Berita Pangkalpinang

MK Disebut Mahkamah Keluarga, Begini Reaksi Anwar Usman hingga BRIN Sebut Ancaman Serius Demokrasi

MK Disebut Mahkamah Keluarga, Begini Reaksi Anwar Usman hingga BRIN Sebut Ancaman Serius Demokrasi

Penulis: Evan Saputra CC | Editor: Teddy Malaka
Tribunnews.com/Ilham Rian Pratama
Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman 

"Kami khawatir secara jangka panjang akan menjadi ancaman serius bagi demokrasi kita dengan kemungkinan potensi terjadinya politisasi hukum," ujar Athiqah.

Athiqah menuturkan keputusan hakim Mahkamah Konstitusi juga tidak bulat karena dari sembilan hakim ada tiga hakim setuju, dua hakim concurring opinion, dan empat hakim disenting opinion.

Dia juga menganggap putusan Mahkamah Konstitusi tidak konsisten dan sarat muatan politis, serta memberi jalan pada kepentingan perorangan dan kelompok daripada kepentingan bangsa dan negara.

Sementara Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Fadli Ramadhanil mengatakan kajian terkait keputusan Mahkamah Konstitusi tersebut penting bagi masyarakat, khususnya para peneliti dan akademisi hukum dan politik ketatanegaraan.

Menurut dia, keputusan itu merupakan salah satu tragedi penting dalam proses berjalannya demokrasi di Indonesia.

Perludem sebagai salah satu pihak terkait dalam perkara pengujian syarat usia calon presiden dalam undang-undang pemilu tersebut.

Perludem menolak penurunan syarat usia calon presiden untuk diturunkan dari 40 tahun menjadi 35 tahun. Hal ini melihat bahwa sebenarnya rentang usia antara 35 - 40 tahun itu masih di area rentang yang sama.

"Usia bukan diskriminasi dalam syarat usia calon presiden yang telah dibuat undang-undang karena tidak ada unsur sara dalam syarat itu, juga karena merupakan kebijakan hukum dari pembuat undang-undang," kata Fadli dikutip dari Antara.

Dia menerangkan fakta syarat usia merupakan kebijakan pembuat undang-undang yang telah ada di beberapa ketentuan dalam pelaksanaan pemilihan kepala daerah maupun pemilihan jabatan-jabatan publik yang telah ada.

Misalnya, syarat kepala daerah jabatan gubernur 30 tahun, bupati/walikota 25 tahun dan DPR 21 tahun.

Fadli melihat beberapa catatan dalam perkara tersebut, antara lain kedudukan hukum pemohon yang tidak memenuhi legal standing dalam upaya permohonan. Hal lainnya adalah adanya konflik kepentingan antara Ketua Mahkamah Konstitusi yang memiliki hubungan kekeluargaan dengan salah satu kepala daerah.

"Semestinya secara etik Ketua Mahkamah Konstitusi tidak ikut dalam persidangan perkara. Namun, dia justru menjadi hakim yang memutus perkara dengan mengabulkan melalui penambahan frasa, berusia paling rendah 40 tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah,” ucapnya.

Peneliti Pusat Riset Hukum BRIN Amelya Gustina mengungkap bahwa sejarah keberadaan Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu anak kandung hasil reformasi.

Mahkamah Konstitusi sebagai penjaga konstitusi atau The Guardian of Constitution dan The Final Interpreter of Constitution karena kewenangan Mahkamah Konstitusi sebagai satu-satu institusi yang berwenang dalam menafsirkan konstitusi dan setiap keputusan adalah final dan mengikat.

Pasal 169 huruf q yang termaktub dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang pemilu yang diajukan judicial review dan menjadi kehebohan di masyarakat adalah adanya inkonsistensi keputusan Mahkamah Konstitusi.

Keputusan hakim-hakim sebelumnya yang menolak permohonan dengan menyatakan bahwa perkara tersebut merupakan kebijakan hukum terbuka.

"Hal itu merupakan kewenangan dari kebijakan pembuat undang-undang yakni DPR dan Presiden," pungkas Amelya

(Bangkapos.com/Sepri Sumartono/Evan Saputra)

Sumber: bangkapos.com
Halaman 2/2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved