Tribunners

Reformasi Pelayanan Publik di Babel dalam Perspektif New Public Service

Reformasi pelayanan publik di Babel dapat diarahkan pada pembangunan tata kelola yang inklusif, partisipatif, berorientasi pada kepentingan bersama

Editor: suhendri
Dokumentasi Apsas Saputra
Apsas Saputra, S.AP., M.AP. - Dosen Ilmu Politik Universitas Bangka Belitung 

Oleh: Apsas Saputra, S.AP., M.AP. - Dosen Ilmu Politik Universitas Bangka Belitung

REFORMASI pelayanan publik merupakan sebuah keniscayaan dalam rangka memperkuat tata kelola pemerintahan daerah, termasuk di Kepulauan Bangka Belitung (Babel). Sebagai provinsi kepulauan dengan karakteristik wilayah yang unik terdiri dari pulau-pulau besar dan kecil, sumber daya alam yang melimpah, serta keberagaman masyarakat Bangka Belitung membutuhkan model pelayanan publik yang adaptif, inklusif, dan mampu menjawab kebutuhan warga secara demokratis. Hal tersebut selaras dengan yang diinginkan oleh Ombudsman Republik Indonesia. 

Sedikit menjelaskan bahwa Ombudsman merupakan lembaga negara yang mengawasi penyelenggaraan pelayanan publik oleh pemerintah dan badan usaha milik negara/daerah, serta badan swasta atau perseorangan yang diberi tugas oleh negara untuk mencegah terjadinya malaadministrasi atau tindakan penyalahgunaan kekuasaan dan wewenang. 

Guna perbaikan pelayanan di Kepulauan Bangka Belitung, Ombudsman melakukan memorandum of understanding (MoU) dengan Fisip Universitas Bangka Belitung. Kegiatan bertajuk “Pelayanan Publik dan Pembangunan Daerah” tersebut dilaksanakan pada 10 September 2025

Anggota Ombudsman RI Robert Na Endi Jaweng mengatakan bahwa pentingnya pelayanan publik. Ombudsman ingin melibatkan masyarakat khususnya generasi muda dalam mendorong perbaikan layanan publik di daerah. “Setiap kali kami ke daerah, kami  menemukan bahwa yang mengenal Ombudsman belum sampai 30 persen,” kata Robert. 

Teori New Public Service

Teori New Public Service (NPS) yang dikembangkan oleh Janet V. Denhardt dan Robert B. Denhardt dapat menjadi fondasi penting dalam mendorong reformasi pelayanan publik di daerah ini. Teori NPS menekankan bahwa pemerintah bukanlah entitas yang sekadar mengendalikan atau mengelola seperti perusahaan (sebagaimana paradigma New Public Management), melainkan berperan sebagai pelayan dan fasilitator bagi warga negara.

Fokus utama NPS adalah menempatkan masyarakat sebagai citizens, bukan sekadar customers. Hal ini relevan bagi Bangka Belitung, di mana masyarakat membutuhkan bukan hanya pelayanan administratif yang cepat, tetapi juga keterlibatan aktif dalam pengambilan keputusan yang menyangkut kepentingan bersama, seperti pengelolaan kelautan, pariwisata, lingkungan, dan pembangunan wilayah pesisir.

Pertama, reformasi pelayanan publik di Bangka Belitung harus berorientasi pada warga negara. Misalnya, dalam pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan, pemerintah daerah perlu melibatkan nelayan sebagai subjek utama, bukan sekadar penerima kebijakan. Dengan melibatkan mereka dalam musyawarah perencanaan pembangunan atau forum konsultasi publik, maka aspirasi warga dapat diakomodasi secara lebih adil.

Kedua, prinsip NPS menuntut pelayanan publik yang dikelola secara demokratis dan partisipatif. Bangka Belitung memiliki tantangan geografis berupa akses layanan yang tidak merata, terutama di pulau-pulau kecil. Melalui pendekatan partisipatif, pemerintah dapat menggandeng masyarakat lokal, organisasi masyarakat sipil, dan komunitas adat untuk merumuskan solusi pelayanan yang sesuai dengan kebutuhan daerah masing-masing. Hal ini penting agar reformasi pelayanan tidak bersifat seragam, tetapi kontekstual sesuai kondisi wilayah.

Ketiga, NPS menekankan bahwa pemerintah adalah fasilitator kolaborasi. Dalam konteks Babel, hal ini berarti pemerintah tidak bisa berjalan sendiri. Perbaikan layanan publik harus melibatkan perguruan tinggi, sektor swasta, komunitas pariwisata, hingga kelompok pemuda. Misalnya, dalam mengembangkan layanan publik berbasis digital, kolaborasi dengan generasi muda dan startup lokal bisa menjadi solusi untuk mempercepat transformasi pelayanan di wilayah kepulauan.

Keempat, reformasi pelayanan publik berbasis NPS menekankan akuntabilitas dan transparansi. Bagi Babel, hal ini krusial mengingat isu pertambangan timah dan dampaknya terhadap lingkungan masih menjadi sorotan publik. Dengan mekanisme layanan informasi publik yang transparan, masyarakat dapat ikut mengawasi kebijakan dan memastikan bahwa kepentingan warga lebih diutamakan dibanding kepentingan segelintir kelompok.

Harapan reformasi pelayanan publik

Praktik konkret reformasi pelayanan publik di Babel juga dapat diwujudkan melalui inovasi layanan digital. Misalnya, aplikasi layanan terpadu untuk kependudukan, perizinan, dan pengaduan masyarakat. Namun, agar tidak hanya berfokus pada efisiensi teknis, inovasi tersebut perlu memberi ruang bagi warga untuk memberikan masukan, kritik, dan usulan. Dengan begitu, pelayanan digital tidak hanya menjadi kanal administratif, tetapi juga wadah demokratisasi pelayanan publik. 

Dengan mengadopsi teori New Public Service, reformasi pelayanan publik di Kepulauan Bangka Belitung dapat diarahkan pada pembangunan tata kelola yang inklusif, partisipatif, dan berorientasi pada kepentingan bersama. Tantangan geografis dan sosial dapat diatasi melalui kolaborasi, keterbukaan, serta penghormatan terhadap warga sebagai pemegang kedaulatan. Dengan langkah ini, pelayanan publik tidak hanya lebih cepat dan efisien, tetapi juga lebih adil, transparan, dan sesuai dengan cita-cita demokrasi lokal di daerah kepulauan. (*)

 

Sumber: bangkapos
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved