Tribunners

Momen HKN 2025: Ramai di Permukaan, Hampa di Kesadaran 

Kesehatan masyarakat tidak berubah hanya dengan perintah, melainkan lewat pemahaman dan pendekatan.

Editor: suhendri
Dokumentasi Chairul Aprizal
Chairul Aprizal, S.K.M. - Petugas Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku 

Opini: Chairul Aprizal, S.K.M. - Petugas Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku

SETIAP tahun, Hari Kesehatan Nasional (HKN) selalu kita peringati dengan gegap gempita. Spanduk, lomba, seremonial, dan unggahan konten di media sosial seolah-olah menunjukkan komitmen terhadap hidup sehat. Namun, sayangnya di balik ramainya slogan ini, apakah benar-benar sudah membuat masyarakat kita sadar makna sehat yang sesungguhnya?

Kampanye yang berjalan, tetapi perilaku sehat tidak juga membudaya. Kenyataannya inilah paradoks kesehatan kita saat ini, terasa ramai di permukaan, tetapi hampa di kesadaran. Refleksi ini penting pada peringatan Hari Kesehatan Nasional (HKN) yang jatuh pada tanggal 12 November 2025.

Sehat bukan sekedar soal fasilitas dan pelayanan, apalagi tentang berobat gratis, tetapi mestinya menjadi kesadaran kolektif. Banyak orang sudah mulai hafal jargon-jargon kesehatan "GERMAS", "CERDIK", dan "ISI Piringku". Tetapi, perilaku sehari-hari kita masih jauh dari pesan itu. Tumpukan sampah rumah tangga berserakan sembarangan, asap rokok masih merajalela di mana-mana, dan sayur di piring masih kalah dengan gorengan.

Berbagai permasalahan kesehatan yang berpengaruh besar belum tertangani optimal sampai saat ini, misalnya, kepatuhan dalam memberikan ASI eksklusif belum merata. Dilihat dari laporan survei/analisis nasional menunjukkan capaian 67-69 persen (variasi provinsi cukup besar). Hal ini dipengaruhi faktor dukungan dan peningkatan kesadaran dari ibu sendiri, suami/keluarga, dan lingkungan kerjanya.

Ada juga dari cakupan imunisasi yang berkaitan dengan jarak kehadiran dan penerimaan. Dilihat dari setelah pandemi kemarin bahwa ada penurunan/variabilitas antardaerah. Beberapa kelompok di antaranya masih belum lengkap imunisasi.

Persoalan perilaku kesehatan masyarakat yang rendah juga tampak terlihat dari tingginya perilaku merokok, khususnya pada laki-laki dan remaja. Indonesia sendiri mengantongi prevalensi perokok dewasa yang sangat tinggi. Faktor-faktor yang berhubungan seperti kesadaran akan risiko, terpapar iklan, dan kebiasaan sosial menjadi indikator yang paling kuat memengaruhi perilaku merokok.

Yang lain, dilihat dari penyakit tidak menular (PTM), khususnya hipertensi dan diabetes di Indonesia, yang
terbilang masih tinggi. Beberapa survei/analisis nasional menunjukkan angka tinggi prevalensi hipertensi sebesar 34 persen (Riskesdas 2018). Dari banyaknya penderita ini mereka tidak mengetahui status kesehatannya sendiri sehingga tidak mendapatkan penanganan dini saat muncul gejala. Penanganan dini berkaitan dengan cek kesehatan rutin dan gaya hidup sehat merupakan masalah perilaku dan pengetahuan masyarakat.

Menelusuri lebih dalam dari ini adalah muka paradoks dalam sistem kesehatan sendiri. Selama ini peran promotor kesehatan sering hanya dianggap pelengkap: tukang desain, tukang konten, tukang isi penyuluhan di sela kegiatan, bahkan tukang foto dan video. Di lapangannya promkes ibarat parasit yang hanya menempel di setiap program kesehatan sebagai pelengkap saja.

Padahal esensinya promkes merupakan jantung transformasi perilaku. Ujung panah yang membangun kesadaran, bukan penghias kegiatan. Saat promkes dipinggirkan, kita sedang kehilangan roh utama dari pembangunan kesehatan: perubahan perilaku kesehatan masyarakat.

Program-program kesehatan saat ini tidak pernah kekurangan kegiatan, melainkan pada stigma atau cara pandang. Hanya saja terlalu sibuk mencetak brosur, dan spanduk, atau membuat konten, tetapi lupa hadir dalam keseharian masyarakat. Begitu mahirnya membuat video kampanye yang menarik, tetapi jarang mendengarkan keluh kesah ibu-ibu yang mengasuh anak tanpa air bersih. Dari sinilah kesenjangan itu hidup di antara semangat kampanye dan realitas sosial. Padahal kesadaran tidak tumbuh dan berkembang dari jargon, melainkan dari kehadiran yang konsisten serta empatik.

Rasanya sudah cukup menciptakan jargon, karena masyarakat tidak butuh banyak slogan. Contoh nyata kehadiran konsisten, dan komunikasi yang manusiawi sedang dirindukannya. Kesehatan masyarakat tidak berubah hanya dengan perintah, melainkan lewat pemahaman dan pendekatan. Karena untuk menuju kesadaran yang kolektif tidak ada jalan pintas. Jalurnya jelas, prosesnya panjang, jaraknya harus ditempuh dengan kesabaran yang konsisten. Dari sini semoga dimengerti untuk memulihkan kembali posisi promotor kesehatan sebagai mesin utama bukan sekadar aksesoris dari kendaraannya.

Refleksi dan Arah ke Depan

Memperingati HKN tahun 2025 ini, sebaiknya kita jeda sejenak dari kebisingan kampanye dan slogan. Mulailah bertanya: apakah bangsa ini benar-benar sudah sehat? Atau hanya tampak sibuk untuk terlihat sehat? Refleksi ini bukan untuk menyalahkan apalagi menganggap sisi lain lebih penting, tetapi untuk disadari bahwa kesehatan sejati bukan dilihat dari target, tetapi kesadaran hidup.

Melalui HKN ini bisa diperingati dengan sesuatu yang berbeda, tidak lagi dari seremonial, tetapi diawali langkah kecil yang nyata. Membiasakan cuci tangan, gaya hidup sehat, cek kesehatan rutin, menolak asap rokok dirumah dan tempat yang tidak diperbolehkan, atau sekadar mengingatkan tetangga untuk tidak membuang sampah sembarangan.

Di tengah-tengah paradoks yang berisik ini, yang benar-benar dibutuhkan bukanlah slogan baru pada HKN 2025, tetapi kesadaran lama yang belum tumbuh bahwa untuk sehat sejati adalah tanggung jawab bersama. Kemarin kemarin yang dibicarakan adalah reformasi layanan kesehatan primer, tetapi mulai sekarang yang perlu digerakkan adalah reformasi kesadaran publik.

Dahulu kuat dari sisi kuratif -pengobatan, sekarang harus gagah dari sisi preventif dan promotif. Masyarakat dianggap sehat bukan karena mampu berobat di tempat yang bagus dengan pelayanan yang baik, tetapi masyarakat dianggap sehat apabila mampu menjaga dirinya sendiri agar tidak sakit.

Semestinya program yang berkaitan dengan perlombaan atau sekadar spanduk yang seragam tidak
begitu diperlukan. Namun, pola kebiasaan sederhana yang diterapkan secara konsisten: mencuci tangan, olahraga rutin, porsi gizi seimbang, pengasuhan anak yang tepat, dan menjaga kebersihan lingkungan. Namun, refleksi saja tidak cukup, kita perlu gerakan nyata perubahan. Menatap arah ke depan untuk mengubah tampang promotor kesehatan menjadi lebih kuat, adaptif, dan manusiawi.

Pertama, promotor kesehatan yang tadinya hanya pelengkap mesti diberikan peran yang lebih strategis dalam sistem kesehatan primer. Setidaknya pada level paling dasar pelayanan, yakni puskesmas, semestinya mempunyai rencana perubahan perilaku yang jelas, berdasarkan data sosial dan budaya masyarakat setempat. Promotor kesehatan bukan sekadar menyebarluaskan pesan, tetapi mengomandoi perubahan.

Kedua, inovasi komunikasi publik harus diperkuat. Promotor kesehatan mesti bertransformasi menyesuaikan diri dengan perilaku digital masyarakat hari ini. Kampanye kesehatan dapat dikembangkan menggunakan strategi edutainment dan community storytelling. Bukan cuma poster dan sebatas penyuluhan, tetapi membangun narasi yang menyentuh dan akrab dengan kehidupan sehari-hari masyarakat.

Ketiga, hubungan koordinasi dan komunikasi sebagai langkah pendekatan dengan lintas sektor harus dijadikan arus utama dalam strategi. Kesadaran akan kesehatan masyarakat tidak bisa dibentuk oleh tenaga kesehatan itu sendiri. Ada pintu dan pagar yang harus diketuk terlebih dahulu antara tenaga kesehatan dan masyarakat setempat. Lintas sektor seperti pemerintah desa, dinas pendidikan, kecamatan, tokoh agama/masyarakat, media lokal, bahkan kelompok masyarakat lainnya harus menjadi jembatan yang perlu dibangun untuk gerakan perubahan perilaku. Sehat harus menjadi budaya sosial, bukan sekadar program kesehatan.

Keempat, kompetensi dan prosedural tidak cukup harus mempunyai keberanian untuk menumbuhkan empati dalam setiap kebijakan. Tidak sedikit program di bidang kesehatan yang kurang maksimal, bahkan gagal tercapai disebabkan bukan karena kekurangan anggaran/dana, tetapi ketidakhadiran sebuah rasa (empati). Contohnya, program-program kesehatan yang muncul dari pucuk (atas), padahal akar kesadaran tumbuh di bawah. Mulai dari percakapan sederhana dari rumah, dari gotong royong, dari hubungan sosial yang hangat.

Sekarang mari berkaca kembali HKN tahun ini dapat dijadikan sebagai momentum untuk mengenal dengan baik cara pandang terhadap kesehatan. Bukan semata-mata urusan medis, tetapi sebagai gerakan kesadaran masyarakat. Karena di tengah-tengah semua paradoks yang sedang dihadapi, sesuatu yang sangat diperlukan bukan slogan baru HKN ini, melainkan kembali merasakan akar yang ada di dasar tumbuhnya kesadaran itu sendiri. Bahwasannya kesehatan merupakan sebuah hak dasar, tanggung jawab, dan kesadaran yang harus dipupuk bersama. (*)

Sumber: bangkapos
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved