Aldy juga menjelaskan, berkaitan dengan sopir truk yang membawa 6,9 ton pasir timah ilegal tersebut apakah bisa dikenai sanksi hukum.
"Untuk menjawab hal tersebut harus diketahui terlebih dahulu sejauh mana pengetahuan sopir truk tersebut terhadap timah yang dibawanya. Apakah timah hasil curian dari pemilik IUP dalam hal ini PT Timah Tbk, atau hasil dari pertambangan ilegal," katanya.
Menurut Aldy, apabila sopir mengetahui timah tersebut berasal dari IUP PT Timah, sedangkan dia tidak memiliki izin pengangkutan, maka sopir tersebut bisa dikenakan turut serta melakukan tindak pidana pencurian.
"Sebagaimana Pasal 55 KUHP jo pasal 480 ke-1 KUHP tentang Penadahan. Namun, kalau ia mengetahui timah tersebut berasal dari pertambangan illegal atau tanpa IUP maka sopir dapat dikenakan Pasal 161 Undang-Undang 3 Tahun 2020," terangnya.
Ia menambahkan, apabila sopir dump truck tersebut hanya menjalankan tugas atau melaksanakan usaha jasa pengangkutan, maka sopir juga harus dapat mengungkap di hadapan penyidik.
"Siapa yang menyuruhnya atau aktor intelektualnya. Namun kalau sopir tidak dapat mengungkap dan membuktikan siapa orang yang menyuruhnya, mau tidak mau sopir harus dikenakan pertanggungjawaban pidana," ujarnya.
"Kalau pun seperti kita baca pada pemberitaan, sopir dipulangkan polisi bukan berarti sopir tersebut sudah lepas dari jeratan hukum. Namun, bisa jadi pihak kepolisian tidak menahan untuk sementara sampai ditemukan dua alat bukti yang cukup untuk menjadikan sopir dan aktor intelektualnya sebagai tersangka," tambahnya.
Oleh karena itu, Aldy mengharapkan polisi untuk dapat mengusut kasus ini sampai tuntas. Agar pemilik IUP tidak terus menerus dirugikan atas hilangnya timah yang ada di IUP miliknya.
Ia menjelaskan berkaitan aturan atau undang-udang apa yang dipakai untuk sanksi atau hukuman terhadap penambangan ilegal, pengangkutan pasir timah adalah untuk penambang Ilegal Pasal 158 UU No 3 Tahun 2020, yang berbunyi, setiap orang yang melakukan penambangan tanpa iin sebagaimana dimaksud dalam pasal 35 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp100.000.000.000 (seratus miliar rupiah)
Sedangkan untuk pengangkut Pasal 161 Undang-Undang Nomor 3 tahun 2020, yaitu setiap orang yang menampung, memanfaatkan, melakukan pengolahan dan/ atau pemurnian, pengembangan dan/atau pemanfaatan, pengangkutan, penjualan mineral dan/atau batu bara yang tidak berasal dari pemegang IUP, IUPK, IPR, SIPB atau izin sebagaimana dimaksud dalam pasal 35 ayat 3 huruf c dan huruf g, pasal 104, atau pasal 105 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp 100.000.000.000 (seratus miliar rupiah). (riu/s2/v1)