Babak Baru Isu Konstitusional Syarat Capres-Cawapres dan Pembelaan Anwar Usman

Usai putusan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi, kisruh syarat umur Calon Presiden dan Wakil Presiden memasuki babak baru

Penulis: Teddy Malaka CC | Editor: M Zulkodri
Setkab.go.id
Presiden Jokowi menandatangani berita acara pengambil sumpah Anwar Usman sebagai hakim konstitusi, di Istana Negara, Jakarta, Kamis (7/4) 2016 silam 

BANGKAPOS.COM, JAKARTA - Usai putusan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi, kisruh syarat umur Calon Presiden dan Wakil Presiden memasuki babak baru. Putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang jadi polemik kini digugat.

Adalah Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia) bernama Brahma Aryana mengajukan uji konstitusionalitas Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Berdasarkan Putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023, MK memaknai Pasal 169 huruf q UU Pemilu menjadi “Persyaratan menjadi calon presiden dan wakil presiden adalah: q. Berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah”.

Kepaniteraan MK meregistrasi permohonan Brahma Aryana dengan Nomor 141/PUU-XXI/2023. Sidang perdana perkara ini digelar pada Rabu (8/11/2023) di Ruang Sidang Pleno MK. Brahma Aryana (Pemohon) menghadiri sidang didampingi kuasa hukum Viktor Santoso Tandiasa.

Dalam persidangan, Viktor menyatakan, pasal tersebut pada frasa “yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah”, adalah bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, sepanjang tidak dimaknai “yang dipilih melalui pemilihan kepala daerah tingkat provinsi”.

Pemohon menilai pasal tersebut menimbulkan ketidakpastian hukum karena pada tingkat jabatan apa yang dimaksud pemilihan umum dan pemilihan kepala daerah tersebut.

Pasal tersebut memunculkan pertanyaan, apakah pada pemilihan kepada daerah tingkat provinsi, kabupaten/kota.

Atau dalam rezim pemilu, apakah pemilihan DPR, DPRD, atau DPD. Adanya pemaknaan yang berbeda-beda ini menimbulkan ketidakpastian hukum apabila dilihat dari legitimasi amar putusan atas frasa yang telah dimaknai oleh MK tersebut.

Sederhananya, melalui permohonan ini Pemohon menginginkan hanya gubernur yang belum berusia 40 tahun yang dapat mengajukan diri sebagai calon presiden dan calon wakil presiden.

“Terhadap pemaknaan yang dituangkan dalam amar putusan (Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023) yang mengikat menggantikan ketentuan Pasal 169 huruf q UU 7/2017 telah membuka peluang bagi setiap warga negara yang pada usia terendah 21 tahun dapat mendaftarkan diri sebagai calon presiden dan calon wakil presiden sepanjang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah. Hal tersebut tentunya dapat mempertaruhkan nasib keberlangsungan negara Indonesia yang memiliki wilayah sangat luas serta memiliki jumlah penduduk yang sangat banyak, … sehingga dibutuhkan pemimpin negara yang berpengalaman dan kemapanan mental serta kedewasaan dalam memimpin,” terang Viktor dalam Sidang Panel yang dipimpin Hakim Konstitusi Suhartoyo bersama dengan Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh dan Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah.

Atas dalil-dalil tersebut, Pemohon memohon kepada Mahkamah untuk menyatakan Pasal 169 huruf q UU Pemilu sebagaimana telah dimaknai Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023 terhadap frasa “yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah” bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai “yang dipilih melalui pemilihan kepala daerah pada tingkat provinsi.”

Sehingga Pasal 169 huruf q UU Pemilu selengkapnya berbunyi, “Berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan kepala daerah pada tingkat provinsi.”

Tidak Ne Bis In Idem

Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh dalam nasihat Majelis Sidang Panel menyebutkan permohonan ini merupakan Pemohon pertama yang tidak terkena ne bis in idem karena Pasal yang diujikan telah dimaknai dan perdana diajukan pengujiannya ke MK.

“Apakah dalil yang ada Pemohon hanya ingin minta penjelasan Mahkamah? Atau sekadar memastikan mayoritas dari Putusan 90/PUU-XXI/2023 mempersyaratkan yang dipilih pada pemilihan umum!” sampai Daniel mempertegas dalil kepada Pemohon.

Sementara itu, Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah memberikan catatan nasihat tentang misi yang diinginkan Pemohon sejatinya sudah terakomodir pada Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023.

Guntur juga menasihati Pemohon agar untuk memahami Pasal 56 UU MK yang intinya menyatakan jenis putusan-putusan MK.

“Pada pasal itu, ada amar. dan dissenting dan concurring opinion. Ini hukum acaranya di sini, dengan ini akan paham arti dari dissenting opinion yang NO dan Tolak. Sedangkan yang Kabul sekian hakim itu, berarti ada alasan berbeda. Pahami konteksnya,” jelas Guntur.

Berikutnya Hakim Konstitusi Suhartoyo menambahkan nasihat mengenai perlu bagi Pemohon untuk menyertakan legal standing yang diperkuat dengan argumen agar berlaku hanya untuk gubernur, penting dilekatkan posisi Pemohon pada saat ini yang bukan pejabat yang dimaksudkan pada permohonannya.

“Pasal ini sebenarnya untuk kepentingan siapa saja sebenarnya, ini harus diberikan argumentasinya,” jelas Suhartoyo.

Sikap Anwar Usman

Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) menjatuhkan putusan atas pelaporan adanya pelanggaran etik yang dilakukan hakim konstitusi pada Selasa (7/11/2023) kemarin.

Salah satu isi Putusan MKMK Nomor 02/MKMK/L/11/2023 yang dibacakan oleh Ketua MKMK Jimly Asshiddiqie dengan didampingi Sekretaris MKMK Wahiduddin Adams dan Anggota MKMK Bintan R. Saragih tersebut, yakni menjatuhkan sanksi memberhentikan Hakim Konstitusi Anwar Usman dari jabatan Ketua MK.

Atas putusan tersebut, Hakim Konstitusi Anwar Usman memberikan keterangan di  hadapan para awak media dengan didampingi oleh Sekretaris Jenderal MK Heru Setiawan pada Rabu (8/11/2023).

Ia menyebutkan beberapa pernyataan sikap atas pemberhentian dirinya sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi.

Pada penyampaian keterangan ini, Anwar menyatakan dirinya merupakan hakim konstitusi yang sebelumnya merupakan hakim karier yang berasal dari Mahkamah Agung. Untuk itu, dirinya akan sepenuhnya tetap patuh terhadap asas-asas dan ketentuan hukum yang berlaku.

“Sedari awal, sejak menjadi hakim dan hakim konstitusi, saya mengatakan jika seorang hakim memutus tidak berdasarkan hati nuraninya, maka sesungguhnya dia sedang menghukum dirinya sendiri, dan pengadilan tertinggi sesungguhnya adalah pengadilan hati nurani. Oleh karena itu, saya sebagai hakim akan bertanggung jawab kepada Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa,” ungkap Anwar.

Mengenai Putusan Majelis Kehormatan MK, Anwar mengungkapkan meski dengan dalih melakukan terobosan hukum, dengan tujuan mengembalikan citra MK di mata publik, hal tersebut tetap merupakan pelanggaran norma, terhadap ketentuan yang berlaku.

“Namun, sebagai Ketua MK saat itu, saya tetap tidak berupaya untuk mencegah atau intervensi terhadap proses, atau jalannya persidangan Majelis Kehormatan MK yang tengah berlangsung,” ujarnya.

Anwar juga menyampaikan perkara pengujian UU di MK adalah penanganan perkara yang bersifat umum (publik), bukan penanganan perkara yang bersifat pribadi, atau individual yang bersifat privat.

“Maka, berdasarkan yurisprudensi di atas dan norma hukum yang berlaku, pertanyaannya adalah: apakah sebagai Hakim Konstitusi dan Ketua MK, saya harus mengingkari putusan-putusan terdahulu, karena disebabkan adanya tekanan public, atau pihak tertentu atas kepentingan tertentu pula? Atau saya harus mundur dari penanganan perkara 96/PUU-XVIII/2020, demi menyelamatkan diri sendiri? Sebagaimana saya jelaskan di atas, jika hal itu saya lakukan, maka sama halnya, saya menghukum diri sendiri, karena tidak sesuai dengan keyakinan saya sebagai Hakim dalam memutus perkara. Bahkan, secara logis, sangat mudah bagi saya untuk sekedar menyelamatkan diri sendiri, dengan tidak ikut memutus perkara tersebut. Karena jika niat saya dan para hakim konstitusi, untuk memutus perkara tersebut, ditujukan untuk meloloskan pasangan calon tertentu, toh, juga bukan kami yang nantinya punya hak untuk mengusung calon, dan yang akan menentukan siapa calon pasangan terpilih kelak, tentu rakyatlah yang menentukan hak pilihnya melalui pemilihan umum,” terangnya.  

Sebagaimana diketahui, sebelumnya MKMK telah menerima 21 laporan dugaan pelanggaran Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi mengenai Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu).

Atas laporan tersebut, MKMK menggelar serangkaian sidang pemeriksaan dan mendengarkan keterangan ahli serta saksi. Salah satunya dihasilkan Putusan MKMK Nomor 02/MKMK/L/11/2023 terhadap dugaan pelanggaran Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi atas Terlapor Ketua MK Anwar Usman yang dilaporkan oleh Denny Indrayana dkk.

Dalam putusan tersebut, MKMK memutuskan Ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman (Hakim Terlapor) melakukan pelanggaran sebagaimana tertuang dalam Sapta Karsa Hutama Prinsip Ketakberpihakan, Prinsip Integritas, Prinsip Kecakapan dan Kesetaraan, Prinsip Independensi, dan Prinsip Kepantasan dan Kesopanan. Alhasil, MKMK memberhentikan Hakim Konstitusi Anwar Usman dari jabatan Ketua MK. (*)

Sumber: bangkapos.com
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved