Tribunners

Menyelisik Kenaikan Harga Cabai

Pemerintah harus melakukan langkah-langkah taktis dan tepat untuk menstabilkan harga cabai karena komoditas ini sangat dibutuhkan oleh masyarakat

Editor: suhendri
ISTIMEWA
Mariani Rangkuti, S.E. - Statistisi BPS Provinsi Kepulauan Bangka Belitung 

Oleh: Mariani Rangkuti, S.E. - Statistisi BPS Provinsi Kepulauan Bangka Belitung

AKHIR-AKHIR ini pemberitaan kenaikan harga cabai di Indonesia cukup ramai di media nasional. Bukan merupakan suatu hal yang baru terjadinya kenaikan harga cabai di tanah air. Padahal komoditas cabai merupakan primadona apalagi menjelang hari raya.

Di satu sisi pola konsumsi masyarakat terhadap cabai sangat tinggi, dan masyarakat masih terbiasa menggunakan cabai segar dan belum terbiasa mengonsumsi cabai olahan seperti dalam bentuk bubuk. Kondisi inilah yang menyebabkan terjadinya fluktuasi harga. Hal ini tentu akan menjadi masalah yang cukup krusial jika tidak segera dilakukan stabilisasi harga.

Kenaikan harga cabai pastinya tidak terlepas dari berbagai faktor. Kondisi cuaca yang tidak baik seperti tingginya curah hujan menyebabkan terjadinya gagal panen. Seperti yang telah diketahui sebelumnya bahwa telah terjadi banjir di beberapa wilayah sehingga berdampak terhadap hasil panen cabai. Selain itu, akibat curah hujan yang tinggi tanaman cabai terserang penyakit sehingga memengaruhi produksi.

Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan Indeks Harga Konsumen (IHK) berdasarkan gabungan dua kota pada bulan Maret 2022 mengalami inflasi sebesar 0,66 persen month-to-month (mtm), berbanding terbalik dari posisi deflasi pada Februari lalu. Penyumbang inflasi utamanya adalah cabai merah, bahan bakar rumah tangga, emas, serta minyak goreng.

Dari catatan BPS, inflasi Maret sebesar 0,66 persen ini tertinggi sejak Mei 2019. Menurut kelompok pengeluaran, andil terbesar terhadap inflasi Maret adalah makanan, minuman, dan tembakau yang memberikan kontribusi 0,38 persen dan inflasinya 1,47. Penyebabnya dipicu oleh komoditas cabai merah dengan andil 0,10 persen akibat keterbatasan pasokan dari faktor pergeseran cuaca (bisnis.com,2002).

Produksi cabai rawit di Indonesia mencapai 1,39 juta ton pada tahun 2021. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat jumlah itu turun 8,09 persen (121,96 ribu ton) dari tahun 2020. Konsumsi cabai rawit oleh sektor rumah tangga tahun 2021 adalah mencapai 528,14 ribu ton, naik sebesar 10,25 persen (49,11 ribu ton) dari tahun 2020. Konsumsi cabai rawit dari sektor rumah tangga adalah 75,72 persen dari total konsumsi cabai rawit.

Kenaikan harga cabai pastinya tidak hanya berimbas ke ruang lingkup rumah tangga. Industri-industri makanan dan rumah makan juga harus mengurangi ketersediaan cabai atau menaikkan harga makanan yang dijual ketika harga cabai melambung tinggi. Lagi-lagi yang paling terkena imbasnya adalah masyarakat miskin.

Pemerintah harus melakukan langkah-langkah taktis dan tepat untuk menstabilkan harga cabai karena komoditas ini sangat dibutuhkan oleh masyarakat. Jangan sampai mereka terbebani dengan mahalnya harga, mengingat sekarang masih dalam kondisi pandemi.

Namun beberapa waktu yang lalu petani enggan menanam cabai akibat kerugian besar yang dialami petani tersebut. Hal ini dikarenakan pada kala itu ketika panen raya, produksi cabai melimpah namun harga anjlok. Akibatnya, tidak terjadi keseimbangan antara supply dan demand. Oleh karena itu, diperlukan beberapa langkah agar harga cabai kembali stabil.

Data adalah suatu hal yang sangat penting dalam mengambil suatu langkah atau kebijakan. Begitu pula dalam mengatasi kasus melonjaknya harga cabai di tanah air. Harga cabai di provinsi satu dengan provinsi lainnya berbeda. Begitu pula kondisi lahan yang terdapat di masing-masing provinsi. Oleh karena itu, diperlukan data serta pihak yang mampu menganalisisnya sehingga pihak-pihak tertentu dengan melibatkan peran pemerintah daerah dapat fokus dengan apa yang terjadi sebenarnya di lapangan.

Peristiwa kenaikan harga termasuk cabai, sudah biasa terjadi menjelang momen-momen tertentu. Pemerintah sebaiknya mengambil langkah yang paling mudah, seperti menampung hasil panen cabai dan mengatur sirkulasinya ke pasaran. Upaya jangka pendek yang dapat dilakukan untuk menstabilkan pasokan dan meredam kenaikan harga bisa juga dilakukan dengan menggelar operasi pasar atau pasar cabai murah.

Pemerintah juga sebaiknya terus mengedukasi masyarakat untuk mengonsumsi cabai olahan, baik kering, bubuk, pasta, sambal botol atau saus, dan tidak tergantung pada cabai segar. Bahkan masyarakat bisa melakukan pengawetan sendiri saat harga cabai sedang murah.

Peran e-commerce dianggap mampu dalam memotong mata rantai distribusi cabai. Adanya peran teknologi memudahkan penjual untuk bertemu dengan pembeli dan hanya memerlukan waktu yang singkat. Namun, cabai merupakan komoditas pertanian yang tidak tahan lama sehingga apabila proses pengiriman terlalu lama dikhawatirkan akan diterima oleh konsumen dalam keadaan membusuk. Oleh karena itu, diperlukan peran pihak-pihak tertentu sehingga cabai pascapanen memiliki ruang simpan yang baik dan bekerja sama dengan pihak pengiriman agar cabai tetap dalam kondisi segar ketika sampai di konsumen.

Para petani cabai harus memperbaiki sistem budi daya dengan memanfaatkan teknologi secara optimal agar produktivitas meningkat. Petani sebaiknya menerapkan inovasi rain shelter untuk melakukan tanam pada bulan off season yang bisa menjadi solusi budi daya cabai di tengah tingginya curah hujan.

Cabai bisa ditanam di pekarangan yang terbatas, bisa juga dengan sistem hidroponik. Jadi masyarakat bisa menanam di rumahnya masing-masing sehingga tidak terlalu terpengaruh apabila harga cabai sedang naik. (*)

Sumber: bangkapos
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved