Tribunners
Pendidikan Berbasis Komunitas ala Hanandjoeddin untuk Nusantara
Dari Belitung untuk Indonesia, pahlawan kita Hanandjoeddin sudah menginspirasi kita. Hanandjoeddin telah menyalakan api dari pinggiran.
⦁ Pemuda sebagai penggerak literasi
Seperti halnya konsep KKPG, para pemuda di desa dapat diberdayakan menjadi fasilitator literasi, mentor di bidang teknologi digital, sekaligus pendamping belajar bagi anak-anak.
⦁ Kurikulum kontekstual
Pembelajaran muatan lokal sebaiknya diperkuat agar materi pelajaran selaras dengan kehidupan nyata masyarakat, mencakup bidang seperti pertanian, perikanan, kebudayaan, dan kelestarian lingkungan.
⦁ Dokumentasi praktik baik lokal
Cerita tentang dedikasi para guru, kepala sekolah, dan masyarakat yang berupaya membangun pendidikan dari tingkat paling dasar perlu dihimpun serta disebarluaskan sehingga dapat menjadi sumber inspirasi bagi banyak orang.
Pemerintah daerah dan pusat seharusnya melihat gerakan semacam ini bukan sebagai pendidikan alternatif semata, tetapi sebagai bagian penting dari sistem pendidikan nasional yang hidup dan adaptif terhadap konteks lokal. Membumikan kembali semangat kepemimpinan Hanandjoeddin berarti mengembalikan sekolah ke pangkuan komunitas bukan sekadar sebagai tempat mengajar, tetapi sebagai pusat kehidupan warga sebagai ruang pertemuan, bengkel keterampilan, dan gudang warisan budaya.
Proses itu haruslah bersifat partisipatif, perencanaan pendidikan dirumuskan bersama warga lewat musyawarah, bukan hanya menyalin kebijakan dari pusat. Pemuda didorong untuk mengambil peran sentral sebagai motor penggerak literasi serta menjadi pendamping bagi anak-anak dalam memanfaatkan teknologi secara tepat. Kurikulum disesuaikan dengan konteks lokal yang mengikat pelajaran pada pertanian, perikanan, lingkungan dan kebudayaan setempat, sementara praktik-praktik baik guru dan komunitas yang berhasil dikumpulkan, didokumentasikan dan disebarluaskan sebagai model replikasi.
Apa yang membuat gagasan Hanandjoeddin bertahan? Bukan hanya narasi hebatnya, tetapi konsistensi tindakannya. Ia tidur di rumah warga, menginap di sekolah desa, bahkan ikut menggarap sawah bersama rakyat ketika krisis pangan menghantam. Ia tak memimpin dari atas, tetapi dari tengah menjadi bagian dari rakyat yang Ia layani. Keteladanan inilah yang hilang dari banyak pemimpin hari ini. Di tengah sistem yang sering hanya mengejar angka-angka capaian, kita butuh pemimpin yang hadir secara nyata, bukan hanya dalam pidato atau laporan.
Peringatan hari kemerdekaan adalah momentum penting untuk mengingat bahwa kemerdekaan sejati tak hanya diukur dari kebebasan politik atau pertumbuhan ekonomi, tetapi dari seberapa besar rakyat berdaya membangun masa depannya sendiri melalui pendidikan yang relevan, merdeka dan membumi.
Dari Belitung untuk Indonesia, pahlawan kita Hanandjoeddin sudah menginspirasi kita. Hanandjoeddin telah menyalakan api dari pinggiran. Tugas kita hari ini adalah menjaga nyala itu tetap hidup dengan kebijakan yang inklusif, kepemimpinan yang teladan, dan kesadaran bahwa pendidikan bukan proyek elite, melainkan hak dan kewajiban seluruh komunitas.
Dari Belitung, Hanandjoeddin telah memberi teladan. Kini, dari mana pun kita berada, mari kita teruskan perjuangan itu. Karena sejatinya, kemerdekaan dimulai dari mereka yang berani mendidik bangsanya sendiri. Kado terindah buat pahlawan tanah air kita. Salam merdeka. HUT ke-80 RI. (*)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.