Mengenang Sejarah Jatuhnya Pesawat Lion Air JT610, 29 Oktober 7 Tahun Lalu, 189 Orang Meninggal

Mengenang jatuhnya pesawat Lion Air JT610 di Perairan Karawang, Jawa Barat, pada Senin (29/10/2018) silam.

Penulis: Rusaidah | Editor: Rusaidah
TribunMedan.com
Pesawat Lion Air JT-610 jatuh di Perairan Karawang. Tepat hari ini, telah 7 tahun berlalu insiden pilu menjadi duka mendalam bagi dunia penerbangan. 
Ringkasan Berita:
  • Mengenang jatuhnya pesawat Lion Air JT610 di Perairan Karawang, Jawa Barat, pada Senin (29/10/2018) silam
  • Sebanyak 189 orang yang berada di dalam pesawat dinyatakan meninggal
  • Jumlah ini terdiri dari 179 penumpang dewasa, satu anak, dua bayi, dua pilot, dan lima kru
  • Lion Air mengoperasikan pesawat tersebut sejak Rabu (15/8/2018) dan dinyatakan layak operasi sebelum kecelakaan

 

BANGKAPOS.COM - Mengenang jatuhnya pesawat Lion Air JT610 di Perairan Karawang, Jawa Barat, pada Senin (29/10/2018) silam.

Tepat hari ini, telah 7 tahun berlalu insiden pilu menjadi duka mendalam bagi dunia penerbangan.

Seakan mengingatkan momen tragis ketika pesawat yang dinyatakan layak terbang tiba-tiba jatuh. 

Pesawat kala itu lepas landas dari Bandara Internasional Soekarno-Hatta, Cengkareng, Tangerang, Banten lalu dilaporkan hilang kontak beberapa menit setelah mengudara. 

Baca juga: Sosok Harry Budi Sidharta Ditunjuk Jadi Wakil Direktur Utama PT Timah, Eks Direktur PIS 

Sebanyak 189 orang yang berada di dalam pesawat dinyatakan meninggal. 

Jumlah ini terdiri dari 179 penumpang dewasa, satu anak, dua bayi, dua pilot, dan lima kru.

Epi Samsul Komara, orang tua salah satu penumpang Lion Air JT610, Muhammad Rafi Andrian (24), Rabu (31/10/2018) di Dermaga JICT II, Tanjung Priok, Jakarta Utara.
Epi Samsul Komara, orang tua salah satu penumpang Lion Air JT610, Muhammad Rafi Andrian (24), Rabu (31/10/2018) di Dermaga JICT II, Tanjung Priok, Jakarta Utara. (TRIBUNJAKARTA.COM/GERALD LEONARDO AGUSTINO)

Merujuk laman resmi Lion Air, Selasa (9/4/2019), pesawat yang jatuh berjenis Boeing 737 MAX 8 buatan tahun 2018. 

Lion Air mengoperasikan pesawat tersebut sejak Rabu (15/8/2018) dan dinyatakan layak operasi sebelum kecelakaan. 

Saat mengudara, JT610 dipiloti oleh Captain Bhavye Suneja selaku pilot in command (PIC) dan Harvino sebagai copilot.

Berikut kronologi dan penyebab pesawat Lion Air JT610 jatuh di Perairan Karawang.

29 Oktober 7 Tahun Lalu

Hari ini, 29 Oktober tujuh tahun yang lalu (2018), pesawat Lion Air Boeing 737 MAX 8 nomor penerbangan JT 610 jatuh di perairan Tanjung Karawang, tak lama setelah lepas landas dari Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang, Banten. 

Pesawat rute Jakarta-Pangkal Pinang dengan resgistrasi PK-LQP itu mengangkut 189 penumpang, yang terdiri atas 181 penumpang dan 8 kru. 

Seluruh penumpang dan kru dinyatakan meninggal dunia dalam kecelakaan tersebut. 

Dalam laporan awal yang dirilis KNKT, data kotak hitam flight data recoreder (FDR) menunjukkan bahwa pilot dan kopilot pesawat berjuang melawan komputer pesawat dalam 11 menit yang menentukan. 

Sepanjang 11 menit itu, hidung pesawat Lion Air JT610 turun secara otomatis hampir 24 kali.

Pilot dan kopilot berulang kali berupaya untuk membawa pesawat naik kembali sebelum akhirnya kehilangan kontrol. 

Pesawat kemudian menukik dengan kecepatan sekitar 700 kilometer per jam sebelum akhirnya menghantam laut. 

Baca juga: RESMI Sabrina Chairunnisa Gugat Cerai Deddy Corbuzier, Terdaftar Sejak 16 Oktober Lewat e-Court PA

Belakangan diketahui, fitur Maneuvering Characteristics Augmentation System (MCAS) menjadi salah satu faktor yang berkontribusi besar dalam kecelakaan ini. MCAS bekerja secara otomatis, meski pesawat terbang manual (autopilot mati). 

Tujuannya mulia, yakni memproteksi pesawat dari manuver yang berbahaya, seperti mengangkat hidung pesawat terlalu tinggi, sehingga mengakibatkan stall. 

Namun, fitur otomatisasi ini saat itu belum banyak diketahui pilot-pilot B737 MAX, karena tidak tercantum dalam buku manual operasi. 

Hanya setelah terjadi anomali dan peristiwa Lion Air JT610 terjadi, Boeing baru menjelaskan fitur ini.

Kronologi Pesawat Lion Air JT610 Jatuh di Perairan Karawang

Pesawat Lion Air JT610 mengalami kecelakaan saat terbang dari Bandara Soekarno-Hatta menuju Bandara Depati Amir, Pangkalpinang, Bangka Belitung, pada Senin (29/10/2018) pagi. 

Menurut laporan Kompas.com, Senin (29/10/2018), pesawat lepas landas dari Bandara Soekarno-Hatta pada pukul 06.20 WIB. 

Dua menit kemudian, pilot menghubungi petugas menara Jakarta Control untuk melaporkan adanya gangguan pada flight control ketika pesawat berada di ketinggian 1.700 feet. 

Petugas Jakarta Control kemudian memberikan izin agar pesawat menaikkan ketinggian hingga 5.000 feet. 

Namun, pada pukul 06.33 WIB, pesawat JT610 dilaporkan hilang kontak (lost contact) setelah terakhir kali terdeteksi di ketinggian 2.500 feet.

Sekitar pukul 06.50 WIB, Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan (Basarnas) menerima laporan dari Air Traffic Control (ATC) mengenai hilangnya kontak dengan pesawat tersebut. 

Tak lama kemudian, tim penyelamat segera dikerahkan menuju lokasi yang diduga menjadi titik jatuhnya pesawat. Pada pukul 07.20 WIB, kapal KN 224 milik Basarnas diberangkatkan menuju Last Known Position (LKP) JT610 disusul dengan pengerahan rubber boat (RB) 03 untuk mempercepat proses pencarian di lokasi kejadian.

Pencarian JT610 dimulai pukul 09.35 WIB ketika tim RB 1 (penyelam) person on board (POB) 2 bertolak ke lokasi. 

Tim RB 02 POB 13 juga dikerahkan sekitar pukul 09.35 WIB KN Damari KP diberangkatkan menuju titik LKP yang diduga lokasi jatuhnya JT610. Tim penyelam kemudian melakukan pencarian di sekitar LKP pukul 12.07 WIB, namun nihil.

Pukul 13.05 WIB, ditemukan serpihan dan potongan tubuh korban JT610. Temuan ini segera dibawa oleh RIB 02 dan 03 menuju posko. 

Setelah temuan serpihan dan potongan tubuh, tim penyelam Basarnas kembali melakukan penyelaman. KRI Tenggiri kemudian menyerahkan temuan serpihan pesawat ke KN Basudewa pada pukul 14.15 WIB.

Petugas gabungan melakukan pencarian black box dan kerangka pesawat pesawat Lion Air JT610 di perairan Tanjung Karawang, Jawa Barat, Kamis (1/11/2018). Di hari keempat proses pencarian kecelakaan pesawat Lion Air JT610, petugas gabungan berhasil menemukan potongan black box.
Petugas gabungan melakukan pencarian black box dan kerangka pesawat pesawat Lion Air JT610 di perairan Tanjung Karawang, Jawa Barat, Kamis (1/11/2018). Di hari keempat proses pencarian kecelakaan pesawat Lion Air JT610, petugas gabungan berhasil menemukan potongan black box. (TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN)

Polda Metro Jaya juga membantu proses pencarian JT610 dengan mengerahkan KP 3004 Polda Metro Jaya. 

Serpihan pesawat yang ditemukan kapal tersebut kemudian diserahkan ke KN Basudewa pada pukul 14.21 WIB. 17 menit berselang, RIB 01 tiba di Dermaga JICT 2 dengan membawa barang-barang penumpang JT610 dan enam kantong jenazah. 

Ambulans Polri membawa enam kantong jenazah ke RS Polri sekitar pukul 14.45 WIB.

Baca juga: Profil Sabrina Chairunnisa Gugat Cerai Deddy Corbuzier, Jebolan Putri Indonesia Kuliah S3 dan Korsel

Upaya pencarian pesawat JT610 dilanjutkan dengan mengerahkan KRI Regel ke lokasi untuk melakukan penyisiran bawah laut menggunakan sonar.

Sekitar pukul 15.10–15.22 WIB, tim pencarian menemukan tiga potongan tubuh dan satu tangan milik orang dewasa. 

Tak lama setelahnya, pilot boat MPAC Pelindo menyerahkan sejumlah temuan berupa serpihan jok atau busa kursi pesawat, potongan kepala, rambut, potongan daging, serta bagian tubuh lain yang telah dimasukkan ke kantong jenazah pada pukul 15.45 WIB.

Kemudian, Basarnas menemukan serpihan ekor pesawat sekitar pukul 17.00 WIB. Namun, operasi penyelaman dihentikan pukul 20.00 WIB karena jarak pandang di bawah air sangat terbatas. 

Hingga saat itu, sebanyak 14 kapal telah dikerahkan dalam operasi pencarian, dan petugas berhasil mengumpulkan sembilan kantong jenazah dari lokasi kejadian. 

Hingga Selasa (30/10/2025), petugas sudah mengumpulkan 26 kantong jenazah yang dikirim ke DVI Mabes Polri. 

Memasuki hari kedua pencarian, sebanyak 35 kapal dikerahkan dan area penyisiran diperluas dari 5 mil menjadi 10 mil laut. Namun, badan pesawat belum ditemukan.

Penyebab Kecelakaan Lion Air JT610

Dilansir dari Antara, Minggu (27/10/2019), Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) merilis hasil investigasi terkait kecelakaan JT610. 

Berdasarkan temuan KNKT, terdapat sembilan faktor yang saling berkontribusi satu sama lain sehingga menyebabkan pesawat jatuh. 

Salah satunya pilot mengalami kendala saat melakukan respons yang tepat terhadap pergerakan sistem peringatan dini atau MCAS yang tidak seharusnya karena tidak ada petunjuk dalam buku panduan dan pelatihan.

Di sisi lain, indikator penunjuk sikap atau angle of attack Disagree tidak tersedia di Boeing 737-8 (MAX) PK-LQP.

Hal tersebut membuat informasi tidak muncul ketika penerbangan dengan penunjukan sudut AOA yang berbeda antara kiri dan kanan. 

Ketiadaan informasi membuat perbedaan tidak dapat dicatatkan oleh pilot dan teknisi tidak dapat mengidentifikasi kerusakan AOA sensor.

Rekomendasi KNKT

Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) Kementerian Perhubungan merilis laporan akhir (Final Report) investigasi kecelakaan pesawat B737 MAX 8 Lion Air penerbangan JT610 pada 25 Oktober 2019. 

Dalam laporan tersebut, KNKT menyimpulkan ada sembilan faktor yang berkontribusi pada kecelakaan yang menewaskan 189 penumpang dan awak pesawat itu, yang secara garis besar adalah gabungan antara faktor mekanik, desain pesawat, dan kurangnya dokumentasi tentang sistem pesawat.

Berikut adalah sembilan faktor yang berkontribusi kepada kecelakaan Lion Air JT610, menurut keterangan tertulis yang diterbitkan Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT):

1. Selama desain dan sertifikasi Boeing 737-8 (MAX), dibuat asumsi-asumsi terkait respons pilot terhadap kerusakan. Meski konsisten dengan pedoman industri saat ini, ternyata asumsi ini tidak benar. 

2. Berdasarkan pada asumsi ini, perangkat lunak yang mengontrol hidung pesawat (MCAS) bergantung pada sensor tunggal dan dinyatakan tepat dan memenuhi semua persyaratan sertifikasi. 

3. MCAS pada pesawat dirancang untuk bergantung sepenuhnya pada sensor AOA, hal ini membuatnya rentan terhadap input yang salah dari sensor itu. AOA atau Angle of Attack adalah parameter kunci dalam penerbangan yang menunjukkan sudut antara sayap pesawat dan arus udara yang mengalir ke arah pesawat.

Jika sudut ini terlalu tinggi, pesawat bisa saja mandek atau kehilangan daya angkat. Data parameter diambil dari dua sensor, satu di antaranya terletak di sisi hidung pesawat.

4. Dalam manual penerbangan dan sewaktu pelatihan pilot, tidak ada panduan tentang MCAS atau penggunaan trim yang lebih terperinci. Ini semakin menyulitkan kru penerbangan untuk merespons MCAS yang bekerja secara otomatis.

5. Peringatan AOA DISAGREE tidak dengan benar diaktifkan selama pengembangan Boeing 737-8 (MAX). Akibatnya, peringatan ini tidak muncul selama penerbangan dengan sensor AOA yang salah dikalibrasi. 

Ini juga tidak dapat didokumentasikan oleh kru penerbangan dan karenanya tidak tersedia untuk membantu bagian pemeliharaan dalam mengidentifikasi sensor AOA yang salah dikalibrasi. 

6. Sensor pengganti AOA yang dipasang pada pesawat yang mengalami kecelakaan telah salah dikalibrasi selama perbaikan sebelumnya. Kalibrasi yang salah ini tidak terdeteksi selama perbaikan. 

7. Investigasi juga tidak dapat menentukan bahwa uji pemasangan sensor AOA telah dilakukan dengan benar; namun kesalahan kalibrasi tidak terdeteksi.

8. Kurangnya dokumentasi terkait penerbangan pesawat dan catatan perawatan tentang stick shacker dan penggunaan Runaway Stabilizer NNC yang terus-menerus menunjukkan bahwa informasi ini tidak tersedia bagi kru pemeliharaan di Jakarta dan juga bagi kru kecelakaan. Ini menyulitkan para pihak terkait untuk melakukan tindakan yang sesuai. 

9. Sejumlah peringatan, aktivasi MCAS yang terus berulang dan gangguan komunikasi dengan pihak Air Traffic Control tidak dapat dikelola secara efektif. Ini disebabkan oleh sulitnya situasi dan kurangnya penanganan manual, eksekusi Non-Normal Checklist (NCC) - yang merupakan prosedur untuk memecahkan masalah - serta komunikasi awak pesawat, mengarah pada tidak efektifnya aplikasi Crew Resource Management yaitu metode koordinasi antarpilot yang dirancang untuk memperbaiki respons terhadap kesalahan dan mengurangi stres.

Kekurangan ini sebelumnya telah diidentifikasi selama pelatihan dan muncul kembali selama penerbangan yang kemudian berakhir dengan kecelakaan.

Perbaikan Boeing

Boeing sendiri telah melakukan upgrade pada software MCAS, dan mengevaluasi pelatihan untuk pilot-pilot B737 MAX, terutama dalam menghadapi anomali sensor Angle of Attack dan MCAS. Pengujian yang dilakukan Boeing dan FAA menggunakan pesawat B737 MAX 7 yang telah dilengkapi software MCAS terbaru yang diajukan Boeing. 

Boeing telah mengubah keseluruhan arsitektur software pengontrol penerbangan itu, sehingga sistem kini menggunakan dua komputer pengendali penerbangan, alih-alih hanya satu. 

Dengan demikian, komputer MCAS kini menerima input dari dua sensor di masing-masing sisi pesawat.

Kini, FAA telah menyatakan B737 MAX aman dan sejumlah maskapai pun mulai kembali mengoperasikan B737 MAX. 

Sementara itu badan keselamatan penerbangan Eropa, EASA (European Union Aviation Safety Agency), menyatakan pesawat Boeing 737 MAX aman untuk diterbangkan kembali. 

EASA menyatakan puas dengan perubahan yang dilakukan oleh Boeing terhadap B737 MAX, sehingga pesawat dinyatakan aman untuk kembali terbang di langit Eropa, bahkan sebelum akhir 2020.

"Analisis kami menyatakan ini aman, dan tingkat keamanan yang dicapai sudah cukup tinggi bagi kami," kata Patrick Ky, Executive Director EASA dalam sebuah wawancara. "Saran kami kepada Boeing adalah, jika ada sensor ketiga maka tingkat keamanannya bisa lebih tinggi lagi," lanjutnya.

(Kompas.com/Bangkapos.com)

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved