Menanti Pahlawan Nasional dari Belitung
BERITA EKSKLUSIF: Jejak Sang Elang Belitung, Timang-timang Hanandjoeddin Jadi Pahlawan Nasional
Sang Elang, menjadi pembuka jalan perjuangan gelar pahlawan untuk Hanandjoeddin. Seorang penerbang militer asal Belitung yang ikut...
BANGKAPOS.COM, BANGKA -- Haji Ahmad Sanusi Hanandjoeddin atau H AS Hanandjoeddin. Nama ini melekat di masyarakat Pulau Belitung, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Pria kelahiran Tanjungtikar, Sungai Samak, Badau, Belitung itu pernah menjadi Bupati Belitung ke-8 yang mempimpin di periode 1967-1972.
Jelang Hari Pahlawan yang diperingati setiap 10 November, semangat masyarakat Belitung kembali bergelora untuk memperjuangkan gelar pahlawan bagi Hanandjoeddin.
“Alhamdulillah semua data yang diminta Kementerian Sosial telah kami penuhi. Buku terbaru juga sudah selesai. Bulan depan akan diadakan peresmiannya, sekaligus seminar nasional untuk membahas perjuangan beliau (Hanandjoeddin-red),” ujar Haril M Andersen, penulis buku asal Belitung yang juga ikut memperjuangkan gelar pahlawan untuk Hanandjoeddin saat dihubungi Bangka Pos, Selasa (28/10).
“Pengajuan akan kembali dilakukan tahun 2026 untuk menjadikan pahlawan daerah H AS Hanandjoeddin menjadi pahlawan nasional” tambahnya.
Untuk diketahui, pengajuan gelar pahlawan untuk Hanandjoeddin pertama kali diajukan pada tahun 2018. Pengajuannya dilakukan bersama dengan pengajuan serupa untuk Depati Amir. Namun hanya permohonan untuk Depati Amir yang mendapat persetujuan.
Haril mencerikan buku yang ditulisnya, berjudul Sang Elang, menjadi pembuka jalan perjuangan gelar pahlawan untuk Hanandjoeddin. Dalam buku itu, Haril memotret perjalanan H AS Hanandjoeddin, seorang penerbang militer asal Belitung yang ikut berjuang mempertahankan kemerdekaan Indonesia dari udara.
“Buku itu membuka jalan. Tahun 2017 kami mulai serius melakukan pendataan ulang, menggelar seminar nasional, lalu mengajukan usulan ke provinsi. Waktu itu disambut baik oleh Dinas Sosial Provinsi Babel dan Gubernur Rustam Effendi,” kata Haril.
Namun, ketika pengajuan pertama ke Kementerian Sosial pada 2018, usulan tersebut belum diterima.
“Berbeda dengan Depati Amir yang disetujui tahun itu, pengajuan H AS Hanandjoeddin ditolak karena data primernya belum lengkap,” ujarnya.
Menurut Haril, Kementerian Sosial meminta kelengkapan data perjuangan H AS Hanandjoeddin di Jawa Timur, serta dokumentasi terkait kiprahnya sebagai Bupati Belitung.
Sejumlah arsip dan bukti sejarah yang sempat hilang itu akhirnya berhasil ditelusuri kembali.
Pengajuan Kedua 2022
Untuk melengkapi data yang dibutuhkan, Haril menulis buku kedua berjudul “Memenuhi Panggilan Rakyat: Kiprah dan Kenangan Sosok Bupati H.A.S. Hanandjoeddin”, yang resmi diluncurkan tahun 2021.
Peluncuran buku tersebut dilakukan langsung oleh Gubernur Erzaldi Rosman, sebagai bentuk dukungan terhadap perjuangan pengusulan H AS Hanandjoeddin menjadi pahlawan nasional.
“Buku ini menceritakan kiprah beliau saat menjabat Bupati Belitung tahun 1967–1972. Semua tergambar dalam buku ini—dari sisi pembangunan, kepemimpinan, hingga kedekatan beliau dengan masyarakat,” tutur Haril.
Penulisan buku kedua ini dimulai sejak 2018 dengan metode penelitian sejarah: pengumpulan naskah, arsip, hingga wawancara langsung dengan saksi hidup yang mengenal Hanandjoeddin secara pribadi.
Selanjutnya, tim kembali mengajukan berkas baru untuk pengajuan gelar pahlawan H AS Hanandjoeddin pada tahun 2022. Namun pada 2023, Kementerian Sosial masih meminta tambahan data dan bukti pendukung yang menunjukkan dampak perjuangan H AS Hanandjoeddin secara nasional.
“Kementerian minta data yang lebih kuat tentang peran beliau di tingkat nasional. Tahun ini, kami sudah melengkapi semuanya. Semua data primer sudah rampung,” ujar Haril optimis.
Menurutnya, buku terbaru yang kini rampung disusun menjadi dokumen pelengkap resmi untuk pengajuan final ke pemerintah pusat.
Kritisi Perhatian Pemerintah Terpisah, Sejarawan sekaligus budayawan Bangka Belitung, Akhmad Elvian, menyerukan agar pemerintah daerah dan masyarakat tidak sekadar berhenti pada seremonial peringatan Hari Pahlawan, tetapi juga aktif melakukan penelitian ilmiah terhadap tokoh-tokoh lokal yang memiliki jasa besar dalam perjuangan bangsa.
Dia menegaskan, tanpa kajian akademis dan dukungan pemerintah, banyak pejuang asal Bangka Belitung akan terus tertinggal dari daerah lain dalam hal pengakuan sebagai Pahlawan Nasional.
“Masyarakat dan pemerintah daerah, baik kabupaten, kota, maupun provinsi, harus punya semangat menggali, meneliti, dan mengkaji perjuangan tokoh-tokoh lokal secara ilmiah. Setelah disusun biografi dan riwayat perjuangannya, baru bisa diajukan ke gubernur dan Tim Pengkaji Peneliti Gelar Daerah (TP2GD),” ujar Elvian saat ditemui Bangkapos di DPRD kota Pangkalpinang, Selasa (28/10).
Elvian menjelaskan, penetapan gelar Pahlawan Nasional tidak bisa dilakukan secara sembarangan.
Setiap nama yang diusulkan harus melalui tahapan panjang dan ketat, mulai dari pengkajian ilmiah di tingkat daerah hingga verifikasi oleh Tim Pengkaji Peneliti Gelar Pusat (TP2GP) di Kementerian Sosial.
“Ada 13 pakar sejarah nasional di TP2GP yang akan menilai apakah seorang tokoh layak diangkat menjadi Pahlawan Nasional. Setelah itu, barulah Dewan Gelar dan Dewan Kehormatan yang diketuai oleh Pak Fadli Zon memberikan rekomendasi akhir kepada presiden,” jelasnya.
Elvian menambahkan, selama ini masih banyak daerah yang belum memahami pentingnya peran pemerintah dalam memfasilitasi kajian sejarah tokohtokoh lokal.
“Tanpa dukungan anggaran dan penelitian akademik, usulan itu tidak akan pernah sampai ke meja presiden,” tegasnya.
Saat ini, kata Elvian, masyarakat Belitung tengah memperjuangkan agar H AS Hanandjoeddin, tokoh militer dan perintis penerbangan nasional asal Belitung untuk mendapat gelar pahlawan nasional.
Pengajuan sudaah sempat dilakukan sebanyak dua kali namun belum dikabulkan.
“Pengajuan pertama pada tahun 2018 berbarengan dengan Depati Amir tetapi Hanandjoeddin ditolak karena dianggap ada beberapa kekurangan dengan sejarahnya kemudian pada tahun 2022 setelah diajukan kemudian dikembalikan untuk dilengkapi berkas yang kurang Ini sudah yang ketiga kalinya diusulkan. Kajian akademiknya harus diperkuat, biar tidak ditolak lagi,” ujarnya.
Menurut Elvian, perjuangan Hanandjoeddin tidak kalah penting dibanding tokoh nasional lainnya. Selain berjasa dalam dunia militer, Hanandjoeddin juga berjasa besar dalam pembangunan Belitung setelah kemerdekaan, terutama dalam bidang pendidikan dan penerbangan.
“Beliau itu perwira AURI yang berinovasi dengan memperbaiki pesawat dan melawan dengan giat penjajahan dan membangun kampung halamannya. Itu bentuk nasionalisme yang langka,” katanya.
Diakui Secara De Facto
Elvian juga menceritakan pengalaman pribadinya saat memperjuangkan Depati Amir hingga akhirnya ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional melalui Keputusan Presiden Nomor 123/TK/Tahun 2018.
“Saya mulai mengkaji Depati Amir sejak 2004, dan baru pada 2018 beliau ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional. Empat belas tahun lamanya, dengan tenaga dan biaya sendiri. Saya sampai ke Belanda untuk mencari arsip tentang pembuangannya ke Kupang,” kenangnya.
Menurut Elvian, perjalanan panjang itu menjadi bukti bahwa penetapan Pahlawan Nasional memerlukan ketekunan, kesabaran, dan komitmen ilmiah. Ia berharap ke depan, perjuangan semacam itu bisa menjadi tanggung jawab bersama pemerintah daerah, bukan hanya individu.
“Seharusnya perjuangan seperti itu dilakukan secara sistematis dan institusional. Pemerintah daerah harus punya tim sejarah resmi, bukan hanya menunggu masyarakat yang bergerak,” tegasnya.
Dalam penjelasannya, Elvian membedakan antara pahlawan secara de facto dan de jure.
“Secara de facto, masyarakat sudah mengakui tokohtokoh seperti Depati Amir, Depati Bahrin, Batin Tikal, dan Raden Keling sebagai pahlawan. Itu terbukti dari penggunaan nama mereka pada bandara, jalan, dan sekolah. Tapi secara de jure, kita tetap butuh pengakuan resmi dari pemerintah melalui SK atau Keppres,” ujarnya.
Ia menilai, penghargaan simbolis seperti penamaan jalan atau bandara belum cukup tanpa upaya serius memperkenalkan sosok di balik nama tersebut.
“Bandara Depati Amir, misalnya. Kenapa tidak dibuatkan patung atau ruang edukasi sejarah di pintu masuknya? Supaya setiap pengunjung tahu siapa sebenarnya Depati Amir dan perjuangannya kemarin cuma peletakan batu saja tetapi tidak dibuatkan patungnya,” katanya.
Tidak hanya itu, Elvian menyinggung hari wafatnya Depati Amir, yaitu 28 September 1869, yang menurutnya selalu luput dari perhatian pemerintah.
“Saya sedih sekali. Gimana penghargaan kita kepada pahawan itu? Padahal bangsa yang besar, itu pesan Bung Karno kan, adalah bangsa yang menghargai jasa para pahlawannya, memperingati meninggalnya Depati Amir,” imbuhnya.
Karena itu, Elvian berharap pemerintah tidak hanya menghormati para pahlawan dengan nama atau monumen, tetapi juga menghidupkan nilai perjuangan mereka dalam kehidupan masyarakat.
“Jangan hanya sekadar nama di jalan atau bandara. Harus ada kegiatan seperti seminar sejarah, penulisan buku, dan peringatan hari wafat mereka secara resmi,” ungkapnya.
“Kita harus meneladani keberanian dan keikhlasan mereka. Misalnya, Depati Amir berjuang tanpa pamrih, Hanandjoeddin menolak jabatan demi membangun daerahnya. Itu nilai yang harus kita wariskan,” tutupnya. (x1)
| Pemerintah Daerah Panik Usai Menkeu Purbaya Bongkar Dana Rp 234 T Ngendap di Bank |
|
|---|
| Kapolres Bungo Sebut Bripda Waldi Polisi Pembunuh Dosen Wanita di Jambi Bengis dan Kejam |
|
|---|
| Biodata Sabrina Alatas, Chef yang Viral Dikaitkan dengan Hamish Daud Gegara Foto di Pinterest |
|
|---|
| Sosok Sabrina Alatas Chef Dikaitkan dengan Perceraian Hamish Daud dan Raisa, Punya Restoran |
|
|---|
| Kasus Ibu Dianiaya Anak Kandung di Bangka Tengah, Dosen Hukum UBB Nilai Pelaku Lolos Jeratan Pidana |
|
|---|

Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.