Resonansi

Rahasia

Rahasia bukan sekedar sesuatu yang disembunyikan dari publik. Justru, rahasia menjadi mekanisme dalam kekuasaan.

Penulis: Ade Mayasanto | Editor: Fitriadi
Dok. Ade Mayasanto
Ade Mayasanto, Editor in Chief Bangka Pos/Pos Belitung. 

Ade Mayasanto, S.Pd., M.M.

Editor in Chief 
Bangka Pos/Pos Belitung


Konon rahasia itu berada tepat di inti kekuasaan.

Rahasia bukan sekedar sesuatu yang disembunyikan dari publik. Justru, rahasia menjadi mekanisme dalam kekuasaan. Sebab, rahasia bukan lagi alat, tetapi menjadi pondasi kekuasaan

Pemimpin mempertahankan kekuasaan dengan cara menyembunyikan maksud dan informasi, demi memperlebar jarak antara penguasa dan rakyat. Jarak ini akan membentuk aura wibawa lantaran tak mudah tersentuh. 

Namun di sisi lain, kerahasiaan juga memecah belah. Yakni, antara mereka yang tahu dan tidak tahu. Keduanya bakal berhadapan dengan penuh kecurigaan. Sementara di sisi lain, situasi perpecahan bakal mengukuhkan kontrol dan dominasi lebih lama penguasa.

Begitu Elias Canetti menorehkan karya tulisnya berjudul Crowds and Power. Sebuah karya nonfiksi tentang kisah Raja Chroesus yang mempraktekkan bisikan rahasia kepada punggawa, bahwa sahabatnya akan dihukum mati. 

Disebutkan, atas bisikan rahasia itu, punggawa pertama tidak boleh membocorkan kepada siapapun. Titah sang Raja berjalan.

Pelan dan pasti, dua sahabat saling menjauh karena ada rahasia yang disembunyikan. Mereka kemudian tidak percaya.

Uniknya, dua sahabat itu justru berpaku pada raja. Raja menjadi tokoh tunggal yang mengikat mereka dengan sebuah rahasia yang menakutkan.

Hasilnya, Crowds and Power menjadi karya nonfiksi monumental. Apalagi, buku membeberkan tentang analisis antrapologis-psikologis ketika manusia berkerumun dan melebur menjadi sebuah kelompok.

Kelompok kemudian bersekutu menggapai kekuasaan melalui simbol, ritual dan kerahasiaan. 

Versi lain, Karya Canetti beberapa tahun kemudian dianggap sebagai karya langka.

Tulisan itu tidak hanya mengungkap teori sosial, tetapi penuh metafora, renungan dan kebijaksanaan tentang kekuasaan manusia. 

Terkadang kekuasaan memelihara ruang-ruang yang tak terjamah. Ruang dimana kehendak bekerja tanpa perlu penjelasan.

Ruang gelap itu membuat masyarakat bakal sibuk menebak. Dan terkadang pula membuat seisi ruangan tidak lagi mempercayai. Bahkan, bisa saja membuat kehilangan kemampuan untuk berbicara satu sama lain. Ketika hal itu muncul, kekuasaan bakal menemukan keunggulannya.

Dalam sejarah manusia, kekuasaan yang ditopang kerahasiaan ini sudah banyak bermunculan.

Dalam rezim Stalin, misalnya. Pejabat tinggi hidup dalam ketakutan. Mereka tak tahu apakah pujian yang dilontarakan, bakal berbalik menjadi tuduhan pada esok harinya. 

Sambutan hangat, pelukan, senyum, percakapan yang penuh kerahaman tuan rumah, bisa jadi basa-basi. Sebab, saat jam berlalu ke depan, polisi rahasia datang, membawa si pencerita ke lubang kematian. 

Rahasia yang menjelma menjadi sebuah sistem, tak melulu berjalan dalam rezim totalitarian. Dalam alam demokrasi sekalipun, rahasia itu berganti rupa belaka. 

Sebut saja, rapat tertutup, perundingan elite yang berakhir pada keputusan publik yang mencengangkan.

Ya, mereka terkadang memolesnya sebagai sebuah strategi, atau paling elit disebut sebagai rahasia negara. Tetapi, keduanya tidak berbeda. Sebab, publik hanya bisa menebak-nebak, menfasirkan potongan sinyal atau tanda yang tercecer di permukaan. 

Hingga akhirnya tebak siapa kawan, lawan dan sengkuni dilakoni secara biasa-biasa saja. Yakni, membaca arah angin. Meski angin yang datang itu berasal dari ruang yang sunyi dan rahasia.

Sumber: bangkapos.com
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved