Tribunners

Pembangunan Smelter Timah Babel: Klaim 70 Persen Tenaga Lokal, Manajemen SDM atau Sekadar Angka?

Manajemen SDM yang strategis harus memastikan bahwa tenaga lokal tidak hanya dipekerjakan, tetapi juga dikembangkan dan dilindungi

Editor: suhendri
Dokumentasi Rio Rahmatullah
Rio Rahmatullah - Mahasiswa Magister Manajemen Universitas Bangka Belitung 

Oleh: Rio Rahmatullah - Mahasiswa Magister Manajemen Universitas Bangka Belitung

KETIKA pemerintah pusat mencanangkan hilirisasi industri tambang sebagai salah satu motor ekonomi nasional, Bangka Belitung langsung menjadi sorotan. Provinsi kepulauan ini memiliki cadangan timah yang melimpah dan sejarah panjang sebagai penghasil logam putih yang telah menjadi identitas daerah. Ketika smelter-smelter berdiri di berbagai titik, euforia ekonomi pun tumbuh. Pemerintah daerah menegaskan bahwa hilirisasi ini bukan hanya tentang logam timah, tetapi tentang masa depan ekonomi masyarakat Babel.

Namun di tengah semangat industrialisasi, muncul klaim yang cukup menggelitik: 70 persen tenaga kerja di smelter berasal dari masyarakat lokal. Angka ini kerap dijadikan bukti bahwa investasi smelter membawa manfaat langsung bagi masyarakat setempat. Pernyataan itu menggema di berbagai forum resmi dan pemberitaan, bahkan dijadikan simbol keberhasilan kebijakan ketenagakerjaan daerah. Tetapi benarkah angka ini mencerminkan kemajuan manajemen sumber daya manusia (SDM)? Ataukah ia hanya sekadar angka statistik tanpa makna substantif?

Kita perlu berhenti sejenak dan menelaah klaim tersebut secara kritis. Dalam teori pembangunan ekonomi daerah, partisipasi masyarakat lokal dalam proyek industri strategis memang menjadi tolok ukur penting keberhasilan pembangunan. Namun, partisipasi yang dimaksud bukan hanya soal jumlah orang yang dipekerjakan, melainkan sejauh mana mereka mendapatkan transfer keterampilan, kesempatan berkarier, dan kesejahteraan yang layak. Tanpa dimensi itu, angka 70 persen tidak lebih dari kosmetik kebijakan.

Antara potensi alam dan tantangan manusia

Bangka Belitung memiliki kekayaan alam luar biasa. Namun, seperti banyak wilayah kaya sumber daya lainnya, Babel juga menghadapi paradoks klasik: sumber daya alam berlimpah, tetapi sumber daya manusia terbatas. Ketika smelter berdiri megah di Muntok, Sungailiat, dan beberapa kawasan industri lainnya, muncul pertanyaan: apakah masyarakat Babel siap bersaing di industri yang menuntut kompetensi tinggi?

Menurut Gary Dessler (2015), manajemen SDM bukan hanya proses administratif, melainkan strategi untuk menempatkan orang yang tepat pada posisi yang tepat. Ini mencakup rekrutmen yang selektif, pelatihan yang berkelanjutan, serta evaluasi kinerja yang adil. Dalam konteks Babel, manajemen SDM menjadi tantangan besar karena banyak tenaga kerja lokal berasal dari latar belakang non-industri. Mereka lebih terbiasa dengan pekerjaan tambang tradisional atau sektor jasa, bukan dengan sistem kerja industri modern yang ketat, terukur, dan berbasis teknologi.

Sementara itu, Hasibuan (2017) menekankan pentingnya perencanaan dan pengendalian SDM. Tanpa perencanaan matang, perusahaan akan sulit memanfaatkan potensi tenaga kerja lokal secara optimal. Rekrutmen besar-besaran tanpa pengembangan kompetensi hanya akan menciptakan tenaga kerja “musiman” — yang mudah diganti, kurang produktif, dan tidak punya prospek jangka panjang.

Di sisi lain, masyarakat lokal sendiri menghadapi dilema. Banyak dari mereka yang merasa tertarik bekerja di smelter karena dianggap bergengsi dan menjanjikan gaji tetap. Namun, realitas di lapangan sering kali tidak seindah ekspektasi. Pekerjaan berat, jam kerja panjang, serta risiko kecelakaan industri membuat banyak pekerja lokal hanya bertahan sebentar. Ini menunjukkan bahwa masalah SDM di Babel bukan hanya soal keterampilan, tetapi juga kesiapan mental dan budaya kerja.

Membaca angka pengangguran: antara data dan realitas

Berdasarkan data BPS Provinsi Kepulauan Bangka Belitung tahun 2024, tingkat pengangguran terbuka (TPT) tercatat 3,93 persen. Sekilas, angka ini tergolong rendah dibandingkan daerah lain. Namun, BPS juga mencatat bahwa sekitar 62 persen tenaga kerja di Babel masih bekerja di sektor non-formal, seperti perdagangan kecil, pertanian, dan jasa rumah tangga. Sektor industri pengolahan hanya menyerap sebagian kecil dari total tenaga kerja.

Artinya, peluang kerja di industri smelter belum sepenuhnya mampu mengubah struktur tenaga kerja lokal. Bahkan, masih banyak lulusan SMA dan sarjana di Babel yang kesulitan masuk ke sektor industri karena mismatch antara keterampilan yang mereka miliki dan kebutuhan industri. Di sisi lain, perusahaan smelter kerap mengeluhkan kekurangan tenaga kerja siap pakai di bidang teknik mesin, kelistrikan, dan manajemen produksi. Akibatnya, tenaga kerja dari luar daerah — bahkan dari luar provinsi — masih banyak didatangkan untuk posisi teknis dan manajerial.

Dalam situasi ini, klaim 70 persen tenaga kerja lokal perlu ditafsirkan dengan hati-hati. Bisa jadi angka tersebut mencakup pekerja tidak tetap, buruh harian, atau tenaga kontrak jangka pendek. Jika posisi inti dan strategis masih dikuasai oleh tenaga luar, maka klaim tersebut hanya menunjukkan partisipasi semu. 

Manajemen SDM: dari angka menuju kualitas

Manajemen SDM yang efektif tidak sekadar mempekerjakan orang, tetapi mengembangkan mereka. Flippo (1984) menegaskan bahwa SDM adalah aset yang dapat tumbuh nilainya jika diinvestasikan dengan benar. Perusahaan smelter di Babel seharusnya menjadikan pelatihan dan pengembangan tenaga kerja sebagai prioritas strategis, bukan biaya tambahan. Sayangnya, banyak pelatihan di lapangan masih bersifat formalitas. Beberapa perusahaan hanya menggelar pelatihan dasar tanpa tindak lanjut atau evaluasi kinerja pasca-pelatihan. Akibatnya, tidak terjadi peningkatan kompetensi yang signifikan.

Sumber: bangkapos
Halaman 1/2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved