Tribunners

Orang yang Miskin 

Hidup miskin atau orang (yang) miskin, sama sekali tidak hina. Jangan sekali-kali “dihinakan.”

Editor: suhendri
ISTIMEWA
Masmuni Mahatma - Ketua Tanfidziyah PWNU Babel dan Kepala Biro AAKK UIN Imam Bonjol Padang 

Oleh: Masmuni Mahatma - Ketua Tanfidziyah PWNU Babel dan Kepala Biro AAKK UIN Imam Bonjol Padang   
      
MENJADI orang (yang) miskin, tentu tidak pernah dicita-citakan kebanyakan manusia dari warna kulit dan kultur apa saja. Sama sekali bukan hal yang diinginkan. Lumrah dan mengemuka. 

Siapa pun dari kalangan manusia, sebagai personal atau komunal, harapan prospektifnya pasti menjadi dan senantiasa tampil sebagai orang kaya. Menjadi orang miskin bukan pilihan. Sebaliknya, menjadi orang kaya merupakan status, predikat, dan eksistensi yang terus dikejar dan diwujudkan. Apakah ini searah orientasi fitrah manusia, sepertinya tergantung perspektif sosial yang dipakai. Terlebih kita dilahirkan memang tidak memiliki kuasa dan kekayaan sebiji dzarrah pun.

Nama saja yang dilekatkan pada diri masing-masing manusia, juga merupakan pemberian di luar diri. Bukan bawaan dari alam rahim. Bukan juga kepunyaan azali tiap manusia. Benar-benar manusia itu lahir-hadir dalam kondisi yang biasa-biasa, tidak membawa sedikit pun “kekayaan.” Semua karena karunia dan kasih Allah SWT menghadirkan kita ini ke alam dunia demi transformasi nilai-nilai uluhiah-Nya. Takdir awal manusia sebagai ‘abdun, hamba, berlanjut ke maqam khalifah-Nya. Tugas dan fungsi autentik yang tidak pernah mudah, membutuhkan totalitas mentalitas amanah yang kaffah. Demikian takdir mula tiap-tiap diri di muka bumi yang luas ini.

Sekira banyak di antara manusia yang masih “dilematis” memahami dan menjalani realitas takdir kemiskinan dalam hidup, bisa dimaklumi. Amat naturalistik. Namun demikian, bila sebagian diri berputus asa atau malah menyesali takdir sebagai orang (yang) miskin sekaligus menyalahkan Allah SWT atas kondisi tersebut, kurang elok dan tidak etis dalam konteks kehambaan. Sangat parsialistik dan tidak edukatif. Ini riskan dari aspek pertumbuhan keimanan dan ketakwaan. Mengandung risiko, bisa-bisa mendistorsi kuasa dan kasih luhur Ilahi Rabbi yang begitu terang sepanjang hidup. Sama sekali juga tidak konstruktif dan jauh dari kerangka produktif. 

Fitrah manusia

Selaku makhluk, hamba yang “dilahirkan” Tuhan, fitrah manusia jelas hanya taat, patuh, tunduk, dan berserah penuh kepada-Nya. Apalagi terkadang kehadiran dan keberadaan manusia bukan otomatis “dikehendaki” Tuhan, melainkan sebagian besar “diinginkan” oleh pasangan manusia itu sendiri. Tidak bisa dimungkiri. Bahkan dalam dunia nyata, tak sedikit pasangan manusia yang sampai melakukan ikhtiari optimal agar dapat melahirkan regenerasi (keturunan) tanpa melihat dan mempertimbangkan kondisi riil mereka di pentas sosial kehidupan. Ikhtiari manusiawi ini pun tidak selalu sesuai dengan “optimisme” kebanyakan mereka sebagai hamba.

Bahasa lebih lugas, ketika memohon keturunan, tiap-tiap pasangan manusia tidak lagi mempersoalkan dalam posisi kaya atau miskin. Lebih-lebih keturunan, menurut terminologi keimanan Islam, tetap dikategorikan bagian dari “kekayaan” juga di hadapan Allah SWT. Harta dan anak-anak (al-malu wa al- banun), kata Al-Qur’an, di samping sebagai hiasan dunia, sejatinya amanah (kekayaan) dari Allah SWT yang harus dioptimalisasi sepanjang hidup. 

Banyak manusia terkategori miskin harta, tetapi kaya akan keturunan (anak-anak). Sebaliknya, ada yang kaya raya dari sisi harta dan takhta, tetapi miskin anak (keturunan). Wajar kalau ada yang mengambil langkah “mengadopsi” anak demi “martabat” kehidupan di hadapan Tuhan dan sesama manusia.

Karena fitrah manusia menyangkut ketaatan dan kepasrahan total kepada-Nya, maka miskin atau kaya, itu lebih mengenai “amanah” dan “ujian” dalam mengarungi kehidupan. Tidak baik ditarik-tarik terlalu ekstrem ke garis rendah dan tingginya martabat maupun derajat seseorang berkehidupan. Miskin atau kaya, bukan satu-satunya penentu kapasitas sekaligus kualitas kehambaan dan kekhalifahan. 

Diperlukan kematangan, kedewasaan, dan pencerahan atas tiap diri memahami, memaknai, mentransformasi, mengaktualisasikan orientasi, spirit, nilai, dan akselerasi yang disebut kaya atau miskin. Sehingga selaku hamba mampu senantiasa objektif, konstruktif, produktif, dan edukatif berkehidupan dalam dinamika kesemestaan.    

Yang miskin adalah makhluk Tuhan. Mereka yang kaya pun tetap ciptaan Tuhan. Sama-sama hamba. Tidak memiliki daya upaya kekuatan berlebih di hadapan Tuhan. Mempunyai banyak kelemahan, kekurangan, keterbatasan, dan sisi-sisi parsialistik lain yang memang sulit diurutkan. Mempertentangkan posisi dan status keduanya secara temporalistik, pragmatis, tentu tampak kurang etis. Sebab kaya dan miskin, seperti telah diuraikan di atas, merupakan “amanah” dengan nilai dan substansi luhur yang tidak bisa diabaikan. Kaya atau miskin, bisa jadi bagian dari siklus kehidupan kehambaan yang pelan tapi pasti ikut memompa dan menginternalisasi iman sekaligus ketakwaan diri.

Miskin juga mulia

Hidup miskin atau orang (yang) miskin, sama sekali tidak hina. Jangan sekali-kali “dihinakan.” Hidup kaya pun tidak serta-merta paling layak dibanggakan atau dijadikan senjata membanggakan diri. Orang kaya (mungkin) dicap terhormat. Tetapi miskin juga mulia. Selagi dikembalikan bahwa semua itu “amanah” dan “ujian” dari Allah SWT, insya Allah, akan menjadi hal produktif dan edukatif bagi kelangsungan hidup di alam semesta. 

Dalam bahasa Murtadha Muthahhari, kaya dan miskin itu bagian dari keadilan Allah SWT yang mesti diinternalisasi secara searif dan bijaksana. Mereka yang tergolong kaya, lanjut Muthahhari, memiliki “hutang budi” kepada yang miskin. Sebab dalam kepemilikan sesuatu bagi kalangan orang kaya, menurut konsep Al-Qur’an, ada hak dari mereka yang miskin (QS. adz-Dzariyat (51) : 19, 25, dan 26). 

Wajar dalam Islam diajarkan bahwa siapa pun yang kaya harus sebaik dan setulus penuh menempatkan serta mengoptimalisasi keberadaan mereka yang tergolong miskin. Dalam artian, baik sebagai mitra sosial atau “cermin utuh” guna meniti dan mengembangkan tugas-tugas maslahat berkehambaan. 

Tak heran bila Imam Al-Ghazali menuturkan, siapa pun diantara manusia yang diberi amanah kekayaan oleh Allah SWT, ia harus melihat dan menempatkan mereka yang miskin sebagai “nasihat” terhadap diri dan keluarganya. Sehingga menjalani hidup tidak selalu sentimentil, tendensius, bersikap congkak, berperilaku arogan, berperangai sombong, bertingkah angkuh, apalagi sampai lupa diri dan abai akan Tuhan. 

Janji agama (Islam) bagi mereka yang dikategorikan miskin (harta) di alam dunia ini cukup jelas. Tidak absurd dan tidak pula abstrak. Mereka telah dimuliakan oleh Allah SWT sebagaimana makhluk-makhluk yang lain. Tetap didaulat sebagai khalifah-Nya. Bukan sekadar pelengkap. Bahkan di antara orang miskin yang taat dan sabar, sejatinya lebih baik di mata Allah SWT dibandingkan orang-orang kaya yang takabur, egois, dan tidak menaati amanah Allah SWT. Mereka akan lebih dimuliakan dan diprioritaskan masuk surga-Nya. Jika saja mereka yang miskin ditindas, dihina, dan dipersekusi, misalnya, maka Al-Qur’an tegas menyatakan, suatu saat akan menjadikan mereka sebagai pemimpin dan mewarisi bumi dengan iradah-Nya (QS. al-Qashash : 5).

Miskin juga bukan kodrat. Sekali lagi, itu bagian dari “amanah” dan “ujian” Allah SWT kepada tiap-tiap diri. Menjalani kondisi hidup miskin atau kaya, menurut kacamata materialitas dan pragmatisme tampak beda. Namun dalam perspektif lebih substansial, kondisi keduanya bukan hal “kontradiktif.” Sama-sama wujud aktual dari nilai-nilai rahman dan rahim Allah SWT untuk setiap diri selaku hamba-Nya. Ada spirit dan esensialitas kehambaan yang melekat dan patut ditransformasikan. 

Selama cukup intensif membawakan (ke)miskin(an) dari dan ke jalan Tuhan dibaluri kesabaran “retrospektif” dan “prospektif” sekaligus, ia akan menjadi energi kemuliaan. Justru jika menampilkan (ke)kaya(an) secara destruktif dan disorientatif dari dan untuk “amanah” Allah SWT, tanpa disadari ia telah mencederai eksistensi dirinya maupun Allah SWT sekaligus. Na’udzubillah! (*)


 

 

Sumber: bangkapos
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved