Berita Pangkalpinang

Isu Dana Rp 2,1 Triliun, Dosen UBB Sebut Kredibilitas Fiskal dan Kepercayaan Publik Dipertaruhkan

Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Bangka Belitung (UBB), Devi Valeriani menilai kasus ini tidak bisa dianggap remeh

ISTIMEWA
Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Bangka Belitung, Dr Devi Valeriani 

BANGKAPOS.COM, BANGKA -- Isu dana Rp 2,1 Triliun di Rekening Kas Umum Daerah (RKUD) Provinsi Kepulauan Bangka Belitung (Babel) terus bergulir dan menyita perhatian publik.

Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Bangka Belitung (UBB), Devi Valeriani menilai kasus ini tidak bisa dianggap remeh. Ia menegaskan bahwa persoalan ini bukan sekadar soal angka, melainkan menyangkut kepercayaan masyarakat terhadap tata kelola keuangan pemerintah daerah.

"Bagi masyarakat, isu dana Rp 2,1 Triliun bukan sekadar soal angka, namun menyangkut rasa percaya terhadap tata kelola keuangan pemerintah. Jika komunikasi publik tidak dilakukan dengan baik, maka persepsi yang muncul adalah adanya ketidakterbukaan dan lemahnya pengawasan," kata Devi Valeriani, kepada Bangkapos.com, Selasa (28/10/2025).

Kabar adanya dana Rp 2,1 Triliun yang disebut mengendap di kas daerah Babel bermula dari laporan resmi Kementerian Keuangan, yang menyebutkan masih terdapat ratusan Triliun dana pemerintah daerah di seluruh Indonesia yang belum terserap optimal.

Dalam laporan itu, salah satu saldo besar yang tercatat adalah rekening atas nama Pemerintah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung di sistem perbankan, dengan nilai mencapai Rp 2,1 triliun.

Namun ketika dikonfirmasi ke Badan Keuangan Daerah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, angka tersebut tidak ditemukan dalam laporan RKUD resmi milik daerah.

Kondisi ini memicu polemik di publik. Sebagian menduga adanya potensi penyelewengan, sementara pemerintah daerah menegaskan tidak ada uang misterius yang tersimpan tanpa catatan.

Kini Gubernur Bangka Belitung disebut melaporkan Bank SumselBabel karena dugaan kesalahan input data ke BI yang jadi dasar pernyataan Menkeu Purbaya.

Langkah itu juga mendapat dukungan dari Komisi II DPRD Babel, yang menilai reputasi pemerintah daerah ikut tercoreng akibat kekeliruan pihak bank.

Menurut Devi, perbedaan data antara pusat dan daerah mencerminkan kesenjangan koordinasi dan komunikasi fiskal yang sudah lama terjadi.

Ia menjelaskan, perbedaan sistem pelaporan, waktu pencatatan, dan definisi saldo RKUD bisa menimbulkan selisih angka yang besar, tanpa harus ada unsur penyelewengan.

"Sistem informasi keuangan yang berbeda, waktu pencatatan yang tidak sinkron, dan definisi yang tidak seragam tentang apa yang disebut saldo RKUD dapat dengan mudah menimbulkan selisih data besar. Dalam banyak kasus, dana yang disebut mengendap tidak selalu berarti dana tidak digunakan," jelasnya.

Devi menambahkan, dana yang tampak mengendap bisa jadi merupakan dana sementara yang sedang menunggu proses pencairan proyek, transfer antar rekening, atau dana pihak ketiga yang belum dikembalikan ke kas daerah.

Namun demikian, kata Devi, persoalan utamanya tetap terletak pada minimnya penjelasan publik dari pemerintah dan bank terkait, yang membuka ruang bagi spekulasi dan ketidakpercayaan masyarakat.

Devi menilai, kasus ini menjadi peringatan bagi pemerintah daerah agar lebih proaktif dalam melakukan komunikasi fiskal kepada masyarakat.

Sumber: bangkapos
Halaman 1/3
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved