Tribunners
APEC 2025 di Korea: Melihat Peluang Ekonomi Syariah di Asia-Pasifik
Indonesia seharusnya bisa menjadi pelopor membawa pesan bahwa ekonomi yang berkeadilan adalah jalan menuju kesejahteraan sejati
Oleh: Yurda Indari, S.E.I., M.E - Dosen Fakultas Ekonomi dan Bsinis Universitas Bangka Belitung
KOREA Selatan menjadi tuan rumah Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) APEC (Asia-Pacific Economic Cooperation) ke-32 yang telah dilaksanakan pada 31 Oktober–1 November 2025 dengan mengusung tema “Building a Sustainable Tomorrow: Connect, Innovate, Prosper.” Tema tersebut menggarisbawahi upaya negara-negara anggota untuk membangun masa depan ekonomi yang berkelanjutan, inklusif, dan inovatif di tengah ketidakpastian global.
Dalam pertemuan ini, para pemimpin negara anggota APEC yang terdiri dari 21 negara menghasilkan komitmen bersama untuk membangun masa depan ekonomi Asia-Pasifik yang berkelanjutan melalui tiga pilar utama, yaitu konektivitas (connect), menegaskan pentingnya memperkuat perdagangan bebas, investasi terbuka, dan integrasi ekonomi kawasan melalui kerja sama dalam FTAAP (Free Trade Area of the Asia-Pacific). APEC juga berkomitmen meningkatkan efisiensi rantai pasok, mempermudah mobilitas bisnis, memperkuat infrastruktur berkualitas, dan mendorong partisipasi UMKM dalam perdagangan global.
Inovasi (innovate), deklarasi APEC menyoroti peran transformasi digital, ilmu pengetahuan, dan kecerdasan buatan (AI) sebagai motor pertumbuhan baru. APEC meluncurkan inisiatif AI APEC untuk mendorong ekosistem AI yang aman, inklusif, dan berorientasi manusia. Fokus juga diarahkan pada peningkatan literasi digital, kolaborasi riset, dan partisipasi semua kalangan dalam ekonomi digital.
Kesejahteraan (prosper), para pemimpin KTT APEC menegaskan bahwa manfaat pertumbuhan ekonomi harus dirasakan semua pihak. Komitmen diberikan untuk memperkuat UMKM, menghadapi perubahan demografis, menjaga ketahanan pangan dan energi, serta memerangi korupsi.
APEC juga menekankan pentingnya sistem kesehatan yang tangguh dan kesiapsiagaan terhadap bencana. Selain itu, APEC menegaskan perannya sebagai inkubator ide dan kerja sama multilateral yang berorientasi pada pembangunan manusia dan keberlanjutan lingkungan.
Namun, di balik tema besar dan komitmen bersama itu, muncul satu pertanyaan menarik: apakah ekonomi syariah bisa menjadi bagian dari solusi bagi masa depan Asia-Pasifik yang berkeadilan dan berkelanjutan?
Kawasan Asia-Pasifik adalah motor pertumbuhan ekonomi dunia, menyumbang lebih dari separuh produk domestik bruto (PDB) global. Namun, kawasan ini juga menghadapi tantangan berat, yaitu ketimpangan ekonomi antarnegara, krisis energi dan pangan, hingga dampak perubahan iklim yang makin terasa.
Banyak negara di kawasan Asia-Pasifik tengah mencari model ekonomi baru yang tidak hanya mengejar pertumbuhan, tetapi juga memastikan keadilan sosial, keberlanjutan lingkungan, dan kesejahteraan manusia. Di titik inilah, ekonomi syariah menawarkan alternatif yang patut dipertimbangkan, sebuah sistem ekonomi yang berlandaskan etika, keadilan, dan tanggung jawab sosial.
Jika ditelaah lebih dalam, tema APEC 2025 sebenarnya memiliki kesesuaian nilai dengan prinsip ekonomi Islam. Kata “connect” dapat dimaknai sebagai ajakan memperkuat kerja sama dan solidaritas antarnegara. Selaras dengan konsep ukhuah ekonomi dalam Islam.
Kata “innovate” sejalan dengan dorongan inovasi di sektor keuangan dan industri halal yang terus berkembang melalui digitalisasi. Sementara itu “prosper” merefleksikan semangat maslahah ‘ammah, yakni kesejahteraan bersama yang menjadi tujuan akhir ekonomi Islam.
Islam mengajarkan bahwa kemakmuran sejati bukanlah ketika segelintir pihak kaya, tetapi ketika kesejahteraan menyentuh seluruh lapisan masyarakat. Sebagaimana firman Allah Swt dalam QS. Al-Hasyr [59]: 7: “... supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu.” Ayat ini menegaskan pentingnya pemerataan distribusi ekonomi — hal yang kini menjadi sorotan dunia, termasuk dalam forum APEC.
Dalam dua dekade terakhir, ekonomi syariah tumbuh pesat di Asia-Pasifik. Indonesia dan Malaysia kini menjadi rujukan keuangan syariah dunia. Jepang, Korea Selatan, hingga Australia juga mulai mengembangkan instrumen green sukuk dan produk halal untuk pasar global.
Ada tiga potensi utama ekonomi syariah yang relevan dengan agenda APEC 2025, yaitu pertama, keuangan syariah dan pembiayaan hijau. Banyak negara anggota APEC sedang menggalakkan pembiayaan proyek berkelanjutan, seperti energi terbarukan dan pertanian hijau. Instrumen seperti sukuk hijau (green sukuk) bisa menjadi solusi etis untuk membiayai proyek-proyek tersebut tanpa riba dan spekulasi
berlebihan.
Kedua, rantai nilai halal (halal value chain). Asia-Pasifik menjadi rumah bagi hampir 65 persen populasi muslim dunia. Pasar halal—dari makanan, kosmetik, pariwisata hingga farmasi—terus tumbuh pesat. Kolaborasi antarnegara APEC dalam sertifikasi dan standardisasi halal dapat mendorong perdagangan lintas batas yang lebih adil dan saling menguntungkan.
Ketiga, digitalisasi ekonomi syariah. Transformasi digital yang ditekankan APEC sejalan dengan perkembangan islamic digital economy: mulai dari halal e-commerce, islamic fintech, hingga penggunaan blockchain syariah untuk meningkatkan transparansi dan kepercayaan publik.
Meski potensinya besar, integrasi ekonomi syariah dalam agenda APEC bukan tanpa tantangan. Pertama, literasi keuangan syariah di banyak negara Asia-Pasifik masih rendah. Kedua, belum ada forum resmi dalam APEC yang secara eksplisit membahas ekonomi syariah. Ketiga, muncul risiko greenwashing atau syariah-washing—yakni penggunaan label “hijau” atau “syariah” tanpa implementasi prinsip etis yang nyata.
Dalam konteks ini, Indonesia memiliki peran strategis. Sebagai negara dengan populasi muslim terbesar di dunia dan rujukan keuangan syariah yang sedang tumbuh, Indonesia dapat mendorong APEC untuk melihat ekonomi syariah bukan sekadar alternatif, tetapi arus utama dalam ekonomi berkelanjutan. Kolaborasi Indonesia Malaysia dapat memperkuat diplomasi ekonomi syariah di forum internasional seperti APEC.
Ekonomi syariah tidak menolak pertumbuhan, inovasi, atau globalisasi. Namun, ia mengingatkan bahwa tujuan akhir ekonomi adalah keberkahan (barakah), yakni keseimbangan antara kemajuan material dan kemaslahatan manusia. Dalam maqashid syariah, kesejahteraan tidak diukur semata dari laba, melainkan dari kemampuan sistem ekonomi menjaga agama, jiwa, akal, harta, dan lingkungan. Seperti sabda Nabi Muhammad SAW “Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya.” (HR. Ahmad). Prinsip ini menjadi dasar bahwa ekonomi harus berorientasi pada manfaat sosial, bukan sekadar keuntungan finansial.
KTT APEC di Korea Selatan ini menjadi ajang penting untuk menata ulang arah ekonomi kawasan. Jika APEC sungguh ingin membangun masa depan yang sustainable dan inclusive, maka prinsip-prinsip ekonomi Islam bisa menjadi fondasi moral dan strategis yang kuat. Sudah saatnya Asia-Pasifik tidak hanya “connect and innovate”, tetapi juga “prosper with ethics.” Dan Indonesia seharusnya bisa menjadi pelopor membawa pesan bahwa ekonomi yang berkeadilan adalah jalan menuju kesejahteraan sejati. (*)

Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.