Tribunners

Refleksi Konseptual dan Sosial atas Kepahlawanan di Indonesia

Masyarakat tidak lagi cukup dengan menghafal nama-nama pahlawan, melainkan perlu meneladani nilai yang mereka perjuangkan.

Editor: Fitriadi
Dokumentasi pribadi Bambang Haryo Suseno
Bambang Haryo Suseno, Pemerhati budaya, tinggal di Mentok, Bangka Barat. 

Oleh: Bambang Haryo Suseno – Pemerhati budaya, tinggal di Mentok

Kepahlawanan di Indonesia hari ini sedang mengalami pergeseran paradigma: dari pengakuan simbolik menuju praksis sosial yang menuntut partisipasi.

Masyarakat tidak lagi cukup dengan menghafal nama-nama pahlawan, melainkan perlu meneladani nilai yang mereka perjuangkan.

Pada saat yang sama, narasi kepahlawanan perlu diperluas agar inklusif — mengakui mereka yang berjuang tanpa gelar, di ranah kecil, dengan keberanian moral yang senyap.

Hanya dengan cara itu, kepahlawanan kembali menjadi energi sosial yang hidup, bukan sekadar
kenangan yang dibingkai di dinding sejarah.

Sejak awal kemerdekaan, negara membangun sistem pengakuan kepahlawanan melalui penetapan gelar resmi, tugu, nama jalan, dan peringatan Hari Pahlawan.

Mekanisme ini meneguhkan memori kolektif nasional, namun sekaligus membuat kepahlawanan menjadi representasi simbolik yang statis.

Sesuatu yang diabadikan, bukan dihidupkan kembali. Akibatnya, pahlawan sering kali menjadi ikon yang dihormati tetapi jauh dari keseharian masyarakat.

Seremoni memperkuat rasa nasionalisme sesaat, namun tidak otomatis menanamkan nilai pengorbanan, kejujuran, atau tanggung jawab sosial.

Dalam pendidikan, pendekatan yang menekankan hafalan nama dan peristiwa ketimbang
penghayatan makna tindakan memperlebar jarak antara simbol dan nilai yang sesungguhnya.

Internalisasi nilai kepahlawanan hanya mungkin terjadi bila nilai tersebut dialihkan dari
ranah seremonial ke ranah partisipatif.

Nilai-nilai seperti pengorbanan, integritas, dan solidaritas perlu dipraktikkan dalam konteks sosial kontemporer.

Dalam birokrasi, kejujuran dan keberanian moral menjadi wujud baru kepahlawanan; dalam lingkungan sosial, solidaritas dan kerja kolektif menghadapi krisis merupakan bentuk nyata; sementara dalam dunia digital, keberanian menyuarakan kebenaran dan menjaga ruang
publik dari hoaks adalah ekspresi baru dari medan juang.

Dengan demikian, internalisasi nilai memerlukan ruang aksi, bukan sekadar ruang simbolik.

Ketika nilai dihidupi melalui praktik sosial, kepahlawanan tidak lagi berhenti pada penghormatan, tetapi menjadi kebiasaan moral kolektif.

Selama ini, narasi kepahlawanan nasional cenderung berpusat pada figur laki-laki, perjuangan militer atau politik, serta wilayah utama di Jawa dan Sumatera.

Banyak kisah perjuangan perempuan, komunitas adat, tokoh minoritas, dan pegiat kemanusiaan yang belum diangkat dalam arus utama.

Kondisi ini membuat masyarakat lokal sulit menemukan cermin diri dalam narasi nasional.

Kepahlawanan yang inklusif berarti mengakui keberagaman latar perjuangan — sosial,
lingkungan, budaya, pendidikan, dan kemanusiaan.

Perubahan ini menuntut pergeseran dari pahlawan tunggal menuju aksi kolektif lintas
komunitas serta memberi ruang bagi “pahlawan tanpa gelar” yang mencerminkan daya tahan
moral masyarakat akar rumput.

Nilai-nilai lama seperti keberanian dan pengorbanan perlu diterjemahkan ulang dalam
konteks zaman.

Keberanian kini berarti menolak korupsi dan manipulasi publik, pengorbanan
berarti mengutamakan kepentingan sosial dan lingkungan, sementara nasionalisme berarti
kepedulian aktif terhadap kemanusiaan universal.

Dengan demikian, kepahlawanan yang inklusif adalah kesediaan untuk berjuang tanpa
harus dikenal serta keberanian memperjuangkan nilai kemanusiaan lintas batas identitas. (*) 

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved