Korupsi Tata Niaga Komoditas Timah

Bos Timah Swasta di Bangka Raup Untung Fantastis dari Menambang di Wilayah IUP PT Timah

Dalam kontrak kerja sama itu, disebutkan bahwa PT Timah membayar biaya jasa penambangan kepada pihak swasta yang menyetorkan timah.

Editor: fitriadi
KOMPAS.com/Syakirun Ni'am
Suami aktris Sandra Dewi, Harvey Moeis dibawa petugas Kejaksaan Agung usai menjalani sidang dugaan korupsi dalam tata niaga komoditas timah PT Timah Tbk Bangka Belitung di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Senin (9/9/2024). 

BANGKAPOS.COM, JAKARTA - Sidang perkara korupsi tata niaga timah yang merugikan negara Rp 300 triliun mengungkap fakta baru soal kebijakan Izin Usaha Jasa Pertambangan (IUJP) sehingga perusahaan swasta bisa menambang di wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Timah Tbk.

Terungkap juga besaran nilai keuntungan yang perusahaan mitra raup dari kegiatan pertambangan di wilayah IUP perusahaan negara itu.

Bahkan ada perusahaan swasta berbadan hukum mengantongi pendapatan kotor hingga hampir Rp 450 miliar.

Fakta ini terungkap ketika jaksa penuntut umum dari Kejaksaan Agung mencecar Direktur CV Teman Jaya, Kurniawan Efendi Bong alias Afat sebagai saksi dugaan korupsi dalam tata niaga komoditas timah di PT Timah Tbk di Bangka Belitung.

Kurniawan dihadirkan sebagai saksi untuk terdakwa suami aktris Sandra Dewi, Harvey Moeis, Direktur Utama PT RBT Suparta, dan Direktur Pengembangan PT RBT Reza Andriansyah.

Mulanya, jaksa mendalami proses Kurniawan bisa mendirikan perusahaan tambang dan perusahaannya menjadi mitra PT Timah dalam kebijakan IUJP sehingga bisa menambang di wilayah IUP perusahan negara itu.

“Kita perjanjiannya di SP (Surat Perintah Kerja/SPK) itu kita menambang di dalam IUP itu semua hasil tambang itu harus diserahkan ke pos penampungan PT Timah,” kata Kurniawan di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Senin (9/9/2024).

Dalam kontrak kerja sama itu, disebutkan bahwa PT Timah membayar biaya jasa penambangan kepada pihak swasta yang menyetorkan timah.

Jaksa kemudian menyodorkan data barang bukti yang diperoleh dari PT Timah kepada majelis hakim, saksi, dan pihak terdakwa.

Barang bukti itu menyebutkan, CV Teman jaya menerima pembayaran Rp 11,6 miliar untuk produksi timah sebesar 445.000 timah pada 2015.

Kemudian, pembayaran dari PT Timah Rp 30 miliar untuk penyetoran 1 juta kilogram atau 1.000 metriks ton masih pada 2015. Lalu, Rp 73 miliar untuk penyetoran 2,5 juta kilogram bijih timah pada 2015; Rp 13,9 miliar untuk penyetoran bijih timah pada 2015; Rp 50,9 miliar untuk 2,7 juta kilogram bijih timah pada 2015.

Kemudian, 1.159.000.000 kilogram penyetoran timah dengan nilai pembayaran Rp 15 miliar dan Rp 44 miliar untuk penyetoran 22 ribu kilogram bijih yang lokasinya tidak disebutkan oleh jaksa.

Selain itu, terdapat pembayaran Rp 90 miliar kepada CV Teman Jaya pada 2022.

“Itu kalau dijumlah dari periode 2012 sampai 2022 hampir Rp 450 miliar yang saudara dapatkan?” tanya jaksa.

“Betul. Sampai berapa tahun Pak?” timpal Kurniawan.

“Sampai 2022,” jawab jaksa.

Jaksa pun berujar bahwa jumlah uang yang diterima CV Teman Jaya dari PT Timah sangat besar.

Menurut Kurniawan, penerimaan perusahannya memang besar namun ongkos produksi yang dikeluarkan juga tidak sedikit.

Ia juga menyebut, bisnis tambang timah kadang untung dan kadang rugi.

“Masa enggak untung, hampir setengah triliun itu, Pak?” tanya jaksa.

“Enggak. Ini benar-benar.. Itu enggak bisa lari juga (datanya) jadi saya ngomong yang sebenarnya juga. Tapi jujur saja kebanyakan untung daripada rugi,” kata Kurniawan.

Sebagaimana dalam persidangan sebelumnya, pada persidangan kali ini jaksa juga mempersoalkan tindakan PT Timah yang dalam prakteknya justru membeli bijih timah dari para penambang. Padahal, perusahaan swasta itu menambang di IUP PT Timah.

Dalam kontrak, disebutkan PT Timah membayar jasa penambangan kepada pihak swasta. Namun, dalam prakteknya perusahaan negara itu membayar berdasarkan setiap tonase bijih timah yang disetorkan penambang.

Kurniawan mengakui, di lapangan terdapat banyak perusahaan swasta serupa yang menambang dan menerima bijih timah dari penambang liar.

“Banyak perusahaan seperti itu, seperti bapak dan teman-teman?” tanya jaksa.

“Banyak,” jawab Kurnaiwan.

“Polanya sama?” cecar jaksa lagi.

“Semuanya sama,” timpal Kurniawan.

PT RBT Dapat Untung Rp 1,1 Triliun

Masih pada sidang untuk terdakwa suami aktris Sandra Dewi, Harvey Moeis, Direktur Utama PT RBT Suparta, dan Direktur Pengembangan PT RBT Reza Andriansyah, saksi lain mengungkap ada perusahaan smelter yang mengantongi kerjasama dengan PT Timah Tbk, tapi mengalihkan kontrak kerjasama yang dimiliki kepada perusahaan lain.

Fakta sidang mengungkap PT Refined Bangka Tin (RBT) mengalihkan pekerjaan peleburan timah yang diamanatkan PT Timah Tbk ke perusahaan swasta lain.

Ada tiga perusahaan smelter swasta lain jadi tempat pengalihan peleburan timah yang didapat PT RBT dari wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Timah Tbk.

Perusahaan tersebut antara lain PT Tirus Putra Mandiri, PT ATD Makmur, dan PT Artha Cipta Langgeng.

PT RBT merupakan satu dari lima perusahaan swasta yang meneken kontrak kerja sama sewa smelter dengan PT Timah Tbk untuk pelogaman bijih timah.

Dalam hal ini PT RBT sebagai perusahaan smelter swasta yang diwakili suami aktris Sandra Dewi, Harvey Moeis.

Informasi pengalihan pekerjaan dari PT Timah Tbk ini terungkap ketika Jaksa Penuntut Umum mencecar Manager Keuangan PT RBT, Ayu Lestari Yusman dalam sidang lanjutan perkara korupsi tata niaga timah di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Senin (9/9/2024).

Ayu Lestari Yusman dihadirkan sebagai saksi sidang untuk terdakwa Harvey Moeis, Direktur Utama PT RBT Suparta, dan Direktur Pengembangan PT RBT Reza Andriansyah.

Mulanya, Jaksa mengonfirmasi hubungan PT Tirus Putra Mandiri, PT ATD Makmur, dan PT Artha Cipta Langgeng dengan PT RBT.

"Yang saya tahu ketiga PT tersebut ada kerja sama dengan PT Refined Bangka Tin untuk melakukan peleburan juga," jawab Ayu.

Jaksa kemudian memastikan apakah kerja sama itu berarti PT RBT mengalihkan atau melakukan subkontrak pekerjaan pelogaman (sewa smelter) dengan PT Timah Tbk ke perusahaan swasta lain.

Untuk diketahui, dalam kontrak kerja sama itu tidak diperbolehkan melakukan subkontrak pekerjaan dari PT Timah Tbk.

Jaksa kemudian mengulik bagaimana mekanisme pembayaran PT RBT kepada tiga perusahaan subkontraktor.

Menurut Ayu, biaya pelogaman di tiga perusahaan subkontraktor itu masuk ke tagihan PT RBT.

"Artinya, diterima dulu uang dari Timah baru dibayarkan ke perusahaan subkon tadi?" cecar Jaksa.

"Iya," jawab Ayu

Ayu mengaku tidak mengetahui dengan pasti berapa besaran biaya yang dikeluarkan PT RBT kepada tiga perusahaan subkontraktor.

Namun, menurutnya, biaya pelogaman di tiga perusahaan itu lebih murah dibanding biaya pelogaman dalam kontrak PT Timah dengan PT RBT, yakni 4.000 dollar Amerika Serikat (AS) per tonase.

"Berarti ada keuntungan yang didapat RBT dari subkon seperti itu?" tanya Jaksa.

"Ada selisih," jawab Ayu.

PT RBT Raup Keuntungan Rp 1,1 Triliun

Manajer Keuangan PT Refined Bangka Tin (RBT) Ayu Lestari Yusman juga mengungkap PT RBT yang diwakili Harvey Moeis meraup keuntungan Rp1,1 triliun selama tiga tahun bekerja sama dengan PT Timah Tbk terkait peleburan dan pelogaman bijih timah.

Pendapatan itu didapat PT RBT pada periode tahun 2018 hingga 2020.

Ayu menjelaskan PT RBT juga memperoleh pendapatan dari sewa jasa penglogaman dan pemurnian yang dilakukan PT Timah.

Hal itu diungkap Ayu saat menjawab pertanyaan Hakim Ketua Eko Aryanto soal sumber pendapatan PT RBT.

"Pendapatan dari mana, ekspor saja atau ada lainnya?" tanya Hakim.

"Ada (pendapatan lain). Di tahun 2018 kami menerima pendapatan sewa jasa penglogaman dan pemurnian dari PT Timah," kata Ayu.

Kemudian Ayu pun merinci pendapatan perusahaan sejak bekerja sama dengan PT Timah untuk mengolah bijih timah di wilayah IUP PT Timah Tbk.

Pada pada tahun 2018, PT RBT disebutnya memperoleh pendapatan dari hasil kerja sama sebesar Rp 69.346.709.9502 atau Rp 69,3 Miliar.

Lalu pada tahun 2019 pendapatan PT RBT tercatat mengalami peningkatan pendapatan di angka Rp 736.570.868.473 atau Rp 736,4 miliar.

"Tahun 2020?" tanya Hakim.

"Tahun 2020 kami menerima pendapatan sebesar Rp 315.584.116.009 (Rp315,5 miliar)," jawab Ayu.

"Jadi total sekitar Rp 1 (triliun)?" tanya Hakim.

"Total Rp 1,1 triliun Yang Mulia," ucap Ayu.

Ayu pun menjelaskan bahwa pajak dari hasil pendapatan yang diraih perusahaannya itu juga sudah dibayarkan ke kas negara melalui PT Timah Tbk.

"Ini masalah pajak apa sudah dibayar?" tanya Hakim.

"Pajak sudah. PPN tapi kan dipungut sama PT Timah," kata Ayu.

"Jadi yang menyetorkan ke kas negara PT Timah?" tanya Hakim memastikan.

"Benar," jawab Ayu.

Peran Harvey Moeis di PT RBT

Peran suami artis Sandra Dewi, Harvey Moeis dalam kasus korupsi timah yang merugikan negara Rp 300 triliun tersebut cukup sentral.

Harvey Moeis diketahui sebagai perwakilan PT Refined Bangka Tin (RBT) bertemu dengan para petinggi perusahaan pelat merah, PT Timah, yakni Mochtar Riza Pahlevi Tabrani selaku direktur utama dan Alwin Albar selaku direktur operasi.

Dalam pertemuan dibahas ketentuan dari PT Timah agar sejumlah perusahaan smelter swasta menyerahkan lima persen dari kuota ekspor timah di wilayah izin usaha pertambangan (IUP) PT Timah.

Selain itu, Harvey Moeis juga mengkoordinir biaya pengamanan tambang ilegal sebesar USD 500 sampai USD 750 per ton.

Uang itu dikumpulkan Harvey Moeis dari lima perusahaan smelter swasta, yakni CV Venus Inti Perkasa, PT Sariwiguna Binasentosa, PT Stanindo Inti Perkasa, dan PT Tinindo Inter Nusa.

Setoran uang dari lima perusahaan tersebut dicatat seolah-olah sebagai dana corporate social responsibility (CSR).

Harvey Moeis pun diduga menginisiasi kerja sama penyewaan alat processing untuk pengolahan logam timah antara PT Timah dengan perusahaan-perusahaan smelter swasta.

Padahal, lima perusahaan itu tidak memiliki competent person (CP) sebagaimana ketentuan yang berlaku.

Masih berdasarkan surat dakwaan jaksa penuntut umum, kerugian keuangan negara akibat pengelolaan timah dalam kasus ini mencapai Rp 300 triliun.

Perhitungan itu didasarkan pada Laporan hasil audit penghitungan kerugian keuangan negara di kasus timah yang tertuang dalam Nomor: PE.04.03/S-522/D5/03/2024 tertanggal 28 Mei.

Kerugian negara yang dimaksud jaksa, di antaranya meliputi kerugian atas kerja sama penyewaan alat hingga pembayaran bijih timah.

Tak hanya itu, jaksa juga mengungkapkan, kerugian negara yang mengakibatkan kerusakan lingkungan nilainya mencapai Rp 271 triliun. Hal itu sebagaimana hasil hitungan ahli lingkungan hidup.

Atas perbuatannya, Harvey Moeis didakwa Pasal 2 Ayat (1) dan Pasal 3 juncto Pasal 18 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP terkait dugaan korupsi.

Selain itu, dia juga didakwa tindak pidana pencucian uang (TPPU) terkait perbuatannya menyamarkan hasil tindak pidana korupsi, yakni Pasal 3 dan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

(Kompas.com/Syakirun Ni'am, Ardito Ramadhan, Ihsanuddin) (Tribunnews.com/ Fahmi Ramadhan)

Sumber: Tribunnews
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved