Dokter Ratna Uji Materil UU Kesehatan

Besok MK Bacakan Putusan, Dokter Ratna Siap dan Ikhlas Menerima Walaupun Putusannya Pahit

Besok, tepatnya Kamis (30/10/2025), Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MKRI) bakal menggelar sidang pembacaan putusan permohonan Dokter Ratna.

Editor: M Ismunadi
Dokumentasi MKRI
Dokter Ratna Setia Asih dan tim penasihat hukum dari firma hukum Hangga OF mengikuti sidang di Gedung Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MKRI) pada Jumat (10/10/2025). 

BANGKAPOS.COM, BANGKA - Besok, tepatnya Kamis (30/10/2025), Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MKRI) bakal menggelar sidang pembacaan putusan terhadap permohonan uji materil yang diajukan Dokter Ratna Setia Asih, dokter spesialis anak di Kota Pangkalpinang, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung.

Jadwal sidang ini tercantum di situs MKRI.

“Iya saya sudah terima jadwalnya,” tulis Dokter Ratna melalui pesan WhatsApp kepada Bangka Pos, Selasa (28/10/2025) malam.

Meski begitu, Ratna belum mau memberikan keterangan lebih lanjut perihal agenda sidang tersebut. Hanya saja, dia mengaku akan hadir pada sidang yang bakal digelar di Gedung MKRI, Jakarta, tersebut. “Insya Allah (hadir),” tulisnya lagi.

Ratna menambahkan walaupun seandainya putusan majelis hakim MK bakal “pahit”, dia mungkin bakal menilainya sebagai putusan yang diberikan Allah SWT.

“Walaupun hasilnya pahit berarti itulah yang terbaik yang diberikan Allah SWT buat saya, dan saya harus siap dan ikhlas menerimanya. Dan harus move on mempersiapkan untuk langkah hukum selanjutnya,” kata Ratna.

Baca juga: Dari Ruang Rawat ke Ruang Sidang, Dokter Ratna Perjuangkan Keadilan hingga ke MK

Diberitakan sebelumnya, Dokter Ratna memperjuangkan keadilan baginya lewat permohonan uji materil ke MKRI Bersama tim penasihat hukum dari Firma Hukum Hangga OF, Ratna mengajukan permohonan uji materil Pasal 307 sepanjang frasa “putusan dari majelis” dalam Undang-undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang kesehatan.

Permohonan uji materil itu sendiri bermula dari rekomendasi yang dikeluarkan Majelis Disiplin Profesi (MDP) Konsil Kesehatan Indonesia (KKI) yang menyatakan Dokter Ratna telah melanggar standar profesi sebagai dokter spesialis anak.

Rekomendasi itu berlanjut penetapan tersangka oleh Polda Kepulauan Bangka Belitung terhadap Dokter Ratna dalam kasus dugaan malapraktik kematian Aldo Ramdani (10), seorang pasien anak di RSUD Depati Hamzah, Kota Pangkalpinang, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung pada akhir tahun lalu.

Kematian Aldo dilaporkan orang tuanya, Yanto, warga Desa Terak, Kecamatan Simpang katis, Kabupaten Bangka Tengah, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung ke Polda Babel pada 12 Desember 2024.

Dalam penangan laporan itu, Dokter Ratna sudah beberapa kali menjalani pemeriksaan hingga ditetapkan sebagai tersangka pada 18 Juni 2025.

Dalam penetapan tersangka tersebut, Dokter Ratna disangkakan atas Pasal 440 ayat 1 atau Pasal 2 Undang-undang nomot 17 tahun 2023 tentang kesehatan. Dia diduga lalai hingga menyebabkan kematian Aldo.

“Sejak awal saya sudah melakukan hal yang benar dan sesuai SOP. Tapi entah kenapa, lama-lama arah kasus ini seperti menyudutkan saya,” ujar Ratna saat dibincangi Bangka Pos pada Rabu (22/10).

Keyakinan itu pula yang membuat Ratna merasa keberatan dengan rekomendasi MDP KKI. Sayangnya, upaya untuk mendapat penjelasan lebih lanjut dari MDP KKI tidak berujung jawaban hingga akhirnya Ratna mengajukan permohonan uji materil ke MK RI.

Dua Kali Sidang

Berdasarkan penelusuran di situs MKRI, pengajuan permohonan uji materil yang dilakukan Dokter Ratna tercatat pada 29 September 2025. Berselang satu hari, permohonan itu berstatus teregistrasi.

Pun Dokter Ratna mengikut sidang pertama yang digelar pada 10 Oktober 2025 di Gedung MKRI, Jakarta. Dia didampingi tim penasihat hukum dari Firma Hukum Hangga OF. Di sidang perdana ini, mereka membacakan permohonan yang diajukan.

Selanjutnya, Dokter Ratna kembali menghadiri sidang pada 23 Oktober 2025. Di sidang kedua ini, dia dan tim penasihat hukum menyampaikan perbaikan berkas permohonan yang memperkuat argumentasi pengajuan permohonan.

Dilansir situs MKRI, Hangga Oktafandany, kuasa hukum Dokter Ratna menyampaikan perbaikan permohonan pengujian materiil Pasal 307 sepanjang frasa “Putusan dari Majelis” Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan terhadap Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) Tahun 1945 ke MK.

Pemohon mengaku telah mengalami kerugian konstitusional akibat berlakunya pasal tersebut karena rekomendasi MDP KKI menjadi alasan penyidik Ditreskrimsus Polda Kepulauan Bangka Belitung menjadikan Pemohon sebagai tersangka.

“Berlakunya kewenangan absolut rekomendasi MDP KKI menyebabkan kriminalisasi berjalan tegak di tubuh kolegium kedokteran dan Pemohon adalah pihak yang mengalami langsung kekejaman ini dan merasakan sikap masa bodoh MDP KKI setelah menjerumuskan Pemohon,” ujar Hangga di Ruang Sidang Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta.

Dalam petitumnya, Pemohon memohon kepada Mahkamah untuk menyatakan Pasal 307 sepanjang frasa “Putusan dari majelis” UU Kesehatan bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 serta dimasukkan frasa “dan/atau Rekomendasi dari majelis”.

Dengan demikian, Pasal 307 UU Kesehatan selengkapnya berbunyi “Putusan dari majelis dan/atau Rekomendasi dari majelis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 304 dapat diajukan peninjauan kembali kepada Menteri dalam hal: a. Ditemukan bukti baru; b.

Kesalahan penerapan pelanggaran disiplin; atau c. Terdapat dugaan konflik kepentingan pada pemeriksa dan yang diperiksa.”

“Semua ini akan terwujud apabila Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi berkeyakinan perlu adanya kesetaraan hak di hadapan hukum antara MDP KKI dengan para Kolegium Kedokteran,” kata Hangga.

Permohonan ini diajukan karena Pemohon mendapatkan rekomendasi dari MDP KKI yang pada pokoknya menyatakan dr. Ratna Setia Asih, Sp.A., M.Kes. melanggar standar profesi untuk diteruskan ke penyidikan.

Surat rekomendasi MDP KKI itu disampaikan kepada Penyidik pada Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Kepulauan Bangka Belitung atas permintaan Penyidik sebagaimana ketentuan Pasal 308 UU Kesehatan dan diteruskan dengan surat penetapan tersangka atas nama Pemohon.

Sementara itu, Pasal 307 berbunyi, “Putusan dari majelis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 304 dapat diajukan peninjauan kembali kepada Menteri dalam hal: a. Ditemukan bukti baru; b. Kesehatan penerapan pelanggaran disiplin; atau c. Terdapat dugaan konflik kepentingan pada pemeriksa dan yang diperiksa.”

Menurut Pemohon, frasa objek tunggal dalam norma dimaksud mengandung makna hanya “Putusan dari majelis” dapat diajukan peninjauan kembali, sedangkan “Rekomendasi dari majelis” yang ditujukan kepada Pemohon tidak dapat diajukan peninjauan kembali.

Pengecualian itu dianggap membatasi hak Pemohon untuk menguji kebenaran rekomendasi dari majelis yang ditujukan khusus kepada Pemohon atas kemungkinan kesalahan sebagaimana dimaksud Pasal 307 UU Kesehatan.

Rekomendasi dari majelis yang ditujukan kepada Pemohon tidak terdapat Berita Acara Pemeriksaan (BAP) untuk ditandatangani, tidak terdapat persidangan pelanggaran standar profesi, tidak terdapat putusan majelis, dan Pemohon tidak diberikan salinan rekomendasi dari majelis dimaksud.

Rekomendasi dari majelis menetapkan dua status hukum kepada Pemohon yaitu ditetapkan melanggar standar profesi dan diteruskan ke penyidikan yang kemudian ditetapkan tersangka.

Pemohon mempertanyakan rekomedasi majelis hanya menyebutkan nama Pemohon untuk diteruskan ke penyidikan, sedangkan tujuh nama dokter lainnya tidak diberikan rekomendasi diteruskan atau tidak diteruskan ke penyidikan.

Pemohon berpendapat telah terjadi diskriminasi oleh MDP KKI. Apa yang membedakan dengan Pemohon dapat diputus/dinyatakan melanggar standar profesi yang standar profesinya belum disusun MDP KKI dan ditetapkan Menteri.

Pemohon tidak ditahan penyidik tetapi wajib lapor dua kali dalam satu minggu dan sekarang menjadi satu kali dalam seminggu. Kendati demikian, bagi Pemohon berapa kali pun wajib lapor dilaksanakan, kriminalisasi ini tetap merampas kemerdekaan Pemohon. Pemohon hendak melanjutkan pendidikan subspesialis. Kedua status yang disematkan kepada Pemohon tentu akan menjadi evaluasi otoritas berwenang yang berdampak keingingan melanjutkan pendidikan subspesialis terkendala.

Perhatian Forkom IDI

Sehari setelah sidang kedua tersebut, Dokter Ratna dihubungi Forum Komunikasi (Forkom) Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dan diminta hadir dalam pertemuan Forkom IDI yang digelar pada Minggu (26/10) malam.

Pertemuan itu dilakukan secara daring, melalui Zoom Meeting, dan berlangsung hingga hampir tengah malam. Bahkan Dokter Ratna mengaku masih menerima pesan WhatsApp dari rekan-rekan dokter hingga dini hari setelah pertemuan Zoom Meeting ditutup.

“Teman-teman dokter masih banyak yang bertanya perihal apa yang menjadi gugatan saya ke MK,” kata Ratna saat dibincangi Bangka Pos, Senin (27/10).

“Saya hadir bersama pengacara saya juga. Saya jadi yang pertama bicara di pertemuan itu,” kata Ratna.

Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Kota Pangkalpinang, dr Eva Lestari mengakui pertemuan Forkom IDI pada Minggu (26/10) malam diinisiasi rekan-rekan IDI di tingkat pusat. Eva diminta membantu pelaksanaan pertemuan yang berlangsung secara daring tersebut.

“Pertemuan itu mendadak juga. Kita kayak kejar-kejaran mempersiapkannya,” kata Eva, Senin (27/10).

“Ya isinya membahas pengajuan uji materil ke MK dan juga kasus yang menimpa rekan kita, Dokter Ratna,” lanjutnya.

Eva menjelaskan pertemuan serupa kerap digelar Forkom IDI. Meski bisa dibilang tidak rutin dalam waktu tertentu, Forkom IDI rutin menggelar pertemuan seperti yang ikut dihadirinya pada Minggu (26/10) malam kemarin.

“Itu yang hadir teman-teman dari seluruh Indonesia. Jadi pertemuan itu diinformasikan ke IDI masing-masing di daerah, dan semua bisa hadir,” kata Eva.

Informasi yang dihimpun Bangka Pos, pertemuan Forkom IDI pada Minggu (26/10) kemarin masih berkenaan dengan peringatan 75 tahun IDI yang jatuh pada 24 Oktober 2025. Pertemuan dimulai pada pukul 18.30 WIB melalui Zoom Meeting.

Hormati Hak Dokter Ratna

Yanto, ayah almarhum Alda, mengaku tidak terlalu pahal soal hukum saat ditanya perihal permohonan uji materil yang diajukan dokter Ratna ke MKRI. Meski begitu, dia menghormati langkah tersebut sebagai hak pribadi dokter yang bersangkutan.

“Untuk kemarin, dokter Ratna kan mengajukan banding ke MK dan konstitusi. Saya tidak mengerti hukum ya, cuma saya dengar ini semua masalah hukum. Baik pun pemeriksa dan penuntut, semua tidak ada hak untuk menilai. Ya saya pikir itu hak dia, hak dokter Ratna. Tapi kita lihat nanti sama-sama, bagaimana hasil akhirnya,” kata Yanto saat ditemui Bangka Pos, Senin (27/10).

Yanto berharap proses hukum ini bisa berjalan dengan jujur dan transparan tanpa intervensi dari pihak mana pun. Ia hanya ingin agar kematian anaknya menjadi pelajaran agar ke depan, tidak ada lagi orang tua yang mengalami hal serupa.

“Saya hanya ingin keadilan. Anak saya sudah nggak bisa kembali, tapi kalau ini bisa memperbaiki sistem, saya ikhlas. Yang penting jangan ada lagi nyawa anak kecil yang hilang karena kelalaian,” pungkasnya.

Meski berusaha menahan emosi, Yanto tidak bisa menyembunyikan kesedihannya. Ia mengaku sangat terpukul atas kehilangan anaknya yang dikenal aktif dan ceria itu.

“Saya sebagai orang biasa sangat sakit hati. Saya cuma berharap tidak ada lagi Aldo-Aldo lain yang mengalami hal sama. Kita maaf, tapi harus ada efek jera. Dokter atau siapa pun yang terlibat, semua harus terbuka. Keadilan jangan hanya di atas kertas,” ucapnya.

Ia menegaskan bahwa perjuangannya bukan untuk mencari popularitas atau uang ganti rugi, melainkan agar tidak ada lagi nyawa yang hilang karena kelalaian dan buruknya sistem pelayanan kesehatan.

“Apakah ini untuk ramai-ramai? Saya bukan jual-jualan anak saya. Saya tidak mau hanya kata-kata ‘ya sudah’. Saya cuma mau kebenaran. Jangan sampai kasus ini hilang begitu saja,” tegas Yanto.

“Saya tidak mau nanti kasus ini dibilang selesai tanpa sidang. Kalau memang ada yang salah, tanggung jawab lah. Jangan biarkan masyarakat kecil seperti kami terus kalah di rumah sakit besar seperti ini,” imbuhnya. (mun/x1)

 

Sumber: bangkapos
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved