Buaya Diduga Diracun di Jerambah Gantung

Buaya Seruni Dibiarkan Pecah dan Tenggelam, Dua Bangkai Buaya Jerambah Gantung Terabaikan

Bau menyengat tercium di satu sisi aliran sungai Jerambah Gantung, Kecamatan Gabek, Kota Pangkalpinang, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung.

Editor: M Ismunadi
Bangkapos.com
Bangka Pos Hari Ini, Senin (17/11/2025) 

BANGKAPOS.COM, BANGKA - Bau menyengat tercium di satu sisi aliran sungai Jerambah Gantung, Kecamatan Gabek, Kota Pangkalpinang, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung.

Bau itu berasal dari bangkai buaya yang ditemukan mati di aliran sungai tersebut pada pekan lalu. Dua hari berturut-turut, warga setempat menemukan bangkai buaya.

Satu bangkai buaya berukuran cukup besar, sekitar empat meter ditemukan mengambang di sungai pada Sabtu (8/11). Belakangan buaya yang mati itu disebut bernama Seruni. Pemberian nama dilakukan seorang warga. 

Berselang satu hari, ada lagi buaya yang berukuran lebih kecil, sekitar tiga meter, mengambang di lokasi yang berdekatan. Warga menduga buaya itu sengaja diracun.

Meski terganggu bau bangkai buaya, warga dan nelayan yang biasa beraktivitas di aliran sungai hanya bisa pasrah. Pasalnya mereka tidak mampu mengubur dua bangkai tersebut. Bangkai buaya itu diikat dibiarkan mengambang di sungai hingga pada akhirnya tenggelam.

“Kalau sudah pecah (perutnya-red), gas keluar, baru tenggelam. Nanti udang, ikan dasar, mungkin juga buaya lain makan bangkainya,” kata Arew, warga yang tinggal tidak jauh dari Jembatan Jerambah Gantung, kepada Bangka Pos, Jumat (14/11/2025).

Arew menyebut hanya satu dari bangkai buaya yang bertahan di titik lokasinya yang disepakati warga. Satu bangkai lainnya hanyut terbawa arus sungai yang deras.

“Kalau sudah pecah, gas keluar, baru tenggelam. Nanti udang, ikan dasar, mungkin juga buaya lain makan bangkainya,” ujarnya.

Diduga dipancing

Diberitakan sebelumnya, seorang nelayan bernama Mantul (45) yang tengah bersiap mencari udang pada Sabtu (08/11/2025) pagi mendapat kabar penemuan bangkai buaya di aliran sungai Jerambah Gantung. Kabar itu disampaikan rekannya yang datang ke pos nelayan di bawah Jembatan Jerambah Gantung.

Mendengar kabar itu, Mantul bersama lima rekannya segera menghubungi lurah setempat untuk meminta izin menggunakan perahu wisata yang biasanya dipakai berkeliling kawasan Jerambah Gantung.

“Kami takut kalau bangkai buaya dibiarkan di sungai, nanti mengundang buaya lain datang untuk memakan bangkai. Jadi kami sepakat mengevakuasi dan menguburkannya,” ujar Mantul saat ditemui di bawah Jerambah Gantung.

Baca juga: Breaking News: Dua Hari Dua Bangkai Buaya di Pangkalpinang, Nelayan Mulai Resah Diduga Diracun

Setelah mendapat izin, Mantul bersama kelima rekannya menaiki kapal bermesin tempel 15 PK sepanjang sekitar 8 meter, lalu menuju lokasi bangkai buaya yang berada sekitar 10 menit perjalanan dari dermaga nelayan.

“Saat tiba di lokasi, kami menemukan buaya dalam posisi terlentang dengan perut menghadap ke atas. Pada buaya tersebut terlihat sebuah seling pancing dari besi berdiameter setebal jari kelingking pria dewasa, sepanjang sekitar 1 meter, menjulur keluar dari mulut buaya. Seling itu tersambung ke tali pancing panjang yang melilit tubuh buaya, dan ujungnya tertancap pada dua kayu besar di pinggir sungai” ucap Mantul.

“Kayunya itu dalam sekali, kami harus pakai kapal untuk nariknya. Itu saja butuh waktu sekitar 30 menit sampai akhirnya bisa lepas dan dibawa ke daratan ,” tambah Mantul.

Ditarik Mobil

Setelah buaya berhasil dibawa ke daratan, proses pengangkatannya juga berlangsung sulit. Tubuh buaya yang besar dan berat membuat para nelayan harus menariknya menggunakan sebuah mobil.

Mantul memperkirakan ukuran buaya tersebut mencapai panjang sekitar 4 meter lebar badan sekitar 60 cm saat buaya berada di darat, puluhan warga sekitar langsung berdatangan.

Banyak yang berfoto dan ingin melihat dari dekat karena jarang melihat buaya sebesar itu muncul di sungai dekat permukiman. Namun masalah muncul ketika warga hendak menguburkan buaya tersebut. Alat berat yang biasanya ada di lokasi ternyata telah dipindahkan, sehingga para nelayan tidak bisa menggali lubang menggunakan alat manual karena ukuran buaya terlalu besar.

Pada pukul 11.30 WIB, buaya tersebut akhirnya kembali diikat di pinggir sungai sambil menunggu alat berat datang. Dari pantauan Bangka Pos pada pukul 13.00 WIB, bangkai buaya sudah mulai mengeluarkan bau amis menyengat. Seling pancing besar masih terlihat menggantung dari mulut buaya.

Baca juga: Dua Hari Dua Bangkai Buaya di Pangkalpinang, BKSDA: Habitat Tak Rusak, Ini Kasus Lain

Ketika ditanya lebih lanjut, para nelayan menjelaskan bahwa mata pancing yang digunakan untuk menjerat buaya sudah tidak tampak. “Sepertinya mata pancing sudah masuk jauh ke dalam perut buaya. Mau buka mulutnya juga susah karena sudah kaku,” ujar salah satu nelayan.

Mantul menceritakan ini adalah kedua kali penemuan buaya dengan kasus dan penyebab yang sama pada tahun. “6 bulan yang lalu sama juga kami menemukan buaya dengan lokasi yang tidak jauh dari penemuan ini ukuran buaya juga sama, dengan seling pancing ukuran juga sama” ucap Mantul.

Mantul berharap untuk tidak menganggu habitat buaya karena mereka dan para nelayan menggantungkan hidup di sungai tersebut ditakutkan ketika bangkai buaya yang banyak maka akan mengundang buaya juga. 

Diduga Racun

Hanya berselang sehari dari temuan pertama, seekor buaya sepanjang sekitar tiga meter kembali ditemukan dalam kondisi mati mengambang, Minggu (9/11) sekitar pukul 16.00 WIB. Penemuan kedua ini pertama kali dilaporkan oleh Mantul, nelayan setempat yang juga terlibat dalam evakuasi buaya sebelumnya.

“Kondisinya mirip seperti kemarin, sudah mati dan mengambang. Di mulutnya ada kail. Bedanya, kali ini pakai tali plastik kecil, bukan seling besi seperti yang pertama,” ujar Mantul kepada Bangkapos.com, Minggu (9/11).

Lokasi penemuan buaya kedua tak jauh dari titik pertama, sekitar setengah jam perjalanan perahu dari bawah Jerambah Gantung. Saat dievakuasi, tali yang melilit tubuh buaya sempat terlepas, meninggalkan umpan berupa usus ayam yang berbau menyengat dan diduga telah diberi racun.

“Umpan itu jelas diracun. Buayanya mati karena makan umpan. Ini sudah unsur kesengajaan,” tegas Mantul.

Ia menuturkan, proses evakuasi kali ini lebih mudah karena ukuran buaya lebih kecil dibanding buaya pertama yang panjangnya mencapai empat meter. Bangkai buaya kemudian diamankan ke tepi sungai sebelum dikembalikan ke perairan.

Dua temuan beruntun dalam waktu 24 jam membuat warga dan nelayan mulai resah. “Kami harap aparat bisa menyelidiki siapa yang sengaja memancing dan meracun buaya. Kalau dibiarkan, masyarakat bisa ketakutan,” ucapnya.

Menurut Mantul, buaya di kawasan Sungai Jerambah Gantung selama ini tidak pernah mengganggu warga. “Buaya di sini banyak, dari yang kecil sampai besar sekitar delapan meter. Tapi kalau lihat manusia, mereka justru lari. Tidak pernah menyerang,” katanya.

Karena itu, kematian beruntun buaya dianggap sebagai tindakan merusak ekosistem sungai.

“Buaya itu bagian dari keseimbangan alam. Tak ada tambang atau aktivitas TI di sini, jadi perbuatan ini jelas disengaja hanya untuk kesenangan,” ujar Mantul menambahkan.

Meski belum diketahui pelakunya, warga dan nelayan tetap berinisiatif mengevakuasi setiap bangkai buaya agar tidak menimbulkan bau busuk atau memancing kemunculan buaya lain.

Bukan Sembarangan

Lebih lanjut, Arew menjelaskan keputusan untuk tidak mengubur dua bangkai buaya bukan diambil sembarangan. Para nelayan telah mempertimbangkan berbagai opsi, namun kondisi fisik bangkai dan medan yang sulit membuat penguburan menjadi mustahil.

“Kami sudah pikirkan, mau kubur tapi tidak memungkinkan. Buayanya panjang empat meter, berat, dan sudah membengkak. Kubur cara kampung tidak bisa, lambat, tidak efektif,” kata Arew.

Ia menggambarkan betapa sulitnya menggali lubang di daerah itu. Tanah di sekitar sedikit lumpur berair setiap kali cangkul masuk, lumpur kembali mengalir menutup lubang yang baru terbentuk.

“Minimal lubangnya satu meter. Itu syarat supaya tidak bau dan tidak digali anjing nanti. Tapi di sini tanahnya lunak. Gali sedikit, amblas lagi,” ujarnya sambil menunjukkan area lumpur yang hanya bisa diinjak dengan hati-hati.

Selain itu, bangkai buaya sudah berada dalam fase pembusukan berat. buaya mengembung, kulitnya mulai melonggar dan terkelupas, dan baunya tercium amis.

“Bau… aduh, tidak bisa kami tahan lama-lama. Makanya kami cepat ambil keputusan,” tambahnya.

Satu Kilometer

Setelah berembuk, nelayan sepakat menggunakan tali tambang sebesar kelingking pria dewasa. Mereka melingkarkan tali itu ke tubuh buaya, terutama di bagian kepal yang lebih kuat, lalu menarik bangkai itu perlahan-lahan menggunakan perahu kecil. Proses ini berlangsung 15 menit Arew dan dua rekannya harus berhenti beberapa kali untuk menahan mual akibat bau busuk yang semakin menusuk hidung.

“Kami ikat dulu kuat-kuat. Lalu kami tarik ke arah hilir. Sekitar satu kilometer dari tempat nelayan biasa melintas ke arah laut Pangkalbalam,” jelasnya.

Pemilihan lokasi juga bukan tanpa alasan. Pada titik tersebut, arus lebih stabil, dan bangkai tidak terlalu dekat dengan permukiman warga.

“Paling aman di sana. Kalau dibiarkan di dekat jembatan, semua orang lewat pasti protes karena baunya,” ujar Arew. (x1)

Sumber: bangkapos
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved