Radiasi nuklir berasal dari inti atom yang tidak stabil, atau disebut radioaktif. Untuk mencapai kestabilan, inti atom tersebut melepaskan energi dalam bentuk partikel atau gelombang elektromagnetik. Proses ini disebut peluruhan radioaktif (radioactive decay). Terdapat tiga jenis utama radiasi nuklir: (i) Radiasi Alfa (α) – berupa partikel berat yang terdiri atas dua proton dan dua neutron; mudah dihentikan oleh kertas, namun berbahaya jika masuk ke dalam tubuh; (ii) Radiasi Beta (β) – berupa elektron atau positron berenergi tinggi; mampu menembus bahan tipis seperti plastik atau aluminium; (iii) Radiasi Gamma (γ) – berupa gelombang elektromagnetik berenergi sangat tinggi dengan daya tembus kuat; hanya bisa ditahan oleh lapisan timbal atau beton tebal.

Fenomena radiasi nuklir tidak hanya terjadi di reaktor atau laboratorium, tetapi juga secara alami di alam. Unsur-unsur seperti uranium, thorium, dan radium yang terdapat di batuan dan tanah secara terus-menerus memancarkan radiasi. Bahkan tubuh manusia pun mengandung isotop alami seperti kalium-40, yang memancarkan radiasi dalam jumlah sangat kecil dan tidak berbahaya.

Radiasi, termasuk radiasi nuklir, adalah bagian dari mekanisme alam yang terus berlangsung di sekitar kita. Ketika dikelola dengan teknologi dan pengamanan yang tepat, radiasi justru menjadi sumber energi dan kemajuan ilmu pengetahuan yang sangat bermanfaat bagi kehidupan manusia.

Radiasi Terkendali pada PLTN

Sebagai salah satu bentuk perpindahan energi, radiasi pada dasarnya tidak berbahaya selama tetap berada dalam kendali. Risiko baru muncul apabila radiasi terjadi secara tidak terkendali, karena dalam kondisi tersebut energi dilepaskan secara mendadak, terpusat, dan dalam jumlah yang sangat besar. Contoh radiasi yang tidak terkendali dapat ditemukan pada ledakan bom nuklir atau kecelakaan reaktor yang disebabkan oleh kegagalan sistem pendingin, seperti peristiwa Chernobyl dan Fukushima. Dalam kasus semacam itu, pancaran energi besar dilepaskan ke lingkungan, menimbulkan paparan radiasi yang dapat membahayakan makhluk hidup dan mencemari area sekitarnya untuk waktu yang lama.

Berbeda dengan radiasi tidak terkendali, PLTN merupakan contoh paling jelas dari radiasi terkendali. Semua proses di dalam reaktor, mulai dari fisi nuklir hingga pembuangan limbah, berada dalam pengawasan ketat dan berlapis. Paparan radiasi yang dilepaskan ke lingkungan sangat kecil dan jauh di bawah batas aman yang ditetapkan. Misalnya, pada jarak sekitar 0,8 km dari PLTN, dosis radiasi maksimum yang diterima masyarakat hanya sekitar 0,332 mSv per tahun, jauh di bawah batas aman 1 mSv per tahun yang ditetapkan oleh BAPETEN dan IAEA. Semakin jauh dari reaktor, tingkat radiasi yang diterima semakin kecil, bahkan tidak signifikan, hanya sekitar 0,05 mSv per tahun pada jarak 50 km.

Jika dibandingkan, radiasi dari PLTN justru lebih kecil daripada radiasi dari pembangkit listrik berbahan bakar fosil seperti PLTU. PLTN menghasilkan sekitar 50 kCi radiasi (terutama dari gas Xenon dan Krypton yang terkurung dalam bahan bakar nuklir), sedangkan PLTU menghasilkan sekitar 2 Ci radiasi dari abu terbang yang keluar melalui cerobong. Meskipun angka radiasi PLTU terlihat lebih kecil, dampaknya terhadap kesehatan justru lebih besar karena partikel abu tersebut dapat terhirup dan menetap di paru-paru. Sebaliknya, radiasi dari PLTN bersifat eksternal, tidak menetap dalam tubuh, dan berada di bawah kendali sistem pelindung reaktor.

Lebih dari itu, radiasi dari PLTN bahkan lebih kecil dibandingkan dengan radiasi alami (background radiation) yang selalu ada di sekitar kita. Setiap manusia setiap hari terpapar radiasi kosmik dari matahari, batuan bumi, serta unsur radioaktif alami seperti radon dan kalium-40 dalam tubuh. Artinya, seseorang yang tinggal di sekitar PLTN menerima dosis radiasi yang masih lebih rendah dibandingkan dengan radiasi alami yang diterima setiap hari dari lingkungan.

Keamanan radiasi PLTN juga dijamin oleh sistem pertahanan berlapis (defense in depth). Bahan bakar nuklir berbentuk keramik yang kokoh, dilindungi oleh cladding logam, disimpan dalam bejana reaktor baja tebal, dan seluruhnya tertutup di dalam struktur containment dari beton bertulang yang sangat kuat. Desain berlapis ini memastikan bahwa bahkan dalam kondisi ekstrem, produk fisi radioaktif tidak akan keluar ke lingkungan.

Sebagai perbandingan, paparan radiasi dari prosedur medis seperti rontgen atau CT scan jauh lebih tinggi daripada paparan radiasi dari PLTN. Seseorang yang menjalani satu kali CT scan bisa menerima dosis hingga beberapa milisievert, sedangkan masyarakat di sekitar PLTN hanya menerima sebagian kecil dari itu dalam satu tahun penuh. Fakta ini menunjukkan bahwa radiasi dari PLTN sangat kecil, aman, dan tidak membahayakan kesehatan masyarakat maupun lingkungan.

Fitur Keselamatan Radiasi pada Teknologi Thorcon 500

Teknologi PLTN Thorcon 500 merupakan salah satu contoh penerapan reaktor garam cair atau Molten Salt Reactor (MSR) yang dirancang dengan tingkat keselamatan radiasi sangat tinggi. Berbeda dengan reaktor konvensional yang bekerja pada tekanan tinggi, reaktor MSR beroperasi pada tekanan rendah, sehingga risiko ledakan atau kebocoran akibat tekanan ekstrem hampir tidak ada. Thorcon mengusung konsep walk-away safe, yaitu sistem keselamatan pasif yang mampu mematikan reaksi fisi secara otomatis tanpa perlu campur tangan operator jika terjadi kondisi darurat, misalnya kehilangan daya eksternal.

Keselamatan radiasi pada teknologi Thorcon juga dijamin melalui prinsip pertahanan berlapis (defense-in-depth). Di dalam desainnya, terdapat sedikitnya tiga lapisan penghalang antara bahan radioaktif dan lingkungan: mulai dari bahan bakar dalam bentuk garam cair yang stabil, lapisan pelindung bahan bakar (fuel cladding), bejana reaktor, hingga struktur containment dari baja dan beton bertulang. Sistem berlapis ini memastikan bahwa produk fisi dan material radioaktif tidak akan keluar ke lingkungan meskipun terjadi gangguan pada salah satu lapisan pelindung.

Radiasi yang dihasilkan dalam operasi normal juga sangat rendah. Berdasarkan kajian distribusi dosis neutron dan foton cepat pada tipe reaktor Thorcon 500, tingkat paparan di sekitar fasilitas dipastikan berada jauh di bawah ambang batas aman bagi pekerja maupun masyarakat. Hal ini sejalan dengan standar keselamatan internasional dan batas paparan tahunan yang ditetapkan oleh BAPETEN dan IAEA. Dengan demikian, dari sisi radiasi, PLTN berbasis MSR seperti Thorcon 500 dapat dikategorikan sebagai bentuk radiasi terkendali, seluruh proses fisi, pendinginan, dan pembuangan limbahnya berlangsung dalam sistem tertutup dan termonitor dengan presisi tinggi.

Dari perspektif lingkungan, desain Thorcon 500 memberikan keuntungan tambahan karena risiko pelepasan radiasi ke atmosfer atau air laut sangat minim, bahkan lebih kecil dibandingkan pembangkit listrik berbahan bakar fosil yang menghasilkan partikel radioaktif dari pembakaran batubara. Sistem tekanan rendah dan kemampuan bahan garam cair untuk membeku secara otomatis ketika terjadi gangguan membuat potensi kecelakaan besar yang melibatkan pelepasan radiasi hampir mustahil terjadi.

Indonesia Menyusul Dunia

Energi nuklir saat ini menyumbang 9 persen dari total kapasitas listrik secara global, dengan 440 reaktor yang aktif beroperasi di seluruh dunia. Saat ini, lebih dari 50 negara telah mengoperasikan reaktor riset, selain PLTN, sebanyak 220 reaktor, dan tiga diantaranya ada di Indonesia, yakni Reaktor Serba Guna GA. Siwabessy di Serpong, reaktor TRIGA 2000 Bandungdi Bandung, dan reaktor Kartini di Yogyakarta.

Dunia telah mengenal reaktor komersial sejak 1960an. Teknologi PLTN yang dikembangkan pada era tersebut menjadi tulang punggung kemajuan industri di negara masing-masing. Prancis menikmati persentase terbesar dari energi nuklir dengan 70 % energinya dihasilkan oleh PLTN, sementara Amerika Serikat adalah pengguna dengan kapasitas terbesar yang mencapai 772.2 TWh. Saat ini, dunia berlomba untuk meningkatkan kapasitas energi nuklir. Pada COP 28 di Dubai 2023 lalu, lebih dari 20 negara pengguna PLTN mendeklarasikan komitmen Triple Nuclear Energy, untuk meningkatkan penggunaan nuklir tiga kali lipat pada 2050. Pada COP29 di Ajerbaijan, sebanyak 6 negara lain turut bergabung. Nuklir akan ditingkatkan kapasitasnya karena terbukti merupakan energi yang aman, andal, dan dapat mendukung pencapaian nol emisi karbon.

Negara-negara di Asia sendiri saat ini semakin kuat mendorong pemanfaatan nuklir. Pada 2025, India sedang membangun PLTN Rajashtan 7 dengan daya 630 MW yang ditargetkan selesai tahun ini, sementara Tiongkok sedang membangun 4 PLTN baru, dan Korea Selatan 1 PLTN.

Indonesia sendiri, merupakan satu-satunya dari lima negara berpopulasi terbesar: India, Tiongkok, Amerika Serikat, dan Brazil, yang belum mengoperasikan PLTN. Progres Indonesia dalam pembangunan PLTN tertinggal dari negara-negara tersebut, meski Indonesia adalah salah satu negara yang paling awal menargetkan rencana pembangunan PLTN sejak era Soekarno, dan telah mendirikan Badan Tenaga Atom Nasional (BATAN – sekarang BRIN) pada 1958. 67 tahun lalu.

Kendari tertinggal, Indonesia tidak harus pesimis dalam proyeksi pemanfaatan energi nuklir, sebaliknya harus kembali dan terus optimis dalam menyusun rencana strategis dan target yang dapat dicapai dalam waktu dekat. Indonesia perlu segera mewujudkan pembangunan PLTN pertama, yang ditargetkan beroperasi pada tahun 2032 di Bangka Belitung, dan menjadi milestone menuju pembangunan PLTN untuk mencapai transisi energi dan NZE 2060 mendatang.

Target pemerintah untuk dapat mengoperasikan PLTN pertama pada tahun 2032 memberikan limitasi opsi pada teknologi yang mungkin digunakan, berdasarkan rata-rata lama waktu yang dibutuhkan untuk pembangunan hingga operasi komersial. Pilihan strategis untuk target tersebut adalah PLTN generasi maju (advance reactor), salah satunya dengan teknologi MSR pada PLTN Thorcon 500. (*/E0)

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
KOMENTAR

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved