Tribunners

Konflik Buaya vs Manusia dalam Perspektif Pelayanan Publik

Konflik berkepanjangan antara buaya dan manusia bukan hanya urusan konservasi semata, tetapi juga wajah dari pelayanan publik yang berkualitas

Editor: suhendri
Dokumentasi Kgs Chris Fither
Kgs Chris Fither - Asisten Ombudsman Republik Indonesia 

Kedua, penyediaan layanan respons cepat jika terjadi konflik. Sama seperti layanan darurat kesehatan, penanganan konflik buaya memerlukan sistem respons cepat. Tim terpadu (BKSDA, Basarnas, pemadam, aparat desa, atau komunitas) dapat dibentuk di setiap daerah yang dianggap rawan. 

Ketiga, penyediaan layanan tata kelola ruang dan lingkungan. Pemerintah daerah perlu memasukkan data daerah rawan konflik ke dalam rencana tata ruang wilayah (RTRW). Zonasi perairan untuk kegiatan tambang, nelayan, atau wisata harus mempertimbangkan area habitat buaya. Dengan demikian, pelayanan publik bukan hanya berupa informasi, tetapi juga regulasi yang melindungi manusia sekaligus habitat buaya.

Keempat, pembentukan satgas kolaboratif dalam upaya konservasi buaya dan perlindungan manusia. Model pentahelix sangat relevan untuk diterapkan dalam layanan ini. Dengan melibatkan lima aktor utama: pemerintah, akademisi, bisnis, komunitas/masyarakat, dan media. Pemerintah menyediakan regulasi dan layanan publik; akademisi menghadirkan riset serta data ilmiah; pelaku bisnis (terutama pertambangan dan pariwisata) wajib bertanggung jawab atas dampak ekologis; masyarakat menjadi pelaku utama di lapangan; sedangkan media berperan mengedukasi serta membangun kesadaran kolektif.

Konflik berkepanjangan antara buaya dan manusia di Indonesia bukan hanya urusan konservasi semata, tetapi juga wajah dari pelayanan publik yang berkualitas. Jika negara hanya hadir setelah nyawa melayang, maka negara telah gagal sebagai penyelenggara layanan publik.

Oleh karena itu, negara harus mampu menghadirkan layanan informasi, respons cepat, tata kelola ruang, hingga pembentukan satgas kolaboratif. Dengan demikian, kehadiran buaya tidak lagi dilihat sebagai momok, melainkan bagian dari ekosistem yang dilindungi bersama.

Dan terakhir, perlu diingat bahwa melindungi buaya berarti melindungi manusia. Mari mulai bergerak bersama agar konflik antara buaya vs manusia bisa teratasi dengan baik. (*)

Sumber: bangkapos
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved