Tribunners

Post-Truth Era: Media Sosial, AI dan Dunia Pendidikan

Penting untuk diketahui bahwa algoritma AI dan media sosial dirancang untuk mengetahui dan menelisik intensitas keterlibatan pengguna.

Editor: suhendri
Istimewa/Dok. Haiyudi
Haiyudi, S.Pd., M.Ed. - Dosen Universitas Muhammadiyah Bangka Belitung 

Oleh: Haiyudi, S.Pd., M.Ed. - Dosen Universitas Muhammadiyah Bangka Belitung

MEDIA sosial dan kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI) sedikit banyaknya telah mengubah cara hidup secara signifikan. Banyak yang mengatakan bahwa hadirnya memberikan kemudahan bagi sebagian orang. Namun, di balik tawaran kemudahan yang menggiurkan tersebut, tersembunyi potensi besar untuk penyebaran propaganda yang memanipulasi persepsi masyarakat tentang standar kehidupan. 

Propaganda tidak senantiasa berbentuk narasi politik terang-terangan, melainkan lebih sering beroperasi secara subliminal, membentuk keinginan, menyebabkan perbandingan strata dan status sosial, dan pada akhirnya mengikis identitas serta konsistensi seseorang atau sekelompok orang.

Penting untuk diketahui bahwa algoritma AI dan media sosial dirancang untuk mengetahui dan menelisik intensitas keterlibatan pengguna. Ini dicapai melalui personalisasi konten yang sangat canggih, di mana setiap interaksi, suka, komentar, dan durasi tontonan akan dianalisis untuk menyajikan konten serupa di masa mendatang. Dalam konteks standar kehidupan, algoritma ini secara tidak langsung menciptakan gelembung realitas (filter bubble) di mana pengguna terus-menerus terpapar pada gambaran tertentu tentang kesuksesan, kebahagiaan, kemewahan, dan pencapaian orang lain.

Sebagai contoh yang paling nyata adalah munculnya rasa atau keinginan yang didorong oleh konten yang disajikan media sosial. Media sosial dipenuhi dengan individu atau influenser yang menampilkan gaya hidup ideal: rumah mewah, liburan eksotis, pakaian bermerek, atau bahkan prestasi mentereng anak-anaknya. Konten ini, sering kali hasil dari endorsement berbayar, disajikan sebagai representasi kehidupan yang seharusnya atau diinginkan. 

Pengguna, terutama mereka yang belum memiliki fondasi dan benteng yang kokoh dalam membedakan sajian konten, akan mulai membandingkan kehidupan mereka dengan standar buatan ini. Fenomena itu diperparah oleh adanya efek bandwagon, di mana kecenderungan untuk mengikuti tren atau perilaku mayoritas makin menguat karena visibilitas yang tinggi di media sosial.

Vyncke dan De Pauw (2018) dalam Journal of Business Research menyoroti bagaimana media sosial menciptakan tekanan sosial untuk berpartisipasi dalam konsumsi simbolis, di mana pembelian barang bukan hanya tentang fungsi, tetapi juga tentang mempertahankan citra atau status yang dipersepsikan. Lebih lanjut, Bauman (2000) dalam karyanya Liquid Modernity telah lama mengidentifikasi masyarakat kontemporer sebagai masyarakat konsumen di mana identitas dibentuk dan dibongkar ulang melalui apa yang mereka konsumsi dalam aspek tontonan, serta tampilan maya yang disajikan media sosial. 

Akibat paparan propaganda standar kehidupan yang konstan, masyarakat sering kali mengalami kebingungan dan hilangnya pegangan hidup. Ketika realitas yang disajikan media sosial jauh berbeda dengan pengalaman pribadi, timbullah disonansi kognitif. Masyarakat menjadi bingung tentang apa yang sebenarnya penting dalam hidup, karena nilai-nilai intrinsik seperti kebahagiaan sejati, hubungan interpersonal yang mendalam, atau kepuasan diri sering kali terpinggirkan oleh pencitraan eksternal.

Sejalan dengan itu, kepribadian individu dapat terkikis. Dalam upaya untuk menyesuaikan diri dengan standar yang didorong media sosial, banyak yang cenderung mengadopsi persona atau gaya hidup yang tidak autentik. Hal ini dapat menyebabkan ketidaknyamanan psikologis, kecemasan, dan depresi, sebagaimana diungkapkan oleh penelitian tentang dampak media sosial pada kesehatan mental remaja. Individu kesulitan mengembangkan konsistensi dalam nilai, perilaku, dan tujuan hidup mereka karena terus-menerus dihadapkan pada tren baru dan ekspektasi yang berubah-ubah. 

Sebagai contoh konkret, lihatlah fenomena "FOMO" (Fear of Missing Out) yang merajalela di kalangan pengguna media sosial. Ketika melihat teman atau influenser menikmati pengalaman tertentu, timbul dorongan kuat untuk meniru atau memiliki hal serupa, terlepas dari apakah hal tersebut sesuai dengan kemampuan finansial atau nilai pribadi. Ini bukan lagi sekadar keinginan individu, melainkan hasil dari strategi pemasaran dan algoritma yang sengaja memicu rasa kekurangan dan perbandingan sosial. 

Lebih jauh, propaganda tersebut berkontribusi pada masyarakat yang makin terfragmentasi. Standar kehidupan yang disajikan seringkali homogen, mengabaikan keragaman budaya, ekonomi, dan preferensi personal. Ini dapat menciptakan ketidakpuasan yang meluas di kalangan mereka yang tidak mampu mencapai standar tersebut, memicu ketegangan sosial dan kesenjangan aspirasi. 

Propaganda AI dan media sosial tentang standar kehidupan juga memiliki implikasi serius terhadap dunia pendidikan. Dalam konteks ini, tekanan untuk mencapai standar "ideal" yang sering kali tidak realistis dapat menggeser fokus pendidikan dari pengembangan holistik individu menjadi pencapaian yang didorong oleh citra. 

Peserta didik, yang terus-menerus terpapar oleh kehidupan influenser yang sukses secara finansial dengan jalan pintas atau karier yang tampak glamor di media sosial, mungkin kehilangan minat pada jalur pendidikan tradisional yang membutuhkan dedikasi dan proses panjang.  Fenomena ini dapat memunculkan ketidakpuasan dan kecemasan akademik karena ekspektasi yang tinggi tidak sejalan dengan realitas. Mereka mungkin merasa tertinggal atau kurang berharga jika tidak segera mencapai "kesuksesan" seperti yang digambarkan di linimasa mereka. Akibatnya, esensi pendidikan—yakni pembentukan karakter, kemampuan berpikir kritis, dan pengembangan potensi diri—dapat terdistorsi.

Lembaga pendidikan perlu lebih aktif dalam mengajarkan literasi digital dan ketahanan mental agar peserta didik mampu menyaring informasi, membangun identitas yang autentik, dan mengejar tujuan hidup yang bermakna, bukan sekadar mengikuti tren yang dibuat oleh algoritma dan endorsement. Ini adalah tugas krusial untuk memastikan pendidikan tetap relevan dan memberdayakan di era digital.

Sebagai contoh lain, dalam waktu dekat ini, acap kali kita melihat sosial media menampilkan orang tua memamerkan hasil belajar anak, hasil seleksi masuk perguruan tinggi hingga sekolah dasar. Sebagian dari mereka membanggakan pencapaian anak-anaknya yang berhasil masuk ke perguruan tinggi atau sekolah favorit dan idaman.

Halaman
12
Sumber: bangkapos
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved