Berita Pangkalpinang

Dosen Hukum UBB Sebut Gesekan Nelayan Tradisional dan Kapal Compreng, Karena Perbedaan Teknologi

Kapal compreng yang beroperasi di Pulau Bebuar membuat resah nelayan Kurau, Kabupaten Bangka

Penulis: Cici Nasya Nita | Editor: nurhayati
ISTIMEWA
Muhammad Syaiful Anwar, S.H., LL.M - Dosen HTN/HAN FH Universitas Bangka Belitung 

BANGKAPOS.COM, BANGKA -- Kapal compreng yang beroperasi di Pulau Bebuar membuat resah nelayan Kurau, Kabupaten Bangka Tengah, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung

Keresahan nelayan daerah itu sudah diterima laporannya oleh Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Bangka Belitung.

Dosen Hukum Tata Negara (HTN) FH Universitas Bangka Belitung (UBB), Muhammad Syaiful Anwar mengatakan secara prinsip terkait teknologi kapal compreng tidak ada masalah yang berarti, namun yang menjadi masalah adalah tempat atau wilayah tangkapnya. 

"Hal ini menarik juga ditinjau lebih jauh. Gesekan terjadi antara kapal nelayan kecil dengan nelayan yang memiliki kapal compreng dengan peralatan lebih canggih yang jumlahnya puluhan di wilayah Pulau Bebuar. 

Jika menelisik lebih jauh, tidak ada aturan yang secara spesifik membatasi penggunaan mesin dan alat tangkap teknologi canggih," ungkap Anwar, Selasa (20/12/2022).

Dia mengatakan, jika nelayan tradisional dengan teknologi seadanya dan semampunya menghidupi diri dan kebutuhan sehari-hari dan keluarga melalui tangkap ikan. 

Sedangkan kapal dengan teknologi maju ini, untuk usaha perikanan dengan kapal yang lebih dari 30 Gross Tonnage (30 GT) maka sudah dapat dikatakan sebagai kapal dengan standar besar dan harus berada lebih dari 12 mil laut dari pesisir. 

"Jadi yang menjadi titik permasalahannya itu di wilayah tangkapnya kapal tersebut yang terlalu dekat bersinggungan dengan nelayan kecil. Hal ini yang membuat para nelayan khawatir akan kehilangan sumber mata pencahariannya karena semakin banyaknya kapal compreng yang datang di wilayah Pulau Bebuar tersebut," jelasnya.

Dia menyebutkan izin dari Kementerian Kelautan dan Perikanan tidak serta merta bisa menjelajahi perairan di Indonesia, harus ada kualifikasi yang dipenuhi agar bisa melakukan penangkapan ikan. 

Hal yang menarik dalam kasus ini adalah, kapal yang melakukan kegiatan penangkapan ikan di wilayah Bangka Tengah ini, mendapatkan izin dari pusat yang besaran kapalnya lebih dari 30 gross tonnage. 

Tindakan kapal tersebut justru menyalahi aturan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 58 Tahun 2020 tentang Usaha Perikanan Tangkap. 

Hal ini termaktub dalam Pasal 12 ayat (1) yakni Menteri berwenang menerbitkan Surat izin Usaha Perikanan (SIUP), Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI), dan Surat Izin Kapal Pengangkut Ikan (SIKPI), untuk Kapal Perikanan berukuran di atas 30 (tiga puluh) gross tonnage yang beroperasi di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPPNRI) di atas 12 (dua belas) mil laut dan/atau di laut lepas. 

"Dapat kita simpulkan bahwa, jika sebuah kapal mendapatkan izin dari kementerian yang didelegasikan kepada direktur jenderal dan melakukan kegiatan bukan berdomisili diwilayah tertentu, maka dapat dikatakan kapal tersebut pasti memiliki gross tonnage lebih dari 30 GT sehingga wajib berada di atas 12 mil laut atau bukan di dalam wilayah laut territorial. 

Hal yang dilakukan oleh kapal tersebut jika terbukti masuk dalam wilayah 12 mil laut, maka bisa dijatuhi hukuman denda administrative ataupun tindakan lainnya karena telah menyalahi peraturan yakni menyalahi izin kegiatan dan bisa dicabut perizinan usaha penangkapan ikan," jelasnya.

Dalam Peraturan Menteri Kelautan Dan Perikanan Nomor 58 Tahun 2020 Tentang Usaha Perikanan Tangkap ini bahwa terdapat pembagian pemberian izin terkait batas wilayah kapal tangkap, yakni sebagai berikut:

Sumber: bangkapos.com
Halaman 1/2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved