Tribunners
Megakorupsi Timah: Tragedi Lingkungan dan Ekonomi yang Mengancam Masa Depan Bangsa
Jika Indonesia melakukan reformasi yang berani dan komprehensif, kita bisa mengubah kutukan sumber daya menjadi berkah yang berkelanjutan.
Oleh: Guid Cardi - Dosen Istitut Pahlawan 12
Ketika Kekayaan Berubah Menjadi Bencana
INDONESIA, dengan gugusan pulaunya yang melimpah ruah sumber daya alam seharusnya menjadi potret kemakmuran yang berkelanjutan. Namun, realitasnya sering kali ironis: kekayaan alam justru menjadi pemicu kehancuran.
Kisah kelam ini terukir dalam mega skandal korupsi tata niaga timah di wilayah izin usaha pertambangan (IUP) PT Timah Tbk, yang berlangsung dari tahun 2015 hingga 2022. Angkanya sungguh mencengangkan: kerugian negara mencapai Rp300 triliun, di mana porsi terbesar, Rp 271,5 triliun adalah akibat kerusakan lingkungan yang tak terpulihkan. Sebuah angka yang bukan sekadar deretan nol, melainkan cerminan tragedi ekologis dan ekonomi terbesar dalam sejarah Republik ini.
Bayangkan, nilai kerusakan lingkungan ini jauh melampaui kerugian kasus-kasus korupsi besar sebelumnya seperti Bank Century atau BLBI. Ini bukan sekadar hilangnya uang dari kas negara, tetapi hancurnya hutan, tercemarnya air, sungai dan lautan, terkoyaknya kehidupan masyarakat yang bergantung pada alam.
Skandal ini adalah alarm keras, sebuah cermin buram dari tata kelola sumber daya alam kita yang carut-marut, di mana segelintir elite haus kekuasaan dan keuntungan pribadi tanpa ragu mengorbankan masa depan bangsa dan keberlanjutan bumi.
Anatomi Kejahatan: Kolusi Senyap yang Berujung Bencana
Bagaimana mungkin korupsi sebesar ini bisa terjadi dan berlangsung bertahun-tahun tanpa terdeteksi? Penyelidikan intensif Kejaksaan Agung RI telah membongkar modus operandi yang canggih dan terstruktur. Ini adalah kisah tentang kolusi senyap antara oknum-oknum berkuasa di PT Timah Tbk, sebuah BUMN yang seharusnya menjadi penjaga aset negara, dengan para pengusaha swasta licik.
Kronologi kasus ini bagaikan sebuah drama yang berawal dari perintisan jaringan ilegal, kemudian berevolusi menjadi persekongkolan terencana. Awal Mula pada 2015-2017, jaringan mulai dibentuk. Pengusaha swasta mulai "menjajaki" celah regulasi dan pengawasan di IUP PT Timah. Ribuan titik tambang ilegal mulai tumbuh, mengindikasikan adanya "pembiaran" awal.
Lalu titik balik kolusi di 2018 inilah masa krusial. Pengusaha berpengaruh seperti Harvey Moeis (HM) bertemu dengan Direktur Utama PT Timah saat itu, Mochtar Riza Pahlevi Tabrani (MRPT). Hasilnya? Sebuah kesepakatan jahat untuk "mengakomodasi" penambangan liar. IUP PT Timah yang seharusnya steril, kini dibuka lebar untuk dieksploitasi. Modus ini adalah bentuk state-corporate crime — kejahatan yang terjadi karena kolusi melalui oknum BUMN dan korporasi swasta.
Selanjutnya legalisasi fiktif pada 2018-2019, agar tampak sah di mata hukum, dibuatlah kontrak-kontrak kerja sama fiktif, misalnya "sewa-menyewa peralatan peleburan" antara PT Timah dan smelter-smelter swasta. Kontrak ini menjadi kedok sempurna untuk mencuci bijih timah ilegal. Penambangan ilegal seolah-olah mendapat "payung hukum", lolos dari pengawasan, dan merugikan negara.
Di akhiri dengan pengerukan keuntungan dan pencucian uang 2019-2022, skema berjalan mulus. Bijih timah ilegal dibeli oleh PT Timah melalui kontrak fiktif, dengan harga yang dimanipulasi. Keuntungan haram mengalir deras. Untuk menyamarkannya, sebagian dana "dicuci" melalui skema corporate social responsibility (CSR) fiktif yang dikelola oleh figur seperti Helena Lim (HLN). Ini adalah white-collar crime klasik: penyalahgunaan posisi dan kecerdasan untuk kejahatan finansial yang rumit.
Baru pada Oktober 2023, Kejaksaan Agung RI di bawah Jaksa Agung ST Burhanuddin, berhasil membongkar jaringan ini. Vonis pun dijatuhkan: MRPT 8 tahun, HM 12 tahun, dan Helena Lim yang bandingnya ditolak pada Juli 2025 bahkan diwajibkan membayar restitusi Rp500 miliar. Suwito Gunawan alias Awi, Thamron alias Aon dan bahkan mantan bos Sriwijaya Air Hendry Lie dan beberapa orang lainnya lagi baik itu para direksi PT Timah bersama MRPT, para kepala Dinas Pertambangan Provinsi Bangka Belitung juga telah divonis bersalah. Ini adalah bukti bahwa hukum, pada akhirnya, bisa menjangkau para pelaku—sampai putusan kasasi di Mahkamah Agung yang memperberat hukuman masing-masing terpidana itu hingga dua kali lipat dari hukuman sebelumnya.
Dampak Tragedi: Luka yang Dalam dan Berlipat Ganda
Skandal ini bukan hanya tentang angka-angka fantastis, melainkan tentang luka yang menganga di berbagai dimensi kehidupan Bangka Belitung:
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.