Berita Kriminalitas
Kasus ABH Meningkat, Di Pangkalpinang Mayoritas Tindak Pidana Kekerasan dan Asusila
Kasus anak yang berhadapan dengan hukum (ABH) di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung setiap tahunnya meningkat.
Penulis: Nurhayati CC | Editor: nurhayati
BANGKAPOS.COM, BANGKA -- Kasus anak yang berhadapan dengan hukum (ABH) di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung setiap tahunnya meningkat.
Terakhir yang paling miris adalah pelaku AC yang membunuh bocah perempuan 8 tahun di Bangka Barat.
Di beberapa tempat lain, juga sejumlah anak terlibat pencurian, narkoba, dan perkelahian.
Baca juga: Breaking News: Polres Bangka Barat Tangkap Kurir Ganja Jaringan Aceh Seberat 2 Kg
Baca juga: Pengedar 2 Kg Ganja di Muntok Bangka Barat Akui Sudah Dua Kali Beraksi
Di Ibu Kota Provinsi Kepulauan Bangka Belitung di Kota Pangkalpinang sendiri sudah ada 11 laporan polisi telah diterima Polresta Pangkalpinang sepanjang 2023.
Jumlah tersebut tercatat dari Januari hingga April 2023, yang ditangani oleh Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Polresta Pangkalpinang.
Jika dibandingkan pada data ABH, 2 tahun terakhir, jumlah 11 kasus di empat bulan pertama 2023 kian memprihatinkan sekaligus membuat miris.
Kasus ABH pada 2021 unit PPA Polresta Pangkalpinang hanya mendapatkan 27 laporan polisi, sedangkan di tahun 2022 melonjak hingga 47 laporan polisi.
Kasat Reskrim Polresta Pangkalpinang, Kompol Evry Susanto mengakui terjadinya fenomena atau tren peningkatan terkait jumlah ABH.
"Mulai banyak peningkatan dari 2021 ke 2022, mungkin karena efek dari lonjakan Covid-19 terjadi kenaikan. Lalu juga sampai saat ini 11, dan ini belum mencapai pertengahan tahun," ungkap Kompol Evry Susanto, Senin (15/5/2023).
Lebih lanjut untuk kasus menyeret para ABH diungkapkan Evry Susanto, mayoritas yang tangani Polresta Pangkalpinang yakni tindak pidana kekerasan dan asusila.
"Kalau mayoritas atau dominan seperti di 2022 kasus kekerasan ada 22 kasus kekerasan, persetubuhan ada 17, cabul ada enam dan dua kasus eksploitasi. Di tahun 2023 ini juga banyaknya kekerasan anak dibawah umur, kalau asusila itu biasanya pacaran. Untuk kasus lain, seperti pencurian ada tapi tidak signifikan," jelasnya.
Diakui perwira melati satu ini membeberkan faktor lingkungan dan keluarga, mempengaruhi terjadinya tindak pidana yang menyeret para ABH.
"Kurangnya pengawasan dari orang tua, lalu dari pemerintah juga harus menerapkan jam malam karena banyak kejadian itu terjadi pada malam hari. Sebagai orang tua harus protektif, harus memberlakukan jam malam kepada anak. Anak belum pulang harus dicari dan sebenarnya, proteksi itu dari keluarga dulu baru pemerintah," ungkapnya.
Perlu Peran Aktif Orangtua dan Guru
Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak Kependudukan Pencatatan Sipil dan Pengendalian Penduduk Keluarga Berencana (DP3ACSKB) Bangka Belitung, Asyraf Suryadin mengatakan hal seperti ini harus menjadi perhatian semua pihak untuk menekan kejadian seperti ini.
"Kita berharap itu tidak terjadi, ini perlu penegasan yang dilakukan oleh orangtua dalam menjaga anak-anak, karena lingkunga berpengaruh terhadap tindakan anak yang kurang baik," ungkap Asyraf, Senin (15/5/2023) saat dikonfirmasi Bangkapos.com.
Dia menekankan peran dan pendampingan dari orangtua menjadi penting dalam tumbuh kembang anak.
"Kita sebenarnya berharap kepada para pihak, agar anak-anak diberlakukan pembatasan, tidak keluar di malam hari, mau keluar, diharap bisa didampingi orangtua," katanya.
Untuk itu DP3ACSKB Bangka Belitung ikut serta memberikan sosialisasi agar anak-anak senantiasa bertindak semestinya.
"Kita berusaha terus memberikan sosialisasi baik di sekolah dasar hingga sekolah menengah atas, peran guru juga tinggi untuk menangkal tindakan tak baik bagi anak, karena anak-anak selain di rumah, banyak beraktivitas di sekolah," jelasnya.
Kendati miris melihat anak-anak terlibat hukum, namun hak-hak anak tersebut dikatakan oleh Asyraf harus tetap diperhatikan.
"Kalau sudah terjadi anak terlibat hukum, namun harus memperhatikan keadilan bagi anak, hak-hak mereka jangan sampai terabaikan, misalnya sudah ada putusan, hak untuk sekolah dengan paket A, B dan C, untuk diperhatikan," tegasnya.
Tidak Buat Jera
Maraknya kasus anak yang terlibat dengan pelanggaran hukum, membuat Ketua Komisi IV DPRD Bangka Belitung, Marsidi Satar, merespon.
Menurutnya, banyak faktor yang membuat anak melakukan perbuatan melawan hukum, dari pergaulan, lingkungan, kurangnya pengawasan orang tua hingga lemahnya hukuman sehingga tidak membuat jera.
"Karena kita tahu kondisi dan zaman saat ini serba canggih. Ini banyak anak-anak lepas kontrol dalam hal apapun. Seperti membuka, handphone, kadang kurang kontrol. Jadi begitu bebasnya menggunakan alat media, ini memberikan pendidikan yang seharusnya belum dan seharusnya tidak dilihat anak anak," jelas Marsidi kepada Bangkapos.com, Senin (15/5/2023) di ruang Komisi IV DPRD Bangka Belitung.
Selain itu, Marsidi juga menekankan kasus anak berkonflik dengan hukum ini harus dapat ditekan oleh pemerintah daerah dan jangan terus menerus bertambah setiap tahun.
"Menyangkut masalah anak di bawah umur, kita sangat berharap dan mendorong pemerintah daerah untuk memberikan semacam kegiatan yang mengarah pada pembimbingan. Supaya pemahaman orang tua ke anak-anak, terkait peraturan yang memberatkan bagi kekerasam terhadap anak, apalagi soal pelecehan," kata Marsidi.
Politikus Golkar Bangka Belitung ini, meminta setiap orang tua, berhati-hati tidak membiarkan pergaulan anak-anaknya di tengah masyarakat di era kebebasan saat ini.
"Kadang-kadang juga ada hal yang berkaitan dengan aturan perlindungan terhadap anak, anak merasa terlindungi. Sehingga ada anak sendiri membuat kekerasan terhadap anak lain merasa terlindungi. Perlakuan hukum yang merasa tidak diberatkan perlu dikaji kembali," kata Marsidi, anggota DPRD Bangka Belitung Dapil Bangka Selatan ini.
Menurutnya, pemerintah perlu melakukan revisi atau hal lainnya, untuk dapat membuat efek jera.
Terhadap anak yang melakukan pelanggaran hukum, terutama terkait kekerasan dan asusila.
"Ada aturan yang tidak memberikan efek jera. Sehingga anak lain bisa berbuat kejahatan. Seakan dilindungi aturan, harusnya memberatkan, untuk kasus-kasus tertentu dalam upaya kita melakukan perlindungan terhadap anak," harapnya.
Peradilan Anak Berikan Batasan Usia
Dosen Psikologi Islam, IAIN SAS Bangka Belitung, Oktarizal Drianus menyoroti soal maraknya pemberitaan anak yang berhadapan dengan hukum (ABH).
"Akhir-akhir ini banyak mencuat pemberitaan mengenai fenomena anak terlibat kasus kriminal. Publik tidak cukup hanya membaca data kasar statistik saja, misalnya hanya melihat jumlah total kasus. Variabilitas data perlu juga dicermati oleh berbagai pihak.
Variabilitas yang dimaksud seperti: jenis tindakan kejahatannya (modus operandi), level kerugian korban, dampak psikis saksi, kompleksitas tindakannya semisal: pelecehan seksual, menggunakan senjata tajam, bahkan kombinasi dari berbagai tindakan," jelas Oktarizal, Senin (15/5/2023).
Dia menyebutkan dalam hal, menunjuk kasus viral, baru-baru ini belum hilang ingatan terhadap kasus pembunuhan anak yang terjadi di Bangka Barat.
Kasus ini merupakan kasus yang mempunyai level kompleksitas berbeda: dari penculikan, pembunuhan, sampai meminta tebusan terhadap keluarga korban.
Fenomena menjadi unik sekaligus problematis karena melibatkan suatu subjek, yang disebut sebagai anak.
"Di Indonesia, istilah resmi untuk subjek anak yang terlibat hukum disebut dengan Anak Berhadapan dengan Hukum (ABH).
Secara legal-formal, Anak Berhadapan dengan Hukum (selanjutnya disebut ABH) adalah anak yang berkonflik dengan hukum, anak yang menjadi korban tindak pidana, dan anak yang menjadi saksi tindak pidana," jelasnya.
Mengenai peradilan anak, diberikan batasan usia anak yang berhadapan dengan hukum sebagai anak yang telah berusia 12 tahun, tetapi belum berusia 18 tahun (Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak /UU SPPA).
UU SPPA ini saat ini merupakan sebuah payung hukum utama bagi anak dengan ruh keadilan restoratif. UU SPPA merupakan “palu hukum” untuk penanganan koersif.
Akan tetapi, perlu pembacaan mengenai penanganan multi-layer dan dan multidimensi sehingga dapat menopang sistem hukum tersebut (juvenile justice system).
"Apakah ini fenomena ABH ini baru atau memang sebenarnya mempunyai akar dalam kehidupan sosial masyarakat kita? Tindakan kejahatan pada mulanya tidak serta merta 'jatuh dari langit'.
Dijelaskannya, dalam Teori Belajar Sosial Bandura, sebuah tindakan/ perilaku (behavior) merupakan bentuk kompleks psikis yang melibatkan interaksi antara faktor-faktor personal (personal factors) misalnya: kognisi, afeksi, dan biologis, dengan faktor-faktor lingkungan (environmental factors) semisal: kebiasaan, norma, nilai-nilai keluarga, lingkaran pertemanan, imitasi sosial di media sosial, dan nilai sosial kultural masyarakat.
"Jadi, suatu tindakan kejahatan dieksekusi oleh subjek anak tidak dapat dikatakan terjadi begitu saja, tanpa sadar.
Melainkan, suatu akumulasi psikis yang terkondisikan sebelumnya (antecedents’ events). Bahwa ada pengetahuan, perasaan, motivasi, model imitasi, kebiasaan respons masalah, serta normalisasi dari lingkungannya dalam suatu tindakan kejahatan yang dilakukan subjek, " benernya.
Lebih jauh, dia mengatakan secara faktor personal, menurut Erich Fromm dalam karya klasiknya The Anatomy of Human Destructiveness, secara alamiah naluri agresi merupakan bawaan manusia (innate) dalam mempertahankan hidupnya atau kepentingannya.
"Dengan kata lain, naluri agresi ini akan muncul ketika subjek mengalami peristiwa yang dianggap menekan, membuatnya insecure, mengancam kenyamanannya, atau dapat menimbulkan kenikmatan baginya," kata Oktarizal.
Akan tetapi, tidak semua subjek merespons kejadian dengan interpretasi yang sama. Misalnya, subjek yang mempunyai regulasi diri dan emosi yang baik, efikasi diri yang baik, dapat merespon suatu kejadian yang mengancam secara lebih rasional.
"Contohnya, di setting sekolah, seorang anak yang mempunyai regulasi diri dan emosi yang baik, tidak merespons tindakan bully dengan tindakan yang sama, melainkan mengabaikannya atau melapor ke pihak sekolah," ungkap Oktarizal.
Ditinjau dari faktor lingkungan sosial kulturanya, anak yang dididik dalam habitus yang sehat, tidak akan membully temannya yang memiliki kekurangan, malah mendukungnya.
"Hal ini tentunya berbeda dengan anak yang diasuh dalam toxic habitus, yaitu suatu struktur kesadaran buruk yang ditanamkan oleh lingkungannya, oleh imitasi media sosialnya," katanya.
Selain bawaan faktor personal dan lingkungan sosial di atas, tindakan kejahatan bermula dari kekerasan verbal maupun psikologis, simbolis yang diproduksi oleh ketimpangan-ketimpangan kekuasan (power).
Kasus-kasus kekerasan yang melibatkan anak, selalu terjadi karena pelaku selalu lebih powerfull dari korban.
Relasi ketimpangan kekuasaan ini jika tidak dikelola dengan baik, akan menjadi sumber potensial tindakan kekerasan, yang akhirnya mengerucut menjadi tindakan kriminal.
Faktor penyumbang lainnya yang memiliki relasi signifikan terhadap kultur kekerasan adalah maskulinitas tradisional, yaitu nilai-nilai kelelakian yang menganggap laki-laki mesti berkelahi, kuat fisik dan macho, tidak boleh nangis.
"Dengan kata lain, anak laki-laki dilarang secara kultural mengekspresikan emosinya. Nilai maskulinitas tradisional ini mendukung secara kultural kepada tindakan kekerasan," ungkap Oktarizal.
Bourdieu bahkan jauh-jauh hari mensinyalir bahwa akar kekerasan dan kejahatan bersumber dari kekerasan simbolis, yaitu kekerasan yang dialami tanpa korban menyadarinya, misalnya perbedaan selera karena pengaruh kelas dan status sosial. Contohnya, laki-kali dinormalisasi untuk berkelahi, namun perempuan tidak.
"Kekerasan yang berbasis gender kerap muncul dari jenis kekerasan simbolis ini. Dengan demikian, ABH yang terlibat sebagai pelaku, tidak hanya dari faktor personalnya, melainkan juga internalisasi dari lingkungan sosial kulturalnya," katanya.
Penanganan Multilayer-Multidimensional
Dosen Psikologi Islam, IAIN SAS Bangka Belitung, Oktarizal Drianus memaparkan
berdasarkan Teori ABC-nya Bandura, A (Antecendents) ini termasuk subjek/orang, tempat, peristiwa yang melatarbelakangi suatu perilaku.
B (Behavior) merupakan perilaku dan C (Consequences) merupakan peristiwa atau konsekuensi yang mengikuti perilaku dan mempunyai kemungkinan perubahan perilaku di masa mendatang.
Penanganan berbasis hukum dengan payung UU SPPA di atas mesti terus didukung dan diperbaiki.
"Hal ini mengingat paradigma payung hukum tersebut dalam rangka memberdayakan anak dan perlindungan hak anak.
Akan tetapi, semata-mata mengandalkan perspektif ini saja tidak cukup. Belum lagi konsep “penjara anak” yang terus ditinjau dan dikaji termasuk sistem Pendidikan di dalamnya," katanya.
Dengan kata lain, tidak hanya sudah puas dengan menyidangkan anak, lantas memenjarakan anak.
Perlu usaha berkelanjutan jangka panjang dan komprehensif. Dari perspektif teori di atas, penanganan dari aspek hukum semata hanya menyasar dan menghukumi B dan C nya saja.
"Desain penanggulangannya mesti menggunakan pendekatan ekologi sosial yang multilayer-multidimensional, pendekatan ini dapat menyasar dimensi A, B, dan C dalam kerangka teoretik Bandura di atas. Multilayer artinya tidak hanya bertumpu pada penanganan hukum saja, melainkan berbagai lapis ranah. Misalnya, di ranah yang paling subjektif yaitu pengasuhan keluarga," katanya.
Relasi intersubjektif antara anak dan orang tua yang penuh kasih sayang, tanpa kekerasan, merupakan modalitas awal menumbuhkan personalitas yang anti-kekerasan. Pada ranah pertemanan dan sekolah, misalnya diterapkan nilai-nilai anti-kekerasan, semisal anti-bully, dan sebagainya yang berkaitan dengan perlindungan hak-hak anak.
Di ranah lembaga keagamaan dan pendidikan, dapat menyemai nilai-nilai moderasi beragama yang lebih mengedepankan kasih sayang, kerjasama, toleransi dan anti-kekerasan. Jelas sekali, penanganan multilayer ini mesti juga mensyaratkan multidimensional.
"Artinya, keterlibatan aktif dan kolaboratif dari berbagai pihak seperti: pemerintah, akademisi, LSM/ NGO, peneliti dan pengabdi, masyarakat dalam program integratif, inter, multi, dan trans-disiplin," katanya.
Hanya menyebut contoh faktual, di Pangkalpinang secara resmi sudah mulai digalakkan Sekolah Ramah Anak (SRA).
SRA ini dapat dioptimalkan menjadi program yang multilayer-multidimensional dapat menumbuhkan pilar-pilar yang memberdayakan hak-hak anak sejak dini.
"Pilar ini nantinya akan menubuh menjadi habitus yang baik. Program SRA ini sebenarnya relate dengan kota ramah anak, dengan jargon “kota beribu senyuman”.
Jargon ini dapat menjadi tagline yang dapat diturunkan menjadi program nyata. Mungkin dapat diperluas menjadi Kelurahan Ramah Anak, atau Desa Ramah Anak," katanya.
Baca juga: Mobil Minibus Tabrak Tiang Listrik di Desa Penyak Bangka Tengah
Baca juga: Mobil Minibus Tabrak Tiang Listrik di Desa Penyak Bangka Tengah
Program-program berbasis ramah anak ini juga dapat menyasar komunitas muda masyarakat seperti pendampingan-pendampingan komunitas sosial secara kultural.
Singkatnya, pendampingan personal profesional, program-program resmi dari pemerintah, dan pendampingan kelompok sosial kultural dapat memperkuat ekologi sosial multilayer-multidimensional yang disebut di atas.
Dengan demikian, pendekatan-pendekatan sosial kultural jangka panjang yang melibatkan berbagai ranah dan trans-disiplin akan mampu melampaui hukum (beyond the law).
"Melampaui (beyond) bermakna bahwa keadilan restoratif yang menjadi ruh UU SPPA dapat ditopang dan didukung dengan modalitas-modalitas yang lahir dari pendekatan multilayer-multidimensional tersebut. Sehingga akhirnya terstrukturasi sebuah sistem keadilan anak (juvenile justice system)," katanya.
(Bangkapos.com/Cici Nasya Nita/Rizky Irianda Pahlevy/Riki Pratama/Nurhayati)
Anak Berhadapan dengan Hukum (ABH)
Polresta Pangkalpinang
kasus kekerasan
asusila
Bangka Belitung
Bangkapos.com
| Soal Korupsi Insentif Covid-19 Belitung Timur, Ini Kata Kepala Ruang Isolasi |
|
|---|
| Korupsi BPRS Toboali, Ini Kata Kepala Personalia BPRS Soal Terdakwa Yusman |
|
|---|
| Korupsi BPRS Toboali, Saksi Sebut Ada Pembiayaan Terhadap Keluarga Terdakwa Yusman |
|
|---|
| Sat Narkoba Polres Bangka Bekuk Pengedar Di Pinggir Jalan |
|
|---|
| Tersangka Mat Raye Dulu Pedagang, Sekarang Perompak Kapal, Mengaku Menyesal Usai Ditangkap Polisi |
|
|---|

Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.