Dana Mengendap di Bank

Dana Mengendap, Ekonomi Melambat Jadi Tantangan Fiskal Bangka Belitung

Angka ini bukan sekadar statistik keuangan, namun merupakan cermin dari seberapa cepat atau lambatnya denyut pembangunan...

Dok/Devi
Akademisi sekaligus Dekan Fakultas Ekonomi (FE) Universitas Bangka Belitung (UBB) Devi Valeriani 

BANGKAPOS.COM, BANGKA -- Menteri Keuangan RI menyoroti masih adanya dana daerah yang mengendap di rekening bank. Isu ini pun kembali mencuat di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung (Babel), di mana tercatat sekitar Rp 2,1 triliun dana APBD disebut belum terserap dan masih parkir di perbankan.

Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Bangka Belitung (UBB), Devi Valeriani, menilai kondisi tersebut sebagai sinyal lemahnya daya dorong fiskal daerah. Ia menyebut dana yang mengendap bukan sekadar angka statistik, tetapi mencerminkan lambatnya denyut pembangunan.

"Angka ini bukan sekadar statistik keuangan, namun merupakan cermin dari seberapa cepat atau lambatnya denyut pembangunan daerah ini bergerak. Ketika kita menyoroti situasi antara uang yang mengalir dan uang yang diam, dalam pandangan teori ekonomi publik, anggaran daerah seharusnya berfungsi sebagai mesin penggerak ekonomi lokal," ujar Devi, Selasa (21/10/2025).

Setiap rupiah yang dibelanjakan Pemerintah diungkapkan Devi, seharusnya menciptakan efek berantai yang berdampak pada perluasan kesempatan kerja, mendorong konsumsi, dan memicu aktivitas produksi.

"Namun ketika dana itu mengendap di bank, efek ganda (multiplier effect) tersebut hilang. Uang menjadi diam, sementara kebutuhan masyarakat terus bergerak. Kondisi ini tentunya akan berakibat terhadap ekonomi daerah, yang beririsan dengan pertumbuhan ekonomi," jelasnya.

Secara histori perkembangan pertumbuhan ekonomi Bangka Belitung nyaris stagnan pada 2023 hanya sekitar 4,38 persen, melambat dari Tahun 2022 sebesar 4,40 persen.

Baca juga: Beredar Informasi Pemprov Babel Simpan Dana Rp 2,10 Triliun, DPRD Babel Akan Panggil Pemprov dan BI

Bahkan tahun 2024 pertumbuhan ekonomi Bangka Belitung merupakan terendah di Pulau Sumatera, yaitu 0,77 persen, tentunya hal ini memperlihatkan penurunan pertumbuhan ekonomi yang tajam dari Tahun 2023. 

Sampai dengan Q2 Tahun 2025, pertumbuhan ekonomi Bangka Belitung sebesar 4,09 persen. 

"Angka tersebut tampak stabil, tetapi di baliknya tersimpan sinyal bahwa daya dorong fiskal belum optimal," tuturnya.

Terkait dana bisa mengendap, Devi membeberkan ada beberapa sebab yang sering berulang.

Pertama, perencanaan dan pengadaan yang lambat, banyak proyek baru berjalan di semester kedua, padahal anggaran sudah tersedia sejak awal tahun.

Kedua, kekhawatiran birokrasi, dimana ketika banyak kasus hukum menjerat pejabat terkait belanja publik, sebagian aparatur menjadi lebih berhati-hati bahkan terlalu hati-hati.

Ketiga, mekanisme transfer pusat yang tidak sinkron dengan kesiapan daerah. Dana disalurkan secara bertahap, kadang mendekati akhir tahun, sehingga serapan menjadi terburu-buru.

"Akibatnya, Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SILPA) terus menumpuk. Padahal di sisi lain, Pendapatan Asli Daerah (PAD) Babel masih kecil, artinya daerah masih sangat bergantung pada dana transfer pusat dan pemerintah daerah harus mencermati apakah dana transfer tersebut sudah maksimal dan optimal pemanfaatannya," katanya.

Lebih lanjut dampak dana mengendap terhadap perekonomian daerah, tentunya perekonomian daerah tertahan dan kepercayaan masyarakat akan turun.

"Ketika belanja publik tertunda, dampaknya tidak hanya pada laporan keuangan namun akan terasa pada pembangunan fisik misalnya jalan yang tak kunjung diperbaiki, pasar rakyat yang belum direvitalisasi, hingga kegiatan ekonomi kecil lainnya yang akan kehilangan momentum," ucapnya.

Bagi pelaku usaha lokal, belanja pemerintah adalah “sinyal permintaan”, ketika permintaan turun maka pelaku usaha akan ragu berproduksi, melakukan penambahan tenaga kerja, atau memperluas investasi baru. 

"Bagi masyarakat, keterlambatan proyek berarti keterlambatan manfaat. Lalu bagi investor, kondisi ini menimbulkan pertanyaan besar, apakah daerah mampu mengelola likuiditasnya dengan baik?. Perlu keberanian fiskal dan akselerasi, artinya Bangka Belitung perlu reorientasi fiskal dari sekadar hati-hati menjadi produktif dan progresif," pungkasnya.

Devi menekankan setiap rupiah yang tersimpan di bank harus segera “dihidupkan”, menjadi aktivitas ekonomi nyata.

Pemerintah daerah harus mempercepat siklus belanja, perencanaan di triwulan I, realisasi maksimal di triwulan II–III. 

Selain itu, daerah perlu meningkatkan PAD secara kreatif, bukan hanya mengandalkan pajak dan retribusi. Pengembangan potensi ekonomi kelautan, pariwisata, dan industri olahan hasil tambang serta perikanan bisa menjadi sumber baru. 

Semakin kuat basis ekonomi lokal, semakin kecil ketergantungan terhadap transfer pusat. 

Pihaknya juga mengungkapkan transparansi sebagai kunci kepercayaan publik, isu dana mengendap mudah dipelintir menjadi tudingan politik. 

Terkait ini perlu keterbukaan, sehingga langkah sederhana ini bisa menumbuhkan kepercayaan publik sekaligus menekan ruang spekulasi negative, selanjutnya uang harus bergerak, bukan mengendap. 

"Dalam konteks ekonomi daerah, uang yang diam adalah pembangunan yang tertunda. Dana mengendap bukan sekadar soal teknis akuntansi, tetapi cerminan dari efisiensi fiskal dan kemampuan manajemen pembangunan. Jika Bangka Belitung ingin tumbuh lebih cepat dan berdaya saing, maka perlu menggerakkan uang untuk menggerakkanekonomi," ungkapnya. (Bangkapos.com/Rizky Irianda Pahlevy)

Sumber: bangkapos.com
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved