Bangka Pos Hari Ini

Pekerja Meja Goyang Cuek Radiasi Timah, Tino Merasa Tetap Sehat Setelah 7 Tahun Kerja

Tino tahu pasir timah yang diolahnya di meja goyang memancarkan radiasi yang mungkin mempengaruhi kesehatannya.

Editor: M Ismunadi
Bangkapos.com
Bangka Pos Cetak Edisi Hari Ini, Selasa (12/9/2023). 

BANGKAPOS.COM, BELITUNG - Pria itu hanya mengenakan kaus dan celana pendek. Tidak ada pakaian khusus atau alat pengamanan yang melekat padanya, seperti misalnya masker. 

Padahal dia tahu pasir yang adai di hadapannya adalah mineral tambang. Dan dia juga sadar ada paparan radiasi dari mineral tambang tersebut.

“Namanya juga sudah kerjaan kita kan, aku udah tujuh tahun jadi operator meja goyang, diupah dengan bos per minggu Rp800 ribu, cuma makan dan rokok ditanggung sama bos,” kata Tino (39), operator meja goyang di Kecamatan Damar, Kabupaten Belitung Timur, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, Rabu (6/9/2023).

Tino tahu pasir timah yang diolahnya di meja goyang memancarkan radiasi yang mungkin mempengaruhi kesehatannya. Namun ayah tiga anak itu merasa tubuhnya tetap sehat selama menggeluti pekerjaan tersebut.

“Alhamdulillah sampai sekarang sehat, paling pegal-pegal,” ujarnya.

Baca juga: Bisnis Seksi Si Meja Goyang di Belitung Timur, Satu Meja Habiskan Rp100 Juta

Serupa disampaikan Faizal (28), operator meja goyang di kecamatan yang sama. “Kalau lagi mengoperasikan meja goyang tidak pernah pakai alat pengaman, cuma pake baju kaos ini aja, mau gimana lagi meskipun debu,” kata Pijay, sapan akrabnya, Kamis (7/9).

Seperti Tino, Pijay juga tahu ada paparan radiasi dari pasir timah yang diolahnya di meja goyang. 

Pria yang sudah bekerja di meja goyang sejak tahun 2014 itu menegaskan bukannya dia tidak takut radiasi sehingga tetap bekerja tanpa alat pengaman.

“Tapi sudah jadi keseharian. Bukan tidak mikir dampaknya, kan tetap ada, tapi mau bagaimana lagi, kerja,” ujarnya.

Aktivitas meja goyang mudah dijumpai di Kabupaten Belitung Timur. Keberadaannya bisa dilihat dari pinggir jalan raya. 

Bahkan meja goyang ini berada di dekat permukiman warga seperti yang ditemukan Bangka Pos di Kecamatan Damar.

Baca juga: Bisnis Seksi Si Meja Goyang di Belitung Timur, 10 Menit Bisa Olah 5 Kilogram Pasir Timah

Plt Kepala Dinas Penanaman Modal Pelayanan Terpadu Satu Pintu dan Perdagangan (DPMPTSPP) Kabupaten Belitung Timur, Harli Agusta mengatakan meja goyang bukan hal yang baru terjadi dan sudah marak mulai dari beberapa tahun lalu.

Sebagian besar meja goyang disebut tidak memiliki izin. Apalagi yang keberadaannya di luar wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang ada di Beltim.

Serupa disampaikan Kepada Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Beltim, Novis Ezuar saat ditemui terpisah. Novis Ezuar mengatakan, pada tahun 2021 pemerintah sudah melayangkan surat bupati ke seluruh kepala desa dan camat agar tidak memberikan izin atau persetujuan atas kegiatan meja goyang.

Kepala desa dan camat sudah diundang dan mendengarkan langsung pemaparan dari peneliti BATAN tentang penelitian radioaktif meja goyang tahun 2019.

Kelenjar getah bening

Peneliti Ahli Madya Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Eka Jatnika mengakui penelitian yang dilakukan pihaknya pada tahun 2019. 

Katanya, kelanjutan penelitian soal paparan radiasi dari mineral timah itu terhenti saat Covid-19 melanda Indonesia.

"Untuk pasir timah itu ada dua dampak radiasi seperti radiasi eksternal dan internal. Kalau eksternal itu radiation itu bisa dari Mineral Radioaktif yang ada di timah dan olahannya seperti uranium, thorium dan kalium serta ang paking dominan adalah thorium dan uranium, nah untuk internal ada radon dan toron," kata Eka Jatnika kepada Bangkapos.com, Jumat (8/9/2023).

"Radiasi eksternal bisa menyebabkan kelenjar getah bening, sedangkan radiasi internal gas radon dan toron terhirup oleh pekerja tambang karena gas aktif, dia akan langsung ke paru-paru yang menyebabkan penyakit pernapasan dan bisa menjadi penyakit paru-paru kalau itu tinggi," sambungnya.

Diakuinya, memang dampak kedua radiasi dari pasir timah sangat berbahaya atau menjadi kekhawatiran bagi para pekerja pasir timah maupun masyarakat yang dekat dengan aktivitas pertambangan.

"Iya, yang paling utama itu paparan yang terjadi akibat dari kedua radiasinya memang. Jadi, misalkan ada kasus terkena penyakit ISPA akibat dari gas radon dan toron dapat juga membentuk atau bersamaan dengan vartikulat seperti TN 2,5 atau TN 10, yang tadinya tidak bersifat aktif menjadi aktif," jelas Eka.

Baca juga: Bisnis Seksi Si Meja Goyang di Belitung Timur, Dosen: Mengurai Soal Tambang Tak Bisa dari Satu Aspek

Diungkapkan Eka, efek dari kedua radiasi yang timbul dari pasir timah itu sering terjadi bermacam-macam dengan jumlah yang cukup besar dan berdampak luas bagi semua orang.

"Memang berbeda-beda tergantung besar radiasinnya, untuk pasir timah sendiri lumayan besar baik radiasi eksternal maupun internalnya dan ini sedang kami kaji agar bisa diedukasi kepada seluruh masyarakat yang dekat dengan aktivitas pertambangan," ungkapnya.

Lebih lanjut Eka menyebutkan BRIN sendiri sejak tahun 2019 hingga sekarang, sedang melakukan beberapa penelitian langsung di Provinsi Babel tentang radiasi.

"Pertama 2019 kita lakukan penelitian di Babel, ditahun itu kita petakan tentang lingkungan dahulu dan radiasinya sudah kita sudah publiks epapernya kemarin. Kita sudah petakan, kemudian kita ukur juga radio aktivitas yang ada disetiap tingkatan kerjaan timah," sebut Eka.

"Apalagi dalam pengerjaan pasir timah ada tingkatanya, mulai dari raul materialnya sampai ke semelternya itu kita juga ukur tingkat radio aktivitasnya hingga by produk kita masih ukur," ujarnya.

Menurut dirinya, sampai saat ini pihakya masih dalam penelitian berapa kadar atau radio aktivitas di lingkungan pertambangan dan termasuk ada masyarakat hingga perusahaan-perusahaan pertambangan.

"Untuk saat ini kami masih melakukan pengukuran, selanjutnya kami akan melakukan kajian efek dari radiasi untuk pekerja tambang, masyarakat dan juga perusahaan pertambangan," terang Eka.

Tiga daerah berbahaya

Tak hanya itu saja, Eka pun memaparkan ketika melakukan penelitian di Provinsi Babel sejak tahun 2019 lalu mengalami kendala akibat dari covid-19 dan mengakibatkan adanya batas gerak atau aktifitas masyarakat.

"Sudah kurang lebih tiga tahun kita lakukan penelitian karena kemarin covid-19 hampir dua tahun, menjadi kendala untuk kita bergerak dan sempat tertahan. Dalam penelitian, kami juga harus meminta izin dan kita juga membutuhkan banyak birokrasi dalam penelitian," paparnya.

Ditambahkan Eka, dalam pengambilan sampel penelitian di Provinsi Babel pihaknya mengambil seluruh wilayah mulai dari Pulau Bangka hingga Pulau Belitung.

"Kita ambil seluruhnya, mulai dari Muntok Bangka Barat sampai ke Bangka Selatan, termasuk Belitung Timur maupun Belitung kita ambil sampel maupun radio aktifnya termasuk dari sampel tanah atau perusahaan-perusahaan tambang yang sudah bekerjasama dengan kami," tambah Eka.

Disinggung daerah mana yang radiasi eksternal tertinggi di Provinsi Babel, Eka mengatakan ada di ujung Baratnya Pulau Bangka hasil dari penelitian BRIN sejak tahun 2019.

"Radiasi tertinggi eksternal ada di Kabupaten Bangka Barat, Bangka sekitar Belinyu, sedangkan radon dan toronnya tidak terlalu besar," ujarnya.

Selain itu Eka menerangkan, bukan hanya radiasi pasir timah saja tapi ada juga radiasi sinar matahari karena semua itu ada dialam dan memberikan dampak positif maupun negatif bagi manusia.

"Jadi sebetulnya radiasi itu ada di kita sehari-hari, salah satunya ada di matahari ataupun nanti ada di daerah tambang termasuk timah karena timah itu batuan atau mineral pasti ada ikutan, bukan hanya timah saja yang mengandung unsur radio aktif antara lain uranium, karium, dan tatasium," terangnya.

"Tentu efek atau dampak dari radiasi itu, kita ketahui ada dua yaitu keuntungan dan kerugiannya. Keuntungannya kita manfaatkan radiasinya dari segalanya seperti handpone, dari sisi negatifinya efek terhadap kesehatan ataupun tubuh manusia," jelas Eka. 

Masyarakat Berhak Minta Ganti Rugi

Dosen Fakultas Hukum Universitas Bangka Belitung (UBB) Jeanne Darc Manik mengatakan aktivitas meja goyang tidak diatur dalam Undang-undang Mineral dan Batubara Nomor 3 Tahun 2020 serta Peraturan Menteri Perdagangan RI No. 32/M.DAG/PER/6/2013 yang hanya mengenal smelter yaitu tempat kegiatan pengolahan dan pemurnian bijih timah.

Karenanya, lanjut Jeanne, apabila kegiatan meja goyang ingin legal, maka harus melakukan pengajuan terlebih dahulu dan tergabung dengan produksi sumber baku misalnya timah dan mineral ikutannya, yang mana usulannya untuk pemurnian sederhana. “Dan lokasinya tidak boleh di sembarang tempat, harus dalam di dalam IUP atau ada zona sendiri yang berjarak dengan pemukiman atau fasilitas umum lainnya,” kata Jeanne kepada Bangkapos.com, Senin (11/9/2023).

Jeanne menyebut UU Minerba No 3 Tahun 2020 jelas menyatakan bahwa Setiap orang yang menampung, memanfaatkan, melakukan Pengolahan dan/atau Pemurnian, Pengembangan dan/atau Pemanfaatan, Pengangkutan, Penjualan Mineral dan/atau Batubara yang tidak berasal dari pemegang IUP, IUPK, IPR, SIPB atau izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (3) huruf c dan huruf g, Pasal 104, atau Pasal 105 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp 100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).

Jeanne Darc Manik, Dosen Fakultas Hukum Universitas Bangka Belitung (UBB).
Jeanne Darc Manik, Dosen Fakultas Hukum Universitas Bangka Belitung (UBB). (Istimewa)

Kemudian Pasir timah atau Mineral yang diperoleh dari kegiatan Penambangan tanpa IUP, IUPK, IPR, atau SIPB ditetapkan sebagai benda sitaan dan/atau barang milik negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

“Sebaiknya pihak lain yang melakukan kegiatan usaha Pengolahan dan/atau Pemurnian yang tidak terintegrasi dengan kegiatan penambangan yang perizinannya dapat diterbitkan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perindustrian segera mengurus perizinan,” katanya.

“Untuk memperoleh Sertifikat Standar terbilang mudah, dengan harus menunjukkan KTP dan NPWP ke Kantor Dinas Penanaman Modal, Pelayanan Terpadu Satu Pintu dan Perindustrian (DPMPTSPP) Kabupaten Belitung Timur, syarat lain menyusul, kalaupun ada,” lanjut Jeanne.

Menurut Jeanne, dari aktifitas meja goyang, tentu sampah atau polusi yang ditimbulkan, seperti debu yang berterbangan dibawa angin ke lingkungan sekitar khususnya lingkungan kerja pada saat pemisahan biji timah dengan bahan lainnya, harus menjadi perhatian. Tidak hanya bagi orang-orang yang bekerja di tempat tersebut, tapi juga masyarakat sekitarnya.

“Seharusnya, lokasi kegiatan meja goyang, dibuat jauh dari pemukiman masyarakat sekitar, agar tidak menimbulkan kerisauan dan ketidaknyamanan bagi tetangganya. Memang, kemungkinan pemilik meja goyang akan membuat pabrik/ usahanya dekat dengan rumahnya, sehingga di sekitarnya akan ada rumah-rumah dan orang-orang yang mendiamnya,” kata Jeanne.

“Kemungkinan terburuk, akan menimbulkan dampak kesehatan, seperti infeksi saluran penafasan (ispa), penyakit paru-paru dan sebagainya yang tidak serta merta langsung sakit, tapi membutuhan beberapa waktu kemudian,” ujarnya.

Jeanne menyebut dampak lain, seperti munculnya pekerja-pekerja dadakan, yang akan mengoperasikan alat tersebut. Dengan alat yang sederhana, tentu dapat dipelajari dengan mudah bagi pekerja meja goyang.. Belum lagi, bagi sektor pengangkutan, yang membawa bijih timah dari penambang ke lokasi kegiatan meja goyang berada dan juga akan bermunculan rumah makan di sekitar tempat tersebut.

“Hal ini tentu berdampak secara ekonomi (keuangan) bagi masyarakat yang bekerja dan terdampak dalam kegiatan ini,” kata Jeanne.

Menurutnya, masyarakat yang terkena dampak negatif langsung dari kegiatan meja goyang berhak memperoleh ganti rugi yang layak akibat kesalahan dalam pengusahaan kegiatan Pertambangan (meja goyang) yang sesuai. Selain itu, berhak pula mengajukan gugatan melalui pengadilan terhadap kerugian akibat pengusahaan pertambangan (meja goyang) yang menyalahi ketentuan.

Selain itu, menurut Jeanne, gubernur sesuai kewenangannya melaksanakan pembinaan pengelolaan mineral ikutan dan produk samping timah berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.

“Pembinaan dan pengawasan pengelolaan mineral ikutan dan produk sampingan dilaksanakan oleh Dinas, berkoordinasi dengan Perangkat Daerah dan/atau instansi terkait,” kata Jeanne.

“Pembinaan dan pengawasan pengelolaan mineral ikutan dan produk samping timah, dapat dilakukan dalam bentuk sosialisasi program dan kegiatan yang berkaitan dengan pengelolaan mineral khususnya mineral ikutan dan produk samping timah, sosialisasi mengenai keselamatan dan kesehatan kerja , bagi pekerja meja goyang, serta memberikan pelatihan bagi aparatur Pemerintah Daerah dan masyarakat dalam upaya optimalisasi pengelolaan mineral ikutan dan produk samping timah yang baik dan benar,” imbuhnya. (w6/v1)

Sumber: bangkapos
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved