Ponpes Al Khoziny Sidoarjo Ambruk

Profil Aaron Franklyn, Dokter TNI Siap Mati Saat Amputasi Santri di Runtuhan, Merangkak Celah Puing

Ambruknya  bangunan mushala Pondok Pesantren (Ponpes) Al-Khoziny di Sidoarjo, Jawa Timur pada Senin (29/9/2025) lalu menyisakan kisah heroik.

Penulis: Rusaidah | Editor: Rusaidah
Dokumentasi RSUD RT Notopuro Sidoarjo
DOKTER AARON BERTEMU SANTRI - Dokter Aaron Franklyn Soaduon Simatupang bertemu dengan korban ambruknya Ponpes Al Khoziny, Jumat (3/10/2025). 

BANGKAPOS.COM - Ambruknya  bangunan mushala Pondok Pesantren (Ponpes) Al-Khoziny di Sidoarjo, Jawa Timur pada Senin (29/9/2025) lalu menyisakan kisah heroik.

Tak hanya para santri, petugas kesehatan pun bertaruh nyawa saat melakukan tugas penyelamatan dalam peristiwa runtuhnya bangunan mushala Ponpes Al-Khoziny.

Cerita ini datang dari dokter TNI, d. Aaron Franklyn Suaduon Simatupang.

Saat melakukan tugasnya, ia mengatakan sudah siap mati bersama para korban.

Baca juga: Profil & Motif Meilanie Buitenzorgy Dosen IPB Berani Kuliti Ijazah Wapres Gibran, PhD Lulusan Sydney

Ya, dr Aaron rela bertaruh nyawa demi membantu santri inisial NA yang terjebak reruntuhan bangunan. 

Dokter Aaron merayap masuk ke celah puing reruntuhan bangunan demi menyelamatkan NA.

Kondisi NA cukup memprihatinkan, karena tangannya tertindih bongkahan beton yang runtuh sehingga proses evakuasi cukup sulit.

Ada dua pilihan saat hendak mengevakuasi NA, yakni menunggu beton diangkat dengan risiko korban semakin banyak kehilangan darah. 

Kemudian pilihan kedua, adalah amputasi di lokasi.

Dengan berbagai pertimbangan dan melihat kondisi NA, akhirnya opsi kedua pun dipilih.

SOSOK DOKTER AARON - Sosok dr Aaron Franklyn Suaduon Simatupang saat ditemui di RSUD Notopuro Sidoarjo, Kamis (2/10/2025) malam. Dokter Aaron melakukan proses amputasi terhadap Ahmad, korban ambruknya bangunan Pondok Pesantren (Ponpes) Al Khoziny Sidoarjo, Jatim.
SOSOK DOKTER AARON - Sosok dr Aaron Franklyn Suaduon Simatupang saat ditemui di RSUD Notopuro Sidoarjo, Kamis (2/10/2025) malam. Dokter Aaron melakukan proses amputasi terhadap Ahmad, korban ambruknya bangunan Pondok Pesantren (Ponpes) Al Khoziny Sidoarjo, Jatim. (Kompas.com, TribunJatim/Yusron Naufal)

Sayangnya, opsi kedua justru sangat berisiko untuk tim medis, termasuk dokter Aaron. 

"Pikiran saya, sudah siap mati sama pasien kalau bangunan itu runtuh. Karena itu sangat berbahaya, salah gerak sedikit ambruk," kata Dokter Aaron kepada awak media di RSUD Notopuro Sidoarjo, Kamis (2/10/2025) malam. 

Ada banyak tim yang turun saat itu. 

Namun karena sulitnya medan, maka mereka berbagi pos. 

Dalam ceritanya, Dokter Aaron masih ingat betul bahwa medan saat sangat sulit.

Baca juga: Moncernya Pendidikan Meilanie, Dosen IPB Sebut Gibran Hanya Lulusan SD, Gelar Doktor dari Australia

Karena harus merayap ke dalam dengan lebar celah hanya sekitar 50 cm.

Padahal, ia tengah berpacu dengan waktu.

Sesampainya di dalam reruntuhan, Dokter Aaron masih sempat berkomunikasi dengan NA. 

NA memang terus meminta tolong. 

Tentu tindakan amputasi tidak langsung dilakukan begitu saja, setelah memastikan kondisi pasien, Aaron lantas keluar untuk kembali berdiskusi dengan tim yang terdiri dari tim dokter senior.

Persiapan matang menjadi pertimbangan utama. Setelah dirasa memungkinkan, maka tindakan dilakukan. 

Prosesnya sekitar 10 menit.

Dokter Aaron bersyukur pasien berhasil dievakuasi, distabilisasi dan selanjutnya dirujuk ke RSUD R.T. Notopuro. 

"Jadi tetap pertolongan, (korban) dibius di sana, lukanya (amputasi) ditutup cuma akhirnya dilakukan pembersihan lagi, dijahit ulang sampai pukul 01.30 WIB baru selesai," ucapnya.

Profil Dokter Aaron Franklyn 

Tak banyak informasi mengenai Dokter Aaron di media online. 

Berdasarkan penelusuran, Dokter Aaron di bawah supervisi Dokter Larona Hydravianto Spesialis Ortopedi dan Traumatologi RSUD Notopuro Sidoarjo.

Dikutip dari Surya.co.id, Dokter Aaron lahir di Jayapura, Papua, pada 29 Januari 1994.

SOSOK DOKTER AARON - Sosok dr Aaron Franklyn Suaduon Simatupang saat ditemui di RSUD Notopuro Sidoarjo, Kamis (2/10/2025) malam. Dokter Aaron melakukan proses amputasi terhadap Ahmad, korban ambruknya bangunan Pondok Pesantren (Ponpes) Al Khoziny Sidoarjo, Jatim.
SOSOK DOKTER AARON - Sosok dr Aaron Franklyn Suaduon Simatupang saat ditemui di RSUD Notopuro Sidoarjo, Kamis (2/10/2025) malam. Dokter Aaron melakukan proses amputasi terhadap Ahmad, korban ambruknya bangunan Pondok Pesantren (Ponpes) Al Khoziny Sidoarjo, Jatim. (Kompas.com, TribunJatim/Yusron Naufal)

Pria berusia 31 tahun ini, pernah menempuh dan menyelesaikan pendidikan S2 di Program Studi (Prodi) Ilmu Hukum, Universitas Pembangunan Panca Budi. 

Namun, perlu diketahui informasi kelahiran dan pendidikan dr Aaron tersebut, berasal dari pencarian Google dan belum mendapatkan konfirmasi dari dokter Aaron. 

Cerita Dokter Aaron Amputasi Santri

Pada Senin (29/9/2025) malam, tampaknya menjadi cerita tak terlupakan bagi Dokter Aaron.

Saat itu, dokter dari TNI ini mempertaruhkan nyawanya demi menyelamatkan korban yang tertimpa reruntuhan Ponpes Al Khoziny

Ia merayap masuk ke celah puing reruntuhan bangunan demi menyelamatkan NA (Nur Ahmad). 

NA ada dalam posisi sulit. Tangannya tertindih bongkahan beton Musala yang ambruk. Hingga diputuskan untuk melakukan amputasi terhadap korban di lokasi.

Dokter Aaron mengambil risiko melakukan amputasi darurat di lokasi yang sebenarnya juga membahayakan dirinya.

"Pikiran saya, sudah siap mati sama pasien kalau bangunan itu runtuh. Karena itu sangat berbahaya, salah gerak sedikit ambruk," kata Dokter Aaron kepada awak media di RSUD Notopuro Sidoarjo, Kamis (2/10/2025) malam, dilansir TribunJatim.com.

Baca juga: Skenario Briptu Rizka Syok Dituduh Habisi Brigadir Esco, Pura-pura Cari Suami Hingga Lacak Nomor HP

Menurut dr Aaron, ada banyak tim yang turun saat itu. 

Namun karena sulitnya medan, maka mereka berbagi pos.

Dokter Aaron, anggota tim dari Dokter Larona Hydravianto Spesialis Ortopedi dan Traumatologi RSUD Notopuro Sidoarjo ini, memutuskan menyelamatkan korban yang terancam kehilangan banyak darah lantaran siku lengan kiri sudah tertindih beton bangunan.

Tindakan amputasi tak langsung dilakukan begitu saja. 

Opsi amputasi diambil setelah memastikan kondisi.

Dokter Aaron sempat berdiskusi dengan tim yang terdiri dari tim dokter senior. 

Persiapan matang menjadi pertimbangan utama. Setelah dirasa memungkinkan, maka tindakan dilakukan. 

Diceritakan dr Aaron,memutuskan melakukan amputasi di lokasi meski hal tersebut juga membahayakan nyawanya.

Ia harus merayap ke dalam celah beton yang ukurannya hanya sekitar 50 cm. 

Berpacu dengan waktu, Dokter Aaron masih sempat berkomunikasi dengan korban sebelum melakukan tindakan.

Setelah memastikan kondisi pasien, Dokter Aaron lantas keluar untuk kembali berdiskusi dengan tim yang terdiri dari tim dokter senior.

Setelah persiapan matang, tindakan amputasi tangan Nur Ahmad akhirnya dilakukan.

Proses amputasi berjalan sekitar 10 menit.

Nur Ahmad akhirnya berhasil dievakuasi, distabilisasi dan selanjutnya dirujuk ke rumah sakit. 

Dokter Aaron bersyukur pasien berhasil dievakuasi, distabilisasi dan selanjutnya dirujuk ke rumah sakit. 

"Kita bawa keluar itu less tidak banyak yang darah yang keluar," ungkapnya. 

Hal senada disampaikan Dokter Spesialis Ortopedi dan Traumatologi RSUD RT Notopuro Sidoarjo, dr Larona Hydravianto.

Larona mengungkapkan soal keputusan amputasi tangan Ahmad dilakukan langsung di bawah reruntuhan Musala Ponpes Al Khoziny

Menurut Larona, tindakan itu merupakan upaya penyelamatan nyawa karena kondisi korban terjepit beton.

“Jadi memang ini sesuatu yang sangat berat ya secara pertimbangan. Kita harus melakukan amputasi atau menghilangkan bagian tubuh. Tapi ada prinsip life saving is number one. Nyawa menjadi prioritas pertama dibanding anggota tubuhnya,” kata Larona, Jumat (3/10/2025).

Sebelumnya, Direktur Utama RSUD R.T. Notopuro, Dokter Atok Irawan mengatakan, terpaksa amputasi lengan kiri korban saat proses evakuasi, meski ada pihak keluarga yang protes. 

"Sempat yang diamputasi di tempat, keluarga sempat protes, enggak setuju. Ya gimana kalau kondisi darurat, sempat nanya 'Siapa yang mengizinkan?'," kata Atok, di RSUD R.T. Notopuro, Selasa (30/9/2025). 

Namun, berkat penjelasan dokter, pihak keluarga pun menerimanya.

Baca juga: Profil Halim Kalla, Tersangka Korupsi PLTU 1 Kalbar, Pengusaha Lulusan USA Adik Eks Wapres JK

"Untungnya dokter kami menjelaskan dengan lembut, dengan sabar, Alhamdulillah bisa menerima. Karena situasinya sempit, ini juga sebenarnya membahayakan jiwa nakes kami," tambahnya. 

Selanjutnya, dokter yang bertugas langsung melakukan penanganan pertama setelah proses amputasi. Korban dibawa untuk mendapatkan perawatan di RSUD R.T. Notopuro.

"Jadi tetap pertolongan, (korban) dibius di sana, lukanya (amputasi) ditutup cuma akhirnya dilakukan pembersihan lagi, dijahit ulang sampai pukul 01.30 WIB baru selesai," ucap Atok.

Kisah Santri Tangannya Terpaksa Diamputasi

Sementara itu, Nur Ahmad (16), santri yang menjadi korban ambruknya bangunan musala di Pondok Pesantren (Ponpes) Al Khoziny, mengaku tidak mampu melarikan diri setelah sejumlah batu dan beton menimpa tubuhnya.

Diceritakan Nur Ahmad, awalnya ia tidak merasakan tanda-tanda kejanggalan sebelum bangunan tiga lantai ambruk saat salat Asar pada Senin (29/9/2025).

Namun, tiba-tiba Musala Ponpes Al Khoziny  runtuh dan menimpa para santri. 

"Rakaat kedua kejadiannya. Langsung jatuh betonnya,” kata Ahmad saat dirawat di RSUD RT Notopuro Sidoarjo, Jumat (3/10/2025).

Kondisi itu, menyebabkan lengan kirinya tertimpa beton dan tidak lagi bisa digerakkan.

“Enggak bisa (menyelamatkan diri), langsung kena tangan. Enggak (tahu sebelah ada siapa), enggak melihat mukanya. Jadi waktu ruku, langsung tiarap setelah ada reruntuhan,” ujarnya.

Saat terjebak, Ahmad berusaha bertahan hingga mendengar suara petugas evakuasi. 

Ia langsung berteriak meminta tolong hingga dilakukan proses evakuasi.

Kronologi Musala Ponpes Al Khoziny Ambruk

Bangunan musala di Ponpes Al Khoziny itu ambruk pada Senin (29/9/2025) pukul 15.00 WIB. Saat kejadian, para santri Al Khoziny sedang bersiap melaksanakan salat Ashar.

Mulanya, Basarnas turun untuk melakukan evakuasi secara manual.

Namun, pada hari ke-4, Basarnas mulai menggunakan alat berat seperti crane untuk mengangkat puing-puing bangunan.

Kepala Sub Direktorat Pengarahan dan Pengendalian Operasi Bencana dan Kondisi Membahayakan Manusia Basarnas, Emi Freezer, menjelaskan mengapa pihaknya akhirnya mengerahkan alat berat.

Menurutnya, keputusan itu diambil setelah pencarian korban dengan metode manual tidak lagi membuahkan hasil.

Basarnas telah melakukan reassessment sebanyak tiga kali, namun semuanya nihil.

Reassessment dalam konteks ini berarti evaluasi ulang atau pengecekan kembali kondisi reruntuhan untuk memastikan ada atau tidaknya tanda-tanda korban yang masih hidup.

“Kenapa metode search space atau fase pencari penyelamatan ini kita alihkan ke fase pengambilan reruntuhan (dengan crane)? Adalah sudah tiga kali kami melakukan reassessment,” kata Emi dalam konferensi pers, Kamis (2/10/2025).

(Bangkapos.com, TribunJateng.com, TribunJatim.com, Tribunnews.com, Surya.co.id, Kompas.com)

 

 

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved