PLTN Generasi IV Bukan Ajang Coba-coba, Saatnya Berpikir Positif dan Percaya Diri sebagai Bangsa

Sering kali kita tergoda untuk menilai sesuatu sebelum benar-benar memahaminya. Apalagi jika topiknya menyangkut teknologi besar seperti PLTN

IST
Elvira Fidelia Tanjung, Engineering & Nuclear Fuel Development Junior Manager 

BANGKAPOS.COM - Di tengah derasnya arus informasi dan opini, sering kali kita tergoda untuk menilai sesuatu sebelum benar-benar memahaminya. Apalagi jika topiknya menyangkut teknologi besar seperti Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN).

Ada yang langsung curiga, ada yang takut, ada pula yang menyimpulkan tanpa dasar bahwa Indonesia dijadikan “kelinci percobaan” jika membangun PLTN generasi baru, seperti Molten Salt Reactor (MSR). Padahal, cara berpikir semacam ini bukan hanya keliru, tapi juga berbahaya karena bisa menghambat kemajuan yang sebenarnya kita butuhkan.

Bangsa yang maju bukan bangsa yang selalu berkata “jangan”, “takut”, atau “nanti saja”. Mereka adalah bangsa yang belajar, menilai dengan akal sehat, lalu melangkah dengan keyakinan. Kemajuan tidak pernah lahir dari rasa curiga, tetapi dari keberanian yang disertai pengetahuan. Dan semua itu dimulai dari pikiran positif.
 
Bangsa Besar Tidak Dibangun oleh Orang-orang Penakut
Indonesia bukan bangsa yang didirikan oleh orang-orang pengecut. Para pendiri bangsa bukan ilmuwan nuklir, bukan insinyur reaktor, bukan ahli teknologi canggih tetapi mereka memiliki satu modal besar: cara berpikir positif dan keberanian menghadapi masa depan. Mereka tidak bertanya “Apa risikonya?”, tapi “Apa yang harus kita lakukan agar bangsa ini berdiri sejajar dengan bangsa lain?”
Kini, ketika kita bicara soal energi masa depan khususnya energi bersih dan andal reaktor generasi IV seperti MSR menjadi salah satu opsi strategis. Tapi sebagian orang terburu-buru menolak dengan narasi menakutkan: eksperimen, coba-coba, proyek asing, dan seterusnya. Apakah itu cermin bangsa yang percaya diri? Atau cermin bangsa yang traumatik, yang lebih nyaman hidup dalam ketakutan dibanding peluang?
 
PLTN Generasi IV: Bukan Uji Coba, Bukan Teknologi Misterius
Banyak yang belum tahu bahwa teknologi reaktor garam cair (MSR) bukan barang baru yang baru diuji kemarin sore. Konsep ini sudah dikembangkan sejak tahun 1950-an di Amerika Serikat. Kemudian, riset dan pengembangannya diteruskan oleh berbagai negara seperti Kanada, Tiongkok, Prancis, dan Inggris. Cina bahkan sudah mengoperasikan prototipe MSR berskala kecil sejak 2021.
Artinya, ketika Indonesia mulai bicara tentang MSR, kita bukan memesan kotak misterius yang belum pernah diuji di dunia. Kita sedang melangkah menuju teknologi yang sudah dipertimbangkan secara global, bahkan masuk dalam kategori Reaktor Generasi IV—kelas reaktor dengan tingkat keselamatan tinggi, sistem pasif, dan limbah yang lebih sedikit dibanding reaktor lama.
Pertanyaannya: mengapa ketika dunia bergerak maju, kita justru diam sambil berasumsi buruk?
 
“Kelinci Percobaan” Adalah Narasi Ketakutan, Bukan Fakta 
Ketika sebagian orang berkata “jangan jadikan Indonesia kelinci percobaan”, mereka seolah lupa bahwa:
1. Kita punya regulasi dan lembaga pengawas resmi, seperti BAPETEN, dan standar internasional dari IAEA.
2. Tidak ada PLTN yang boleh dibangun tanpa lisensi dan kajian keselamatan puluhan dokumen teknis harus disetujui dulu sebelum batu pertama diletakkan.
3. Indonesia sudah lebih dari 40 tahun mengoperasikan reaktor riset nuklir tanpa ada kecelakaan serius.
4. Kerja sama internasional bukan bentuk eksploitasi, tapi bagian dari perkembangan ilmu pengetahuan global.
Kalau begitu, siapa yang sesungguhnya sedang “mencoba-coba”? Para ahli yang riset, mengkaji, menganalisis, dan menyiapkan generasi baru? Atau mereka yang menolak sebelum membaca?
 
Berpikir Negatif Itu Menular—Begitu Juga Optimisme
Satu opini negatif bisa menyulut seribu ketakutan lain. Sekali stigma terbentuk, dia akan bertahan bertahun-tahun, bahkan ketika faktanya sudah berubah. Inilah yang terjadi pada kata “nuklir”: pikiran langsung melompat ke Chernobyl atau Fukushima, padahal teknologinya sudah jauh bergeser.

Jika kita selalu melihat dari kaca mata traumatik, kita akan melewatkan kesempatan emas. Dulu internet pun dianggap berbahaya. Ponsel dianggap merusak moral. Pesawat dianggap terlalu berisiko. Tapi bangsa yang maju tidak berhenti pada rasa takut. Mereka bertanya: bagaimana membuatnya aman? bagaimana memberi manfaat sebesar-besarnya?
 
Belajar Dulu, Baru Berpendapat
Sebelum menghakimi bahwa nuklir itu berbahaya atau MSR itu coba-coba, mari lihat terlebih dahulu:
* MSR bekerja pada tekanan rendah, sehingga risiko ledakan fisik jauh lebih kecil.
* Jika suhu naik, reaksi inti otomatis melambat bekerja secara pasif.
* Jika ada gangguan, bahan bakar cair akan mengalir sendiri ke penampung aman tanpa perlu tombol darurat.
* Limbahnya lebih sedikit, lebih mudah dikelola, dan sebagian bisa didaur ulang.
* Tidak menghasilkan gas hidrogen yang bisa memicu ledakan seperti kasus Fukushima.
Ini bukan khayalan ilmuwan, tetapi hasil riset global selama puluhan tahun. Dan banyak negara tidak menunggu hingga 2050 untuk mengadopsinya mereka sedang mempersiapkan sekarang.
 
Jika Kita Selalu Menunggu “100 Persen Aman”, Kita Tidak Akan Bergerak
Tidak ada teknologi di dunia yang “tidak ada risiko sama sekali”. Yang bisa kita bangun adalah sistem yang bertanggung jawab, berbasis pengetahuan, diawasi ketat, dan didukung masyarakat yang paham. Itulah esensi peradaban.
Kalau kita menolak semua hal karena pernah ada insiden di belahan dunia lain, maka:
* Kita tidak akan punya pesawat
* Tidak punya kapal ferri
* Tidak berani membangun jembatan
* Tidak percaya pada rumah sakit
* Tidak pernah memproduksi listrik
Coba bayangkan, apa jadinya jika leluhur bangsa ini dulu berkata “merdeka itu terlalu berbahaya, jangan coba-coba”?
 
Kemajuan Dimulai dari Pikiran Kita
Berpikir positif bukan berarti naif atau menutup mata terhadap risiko. Justru sebaliknya, berpikir positif berarti mau memahami, mau terlibat, mau mengawasi, dan mau memberi kesempatan pada solusi yang lebih baik.
Bangsa Indonesia tidak kekurangan otak cerdas. Yang kita butuhkan hari ini adalah pola pikir yang optimis, percaya diri, dan tidak curiga pada upaya bangsanya sendiri.

PLTN generasi IV bukan proyek dadakan. Bukan uji coba berisiko. Bukan titipan asing. Ini adalah bagian dari transformasi energi yang sedang ditempuh banyak negara, dan kita berhak menjadi bagian darinya.
 
Mari Mengubah Arah Percakapan Nasional
Daripada mengulang kata “takut”, lebih baik kita bertanya:
* Apa manfaatnya untuk masa depan energi bersih kita?
* Bagaimana keterlibatan universitas lokal dan SDM nasional?
* Teknologi keamanannya seperti apa?
* Apa peluang ekonominya bagi daerah seperti Bangka Belitung?
* Apa peran masyarakat dalam pengawasan?
Pertanyaan itu jauh lebih sehat daripada kalimat “jangan sampai kita dijadikan percobaan”.
 
Penutup: Optimisme Itu Tanggung Jawab, Bukan Pilihan
Setiap negara maju lahir dari keberanian mengambil langkah yang tidak diambil negara lain. Bukan ceroboh, tapi visioner. Bukan ikut-ikutan, tapi berdaulat. MSR dan PLTN generasi IV adalah jalan yang bisa membawa Indonesia menuju energi bersih, stabil, dan kuat. Tapi tidak akan pernah terlaksana jika pikiran bangsa ini terus dikurung oleh opini negatif.

Mari mulai dari satu hal sederhana: belajar dulu sebelum menolak, memahami dulu sebelum takut, dan berpikir positif sebelum mencurigai. Karena masa depan tidak dibangun oleh orang-orang yang selalu berkata “jangan”, tapi oleh mereka yang berani berkata “mengapa tidak?” (*/E0)

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
KOMENTAR

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved