Saat itu, ada wacana agar Kabinet Pembangunan VII dibubarkan dan tidak sekadar dirombak.
Ini diperlukan agar orang yang terpilih tidak malu.
Namun, belum sempat wacana itu muncul, Soeharto mengatakan, "Urusan kabinet adalah urusan saya."
Para menko itu heran karena Soeharto sudah tahu, hingga tidak ada yang berani membicarakan wacana itu.
Kemudian esok harinya, 19 Mei 1998, Soeharto bertemu ulama dan tokoh masyarakat di kediamannya, Jalan Cendana, Jakarta Pusat.
Usai pertemuan yang juga dihadiri tokoh seperti Abdurrahman Wahid dan Nurcholish Madjid itu, Soeharto menyatakan bahwa dia akan melakukan reshuffle kabinet dan membentuk Komite Reformasi.
Menurut Nurcholish, ide itu murni datang dari Soeharto.
Tidak ada tokoh yang menyampaikannya kepada Bapak Pembangunan tersebut.
Tokoh seperti Nurcholis dan Gus Dur pun menolak terlibat dalam Komite Reformasi.
Di luar Cendana, penolakan juga disuarakan sejumlah tokoh.
Amien Rais misalnya, yang mempermasalahkan kapan pemilu itu akan dilaksanakan.
Menurut Amien, hal terpenting saat itu adalah mundurnya Soeharto.
Sehingga usulan Komite Reformasi dianggap hanya cara Soeharto mengulur waktu.
Sore harinya, Soeharto mendapat laporan bahwa sejumlah ekonom senior seperti Emil Salim dan Frans Seda bereaksi negatif atas usulan Komite Reformasi itu.
Penolakan ini yang membuat Soeharto semakin resah dan galau.
Puncak kebimbangan Soeharto Kegalauan Soeharto semakin bertambah pada 20 Mei 1998.