Tribunners

TKA Bukan Penentu Jalan Anak SMK

Anak SMK tak hanya belajar teori, mereka perakit mimpi. Mereka berpikir lewat tindakan, belajar dari kegagalan, menemukan logika dalam kerja nyata

Editor: suhendri
Dokumentasi Ameliana Tri Prihatini Novianti
Ameliana Tri Prihatini Novianti - Guru SMKN 1 Simpangkatis,  Pemerhati Pendidikan Vokasi, dan Penulis Opini Pendidikan 

Oleh: Ameliana Tri Prihatini Novianti - Guru SMKN 1 Simpangkatis,  Pemerhati Pendidikan Vokasi, dan Penulis Opini Pendidikan

KADANG kita terlalu sibuk mengukur sesuatu yang tak perlu diukur. Seperti menimbang angin atau mencoba menghitung cahaya di mata anak muda yang baru saja menemukan semangatnya.”

Begitulah kira-kira wajah tes kemampuan akademik (TKA) di sekolah kejuruan, tempat anak-anak ditempa bukan hanya untuk berpikir, tetapi juga untuk mencipta. Namun entah mengapa, negeri ini masih senang menilai masa depan dengan angka, seolah setiap mimpi bisa disederhanakan menjadi skor.

Padahal, TKA hanyalah alat ukur. Semacam termometer dalam dunia pendidikan. Dalam Seleksi Nasional Berdasarkan Prestasi (SNBP) menuju perguruan tinggi negeri, TKA memang menjadi syarat, tetapi bukan penentu kelulusan. Ia hanya memetakan kemampuan bukan menetapkan nasib. Tetapi di banyak ruang kelas SMK, TKA tetap terasa seperti ujian hidup dan mati.

Mungkin pertanyaannya bukan perlu atau tidak, melainkan apa yang sebenarnya ingin kita ukur? Logika mereka? Daya hafal mereka atau justru kemampuan mereka menyalakan masa depan dengan cara yang tak selalu bisa dijawab dengan pilihan A, B, C, D, atau E? 

Coba tengok jurusan Desain Komunikasi Visual (DKV). Anak anak disana berbicara lewat warna dan garis. Tes akademik mungkin bisa menilai teori komposisi, tetapi tak akan pernah mengukur keberanian mereka memadukan ide yang nyeleneh tetapi jenius. Bagaimana mungkin lembar jawaban bisa memahami rasa yang hidup dibenak seorang perancang visual?

Lalu jurusan Pengembangan Perangkat Lunak dan Gim (PPLG). Dunia mereka adalah pertemuan antara logika dan imajinasi. Tes bisa menakar teori algoritma, tetapi tidak akan pernah tahu semangat begadang mereka menulis ribuan baris kode yang akhirnya berhasil “run” setelah sempat gagal entah berapa kali. Nilai sempurna tak selalu bisa menandingi tekad seperti itu.

Atau lihat Teknik Tenaga Listrik (TTL). TKA mungkin bisa menguji teori arus dan tegangan, tetapi takkan tahu betapa sabarnya mereka mengurai kabel kusut hingga lampu kembali menyala. 

Begitu pula anak-anak Teknik dan Bisnis Sepeda Motor (TBSM) dan Teknik Kendaraan Ringan (TKR). Nilai ujian tak bisa menceritakan bagaimana tangan mereka belajar dari oli yang menempel atau bagaimana senyum mereka muncul saat mesin yang tadinya mati kembali hidup karena ketekunan.

Anak-anak SMK bukan sekadar pembelajar teori, mereka perakit mimpi. Mereka berpikir lewat tindakan, belajar dari kegagalan, dan menemukan logika dalam kerja nyata. Dunia mereka berdengung, berdebu, berisik, tetapi hidup dan kehidupan tidak bisa diuji lewat soal pilihan ganda.

Namun, kita masih sering memaksa mereka menjawab soal seperti calon mahasiswa yang berlomba menuju kampus impian. Seolah masa depan hanya bisa ditempuh lewat satu jalan: kuliah. Padahal, banyak jalan lain menuju kesuksesan. Katakanlah lewat bengkel kecil, studio desain, dapur produksi, atau usaha rintisan yang tumbuh dari komputer bekas di kamar indekos.

Mungkin kita belum sepenuhnya percaya bahwa jalan hidup tak harus sama. Bahwa nilai bukan segalanya dan bahwa kecerdasan punya banyak wajah yang tentu tidak semua kecerdasan duduk di ruang-ruang ujian.

TKA punya tempat, tentu saja. Ia melatih logika, menata nalar, memberi pijakan. Tetapi jangan biarkan logika membungkam kreativitas. Jangan biarkan angka membuat seseorang merasa kecil, padahal pikirannya besar dan tangannya cekatan.

Bayangkan jika penilaian diubah menjadi proyek nyata: merancang identitas visual untuk UMKM, membuat alat sederhana yang membantu warga, atau mencipta gim edukatif untuk anak-anak. Itu ujian yang lebih jujur yang menilai kerja keras, kolaborasi, dan empati. Hal-hal yang tak pernah muncul di kisi-kisi TKA. Sebab sejatinya, dunia kerja dan wirausaha tak pernah bertanya berapa nilaimu dites akademik. Yang mereka tanya hanya satu. Seberapa gigih kamu belajar dari kesalahan? Itulah “soal” yang sebenarnya.

Tes boleh tetap ada, tetapi biarlah ia menjadi jembatan, bukan pagar. Satu dari sekian alat bantu, bukan penentu masa depan. Karena masa depan anak-anak SMK tidak ditulis dengan pensil ujian, melainkan dengan keringat, keberanian, dan tekad untuk mencipta.

Barangkali, yang paling perlu diuji saat ini bukan kemampuan akademik mereka, melainkan kemampuan kita untuk percaya. Percaya bahwa setiap anak punya jalannya sendiri, bahwa kecerdasan tak selalu berwujud angka, bahwa nilai sejati bukan tertulis di rapor, melainkan hidup dalam karya, ketekunan, dan keberanian untuk bermimpi revolusioner. (*)

Sumber: bangkapos
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved