Profil HOS Tjokroaminoto, Pahlawan Nasional Guru Soekarno, Ternyata Kakek Buyut Al El Dul dari Maia

Ahmad Al Ghazali Kohler, Ahmad Jalaluddin Rumi, dan Ahmad Abdul Qodir Jaelani memiliki garis keturunan HOS Tjokroaminoto

Penulis: Fitri Wahyuni | Editor: Rusaidah
Instagram Story Al Ghazali dan Wikipedia
PAHLAWAN NASIONAL -- ahlawan nasional asal Ponorogo, HOS Tjokroaminoto, ternyata adalah kakek buyut Al El Dul, anak Maia Estianty dan Ahmad Dhani. 
Ringkasan Berita:
  • Al Ghazali berziarah ke makam kakek buyutnya, Haji Oemar Said (HOS) Tjokroaminoto, pada Hari Pahlawan 10 November 2025
  • Maia Estianty adalah cicit HOS Tjokroaminoto, seorang pahlawan nasional dan tokoh pergerakan kemerdekaan Indonesia
  • Ayah Maia Estianty adalah Harjono Sigit Bachroensalam, yang mana Harjono adalah anak dari Siti Oetari, yang merupakan putri dari H.O.S. Tjokroaminoto

 

BANGKAPOS.COM -- Pahlawan nasional asal Ponorogo, HOS Tjokroaminoto, ternyata adalah kakek buyut Al El Dul, anak Maia Estianty dan Ahmad Dhani.

Ahmad Al Ghazali Kohler, Ahmad Jalaluddin Rumi, dan Ahmad Abdul Qodir Jaelani memiliki garis keturunan HOS Tjokroaminoto dari ibunya, Maia Estianty.

Maia Estianty adalah cicit HOS Tjokroaminoto, seorang pahlawan nasional dan tokoh pergerakan kemerdekaan Indonesia.

Ayah Maia Estianty adalah Harjono Sigit Bachroensalam, yang mana Harjono adalah anak dari Siti Oetari, yang merupakan putri dari H.O.S. Tjokroaminoto.

Profil HOS Tjokroaminoto

HOS Tjokroaminoto lahir di Ponorogo, Jawa Timur pada tanggal 16 Agustus 1883.

Baca juga: Sosok Indah Pertiwi, Perempuan di Kasus Suap Bupati Sugiri Sancoko, Ada Hubungan Apa dengan dr Yunus

Tjokroaminoto lahir dari kalangan bangsawan. Di dalam tubuhnya mengalir darah kiai dan priyayi.

Ayahnya bernama Raden Mas Tjokromiseno. Dia adalah Wedana Distrik Kleco, Madiun.

Sementara kakeknya Raden Mas Adipati Tjokronegoro merupakan Bupati di Ponorogo.

Darah kiai mengalir dari kakek buyutnya yang bernama Kiai Bagoes Kasan Besari.

Kiai Kasan Besari ini tercatat sebagai kiai besar di zamannya dan merupakan suami dari putri Susuhunan Pakubuwono II dari Surakarta.

Dari silsilahnya inilah darah pejuang mengalir deras dalam tubuh HOS Tjokroaminoto, serta mempengaruhi pemikiran-pemikirannya.

Pendidikan dan Pekerjaan

Lahir dari kalangan bangsawan, membuat HOS Tjokroaminoto berkesempatan untuk mengenyam pendidikan formal dengan sistem pendidikan Barat.

Baca juga: Sosok Iptu Nasrullah, Kanit Reskrim Panakkukang Berjasa Temukan Bilqis di Jambi, Bergelar Doktor

Pendidikan dasarnya ditempuh di Madiun, yaitu di sekolah Belanda.

Pendidikan lanjut ditempuh Tjokroaminoto di Opleiding School Voor Inlandche Ambtenaren (OSVIA). 

Saat itu, OSVIA merupakan sekolah untuk pegawai pribumi yang bertempat di Magelang, Jawa Tengah.

Setelah tamat dari OSVIA, Tjokroaminoto menjadi juru tulis di Ngawi, Jawa Timur selamat tiga tahun yaitu 1902-1905.

Berikutnya, Tjokroaminoto diangkat menjadi patih atau pejabat di lingkungan pegawai negeri. Namun, posisi itu tidak lama disandangnya.

Tiga tahun berselang, Tjokroaminoto menanggalkan jabatannya tersebut.

Alasannya, Tjokroaminoto tidak ingin terus menerus merendah di hadapan orang-orang Belanda sebagaimana lazimnya pegawai negeri zaman itu. 

Tjokroaminoto lantas menikah dengan Suharsikin, seorang putri Patih Ponorogo pada tahun 1905.

Berikutnya, Tjokroaminoto dan istrinya pindah ke Surabaya. Di sana dia bekerja sebagai pegawai swasta.

Selain itu, Tjokroaminoto juga membuka kos-kosan yang dikelola oleh istrinya.

Beberapa nama besar sempat tinggal di kos-kosan Tjokroaminoto, salah satunya Soekarno saat sekolah di HBS.

Bergabung dengan SDI

Memasuki tahun 1912, saat bekerja di perusahaan yang bergerak di bidang konsultasi teknik di Surabaya, Tjokroaminoto mendapat tamu utusan Sarekat Dagang Islam (SDI).

Tamu merupakan utusan Haji Samanhudi, yang merupakan pendiri SDI di Surakarta pada 1911.

Dengan SDI, Haji Samanhudi berjuang menentang masuknya pedagang asing yang ingin menguasai ekonomi rakyat.

Haji Samanhudi yang mengetahui kecakapan Tjokroaminoto, kemudian memintanya untuk bergabung dan berjuang di SDI.

Tawaran itu diterima. Bahkan HOS Tjokroaminoto menjelma menjadi sosok penting di SDI.

Pada tahun 1912, HOS Tjokroaminoto mengusulkan perubahan dari SDI ke Sarekat Islam (SI). 

Perubahan itu dimaksudkan agar anggota SDI tidak hanya dibatasi pada para pedagang, namun lebih terbuka lagi bagi seluruh masyarakat.

Nama SDI pun resmi berubah menjadi Sarekat Islam (SI) pada 10 September 1912. Tjokroaminoto sekaligus ditunjuk untuk sebagai salah satu pemimpin organisasi ini.

Raja Jawa Tanpa Mahkota

HOS Tjokroaminoto dikenal dengan julukan Raja Jawa Tanpa Mahkota atau De Ongekroonde Van Java.

Julukan ini disematkan berkaitan dengan kiprah Tjokroaminoto dalam membesarkan SI.

Setelah berubah menjadi SI, Tjokroaminoto membawa organisasi ini kepada Gubernur Jenderal Alexander Willem Frederik Idenburg untuk mendapat pengesahan.

Namun, pengesahan yang dimaksud itu tidak dikabulkan. Meski demikian, SI secara lokal tetap mendapat status badan hukum.

Sejak saat itu, keanggotaan SI pun meningkat hingga tercatat mencapai 2,5 juta orang.

Dengan jumlah anggota yang besar itu, SI telah memberikan banyak manfaat kepada masyarakat luas.

Maka HOS Tjokroaminoto pun dianggap sebagai Ksatria Piningit bagi para pribumi.

Sementara bagi pemerintah Hindia Belanda, sosok HOS Tjokroaminoto merupakan sosok yang harus diperhitungkan perjuangannya.

Maka Belanda saat itu menyematkan julukan Ongekroonde Van Java atau Raja Jawa Tanpa Mahkota kepadanya.

Karya dan Akhir Hayat HOS Tjokroaminoto

HOS Tjokroaminoto merupakan seorang pemikir yang produktif menuangkan pikiran-pikirannya dalam sebuah tulisan.

Hal ini dibuktikan dengan banyaknya karya dalam bentuk buku dan tulisan lain yang dihasilkan Tjokroaminoto. Beberapa karya tersebut antara lain:

Islam dan Sosialisme (1924) Raglament Umum Bagi Umat Islam (1934) Kultur dan Adat Islam (1933) Tafsir Program dan Azaz Tandim Al Islam (1916), majalah Sarekat Islam pusat.

Bendera Islam (1924-1927) majalah yang terbit dua mingguan.

HOS Tjokroaminoto jatuh sakit pada tahun 1934, tepatnya saat dia mengikuti Kongres SI di Banjarmasin.

Pada tanggal 17 Desember 1934, HOS Tjokroaminoto meninggal dunia dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Pekuncen, Yogyakarta.

HOS Tjokroaminoto ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional pada 9 November 1961.

Penjelasan Maia Estianty soal Dirinya Keturunan Keluarga Tjokroaminoto

Produser Maia Estianty membenarkan bahwa ia merupakan keturunan keluarga pahlawan nasional Oemar Said Tjokroaminoto.

Mantan personel grup musik Ratu itu menjelaskan bagaimana silsilah hingga dia menyemat sebagai cicit dari Oemar Said Tjokroaminoto.

“Iya (keturunan keluarga Oemar Said Tjokroaminoto), (aku) cicit,” kata Maia Estianty seperti dikutip Kompas.com dari kanal YouTube SULE Channel, Rabu (24/11/2021).

“Jadi gini, Eyang Tjokroaminoto punya anak (bernama) Oetari. Oetari itu istri pertama (Presiden) Soekarno, tapi enggak punya anak, cerai. Nenekku ini menikah lagi, baru turun ke aku,” ucap Maia Estianty menjelaskan.

Oleh karena itu, Maia Estianty tidak membenarkan bahwa ia merupakan keturunan dari keluarga Presiden Pertama Indonesia, Soekarno Hatta.

Mengenai penyematan keluarga Tjokroaminoto dalam kehidupan sehari-hari, Maia Estianty mengaku juga memiliki perasaan yang berat.

Maia Estianty mengungkapkan bagaimana ketika ibundanya menegur.

“Ya kadang-kadang kita kalau mulai badung, orangtua selalu bilang, 'ingat ya, kamu mengemban keluarga Tjokroaminoto',” ucap Maia Estianty.

Bukan hanya Ibundanya, Maia Estianty juga kerap kali ditegur oleh warganet.

“Atau misalnya netizen, 'tolong ya dijaga', kita mulai ngaco, mulai ngomongnya sembarangan, 'masa keluarga Tjokroaminoto begitu',” tutur Maia Estianty.

Kisah Cinta Nenek Maia Estianty dengan Soekarno

Sukarno bercerita, cintanya kepada Oetari sebenarnya bukan cinta seorang pria kepada wanita.

Namun lebih kepada rasa sayang seorang kakak kepada adiknya.

Dalam pengakuannya yang lain, seperti dituturkan Cindy Adams dalam buku Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, Sukarno mengatakan, pernikahannya tersebut terjadi atas dasar balas budi terhadap Tjokroaminoto.

“Kami memilih kawin gantung. Orang Indonesia menjalankan cara ini karena beberapa alasan. Dalam hal kami, aku belum berniat hidup sebagai suami-istri, karena dia (Oetari) masih kanak-kanak,” cerita Bung Karno.

Ikhwal mula terjadinya pernikahan itu adalah ketika Istri Tjoktroaminoto meninggal dunia. Tjokroaminoto sangat berduka.

Hingga suatu hari, adik Tjokroaminoto menemui Sukarno dan berkata, “Sukarno, kau lihat bagaimana sedihnya hati Tjokroaminoto."

“Apakah kau dapat berbuat sesuatu agar hatinya sedikit gembira?

Sukarno pun bingung. Bagaimana pula caranya membantu?

“Jadi menantunya. Oetari sekarang tidak punya ibu lagi. Tjokro sangat khawatir terhadap masa depan anaknya itu dan siapa yang akan menjaganya dan menyanginya. Inilah yang memberatkan pikirannya," sambungnya lagi

Tanpa Rasa Birahi

Dalam perjalanan, demi membalas budi, Sukarno lantas melamar Oetari.

Sampai ia (Tjokroaminoto) meninggal, ia tidak pernah tahu bahwa aku mengusulkan perkawinan ini hanya karena aku sangat menghormatinya dan menaruh kasihan padanya,” ungkap Bung Karno kepada Cindy Adams

Sukarno bahkan mengatakan tidak pernah "menyentuh" Oetari. Istrinya itu tetap dijaganya dalam keadaan suci.

“Kami tidur berdampingan di satu tempat tidur, tetapi secara jasmaniah kami sebagai kakak beradik,” ucap Sukarno

 Istri pertama Presiden Soekarno, Siti Oetari Tjokroaminoto, di usia tua (Idayu foto/KOMPAS) (Kompas)
Bahkan kami satu sama lain sejujurnya tidak memiliki keinginan melakukan sebagai layaknya suami-istri. Maksudku, dia menyukaiku dan aku menyukainya, tapi perkawinan kami bukan didasari rasa birahi menyala-nyala.”

Karena pengakuannya ini, kemudian muncul istilah janda perawan untuk Oetari.

Meski begitu, bukan berarti Sukarno tidak menyayangi Oetari. Saat Oetari sakit, Sukarno panik dan merawat Oetari sepenuh hati.

Sukarno merasakan sayang, dan bukan birahi.

Namun tak semua orang percaya pengakuan Sukarno. Penulis buku biografi Sukarno, Lambert Giebels, meragukannya

Menurut Giebels, Oetari yang secara fisik memiliki daya tarik dan masih muda tidak mungkin didiamkan Sukarno.

“Bahwa apa yang dikatakan (Sukarno) pada otobiografi itu adalah penghinaan bagi Oetari yang manis dan menarik itu,” ucap Giebels, dikutip dari buku 'Istri-Istri Sukarno'.

Al Ziarah ke Makam HOS Tjokroaminoto

Artis Al Ghazali menyempatkan diri berziarah ke makam kakek buyutnya yang merupakan seorang Pahlawan Nasional, Haji Oemar Said (HOS) Tjokroaminoto.

Al Ghazali berziarah pada Hari Pahlawan 10 November 2025.

Putra sulung Maia Estianty itu berfoto di samping pusara HOS Tjokroaminoto.

HOS Tjokroaminoto dijuluki Guru Bangsa.

“Ziarah ke Makam Eyang,” tulis Al Ghazali di Instagram, dikutip Senin (10/11/2025).

Story Al Ghazali pun di-repost oleh Maia Estianty. Maia pun membubuhinya dengan emoji hati.

HOS Tjokroaminoto dimakamkan di Taman Makam Pahlawan (TMP) Pekuncen, Yogyakarta. 

HOS Tjokroaminoto meninggal dunia di Yogyakarta pada 17 Desember 1934.

HOS Tjokroaminoto meninggal di Yogyakarta setelah jatuh sakit sepulang dari Kongres SI di Banjarnegara, sebuah organisasi yang ia dirikan.

HOS Tjokroaminoto merupakan pemimpin organisasi Sarekat Islam dan guru dari banyak tokoh pergerakan kemerdekaan, termasuk Soekarno.

Diketahui, Al Ghazali memiliki garis keturunan HOS Tjokroaminoto dari ibunya Maia Estianty.

Maia Estianty adalah cicit HOS Tjokroaminoto, seorang pahlawan nasional dan tokoh pergerakan kemerdekaan Indonesia.

Ayah Maia Estianty adalah Harjono Sigit Bachroensalam, yang mana Harjono adalah anak dari Siti Oetari, yang merupakan putri dari H.O.S. Tjokroaminoto.

(Bangkapos.com/TribunJatim.com/Kompas.com)

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved