Tribunners

Paradoks antara Pembelajaran Online vs Offline

Solusi yang paling menjanjikan adalah pembelajaran hibrida yang memadukan kekuatan teknologi dengan keunggulan interaksi langsung

|
Editor: suhendri
Istimewa/Dok. Firdaus
Firdaus - Dosen IAIN Syaikh Abdurrahman Siddik Bangka Belitung 

Oleh: Firdaus - Dosen IAIN Syaikh Abdurrahman Siddik Bangka Belitung

DALAM era pascapandemi, dunia pendidikan masih bergulat dengan pertanyaan besar: apakah pembelajaran online lebih efektif dibandingkan pembelajaran offline, atau sebaliknya? Meskipun kedua metode memiliki keunggulan masing-masing, kenyataannya tidak sesederhana hitam dan putih.

Paradoks pun muncul ketika fleksibilitas online justru menciptakan tantangan baru dalam keterlibatan siswa, sementara pembelajaran tatap muka dianggap kuno namun terbukti lebih efektif dalam membangun kedisiplinan dan interaksi sosial.

Berdasarkan survei terbaru dari Delhi University (2024) memberikan gambaran yang menarik dan sekaligus paradoksal. Dari 100 responden mahasiswa, sebanyak 53,5 persen menyatakan lebih menyukai pembelajaran offline karena suasananya yang interaktif. Sementara itu, 46,5 persen memilih online karena fleksibilitas dan efisiensi waktunya.

Di satu sisi, teknologi telah menghadirkan kemudahan akses yang luar biasa. Di sisi lain, justru kehadiran fisik, suasana ruang kelas, dan interaksi langsung dinilai lebih membangkitkan semangat belajar.

Lebih dalam lagi, survei tersebut mengungkap bahwa 86 persen responden merasa pembelajaran offline lebih memotivasi dan interaktif. Ini menjadi indikator penting bahwa peran sosial dalam proses belajar yang melibatkan komunikasi dua arah, ekspresi non-verbal, dan kolaborasi langsung masih sangat relevan dan bahkan krusial.

Sementara itu, 64 persen responden mengaku sering merasa bosan selama pembelajaran online, dan 47 persen lainnya mengalami masalah teknologi, seperti koneksi buruk atau keterbatasan perangkat. Fakta ini memperlihatkan bahwa kemajuan teknologi tidak selalu sejalan dengan kesiapan infrastruktur atau daya dukung lingkungan belajar di rumah.

Di sinilah letak paradoksnya. Online dinilai fleksibel, tetapi justru kurang menggugah semangat. Offline dianggap tradisional, tetapi justru lebih hidup dan berdampak secara emosional. Maka, perdebatan ini tidak bisa dijawab dengan memilih salah satu.

Keunggulan teknologi vs keterbatasan realitas

Pembelajaran online membawa revolusi dalam akses pengetahuan. Mahasiswa kini bisa belajar dari mana saja, kapan saja, dengan materi dari berbagai penjuru dunia. Menurut penelitian dari World Economic Forum (2020), pembelajaran digital dapat meningkatkan retensi informasi hingga 25–60 persen dibandingkan pembelajaran tatap muka tradisional. Namun, angka tersebut tidak mencerminkan kenyataan di lapangan, khususnya di negara berkembang seperti Indonesia, di mana ketimpangan akses internet masih menjadi penghalang utama.

Studi dari Kemendikbudristek (2021) menunjukkan bahwa 40 persen siswa di daerah 3T (tertinggal, terdepan, dan terluar) mengalami kesulitan mengikuti pembelajaran online karena keterbatasan perangkat dan jaringan. Maka di sinilah letak paradoksnya: teknologi mampu memperluas akses, namun juga dapat memperdalam kesenjangan.

Merespon hal tersebut tentunya sebagai pendidik bertanggung jawab pernuh terhadap suksesnya proses belajar dan mengajar. Untuk itu, dalam menghadapi paradoks antara pembelajaran online dan offline menuntut kita untuk bersikap fleksibel, reflektif, dan berpusat pada kebutuhan peserta didik. Sebagai langkah konkret yang bisa diterapkan di antaranya; 

  1. Berpikir hibrida
    * Menerima bahwa tidak ada “satu metode paling benar” untuk semua situasi.
    * Merancang pembelajaran dengan memadukan kekuatan online (akses materi kapan pun, sumber belajar beragam) dan kekuatan tatap muka (interaksi langsung, umpan balik real-time, penguatan sosial).
  2. Empati dan kepekaan konteks
    * Peka terhadap kondisi dan latar belakang peserta didik: ketersediaan perangkat, kualitas jaringan, dan gaya belajar individu.
    * Menyediakan alternatif: misalnya rekaman video pendek bagi yang sinyalnya kurang stabil, atau materi cetak untuk daerah terbatas internet.
  3. Desain instruksional yang beragam
    * Memanfaatkan metode aktif: diskusi breakout room online, simulasi atau studi kasus di kelas fisik, kuis interaktif, peer-review tulisan.
    * Menjaga keseimbangan antara pemberian konten (content delivery) dan aktivitas kolaboratif—baik di ruang daring maupun luring.
  4.  Mengutamakan keterlibatan dan motivasi
    * Pada sesi online: gunakan polling, chat, atau game edukatif untuk membuat suasana tetap hidup.
    * Pada sesi offline: ciptakan kelompok diskusi kecil, role-play, atau proyek lapangan yang memicu rasa ingin tahu dan tanggung jawab.
  5. Refleksi dan evaluasi berkelanjutan
    * Rutin mengumpulkan umpan balik siswa tentang pengalaman belajar: apa yang membantu, apa yang ditinggalkan.
    * Berdasarkan data (misalnya tingkat partisipasi, hasil tugas), sesuaikan porsi online vs offline setiap minggunya.
  6. Peningkatan kompetensi diri
    * Terus belajar teknologi pendidikan: platform LMS, fitur kolaborasi, teknik pembuatan video pembelajaran yang menarik.
    * Mengikuti pelatihan atau komunitas pendidik untuk berbagi praktik baik (best practices) dan inovasi pembelajaran.
  7. Menjaga sentuhan kemanusiaan
    * Tidak sekadar menyampaikan materi, tetapi juga membangun kepercayaan, empati, dan dukungan psikologis—khususnya setelah periode pembelajaran jarak jauh yang panjang.
    * Memberi ruang untuk “check-in” singkat: menanyakan kabar atau tantangan non-akademik yang mungkin mempengaruhi proses belajar.

Maka dengan itu, sikap terbuka, adaptif, dan berorientasi pada peserta didik, kita sebagai pendidik dapat mereduksi ketegangan paradoks online vs offline, lalu mengubahnya menjadi peluang untuk menciptakan pengalaman belajar yang lebih kaya, inklusif, dan bermakna.

Humanisme dalam pembelajaran

Di sisi lain, pembelajaran offline menawarkan pengalaman langsung, dialog antarmahasiswa dan dosen, serta nilai-nilai kedisiplinan dan kebersamaan yang tidak tergantikan oleh layar. Dalam interaksi kelas fisik, guru bisa menangkap bahasa tubuh siswa yang bingung, siswa bisa berdiskusi tanpa jeda sinyal, dan lingkungan sosial kelas membentuk karakter serta empati. 

Halaman
12
Sumber: bangkapos
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved