Tribunners
Menjaga Ingatan Pahlawan, Meneguhkan Amanah Konstitusi
Pahlawan tidak pernah meminta untuk dikenang, pada dasarnya mereka berharap nilai perjuangannya untuk diteruskan.
Oleh: Luthfi Amrusi, S.H. S.Pd. Gr - Guru MTs Nurul Iman, Mahasiswa Magister Ilmu Hukum Universitas Pertiba
PERINGATAN Hari Pahlawan setiap 10 November bukan hanya sekadar ritual kenegaraan saja, tetapi juga momen batin untuk mengingatkan kita bahwa kemerdekaan adalah hasil perjuangan yang panjang, penuh pengorbanan, serta berlapis doa. Sebagaimana ditegaskan dalam Pembukaan UUD 1945, bangsa ini berdiri bukan hanya karena kebetulan sejarah, melainkan karena sebuah perjuangan dan berkat oleh Tuhan Yang
Maha Kuasa.
Maka dari itu, menghormati pahlawan adalah kewajiban moral kita sekaligus tanggung jawab konstitusional juga. Amanat konstitusi lebih lanjut telah tercermin dalam Pasal 32 UUD 1945, yang mewajibkan negara memajukan kebudayaan nasional, termasuk sejarah perjuangan bangsa ini.
Memuliakan pahlawan berarti menjaga identitas, martabat, dan memori kolektif bangsa sehingga tidak larut dalam arus waktu atau tergerus oleh kepentingan yang sesaat. Sebab bangsa tanpa sejarah adalah bangsa yang rapuh dan mudah terombang-ambing.
Di Bangka Belitung, nilai kepahlawanan tidak sekadar tertulis dalam buku sejarah nasional, tetapi tumbuh dari tanah, laut, dan peluh rakyat. Kita mengenang Depati Amir, tokoh bangsa dari Bangka yang dengan hati teguh menolak ketidakadilan kolonial demi mempertahankan martabat rakyatnya. Beliau memilih jalan terjal yang harus terus berdiri meski diasingkan. Dari beliau kita belajar bahwa keberanian tidak selalu diukur dengan sorak kemenangan, melainkan dengan keteguhan untuk menjaga kebenaran meski dalam sunyi dukungan.
Kita juga meneladani HAS Hanandjoeddin dari Belitung, yang telah berjuang untuk mempertahankan kemerdekaan lalu mengabdi membangun masyarakat dengan penuh dedikasi yang tinggi. Sosok seperti beliau telah mengajarkan bahwa nilai kepahlawanan tidak hanya berhenti di medan perang saja, namu ia harus hadir dalam bentuk pelayanan, keteladanan, dan kerja nyata untuk negeri tercinta ini.
Masyarakat Bangka Belitung mengenal suatu pepatah yang penuh hikmah: “Lapar boleh pulang, malu jangan dibawa.” Kalimat yang sederhana ini mengandung nilai-nilai luhur untuk lebih baik menanggung letih daripada menggadaikan sebuah kehormatan. Pada prinsip yang sejalan dengan perjuangan para tokoh daerah ini. Lalu lahirlah falsafah yang sakti yaitu “Serumpun Sebalai,” yang mengajarkan bahwa kita hidup dalam satu rumpun dan satu balai persaudaraan, bermusyawarah, dan menjaga muruah secara bersama-sama.
Masa kini, tantangan kita sudah berbeda. Kita tidak lagi menghadapi penjajahan fisik, melainkan ujian moral seperti korupsi, ketidakjujuran, sikap acuh terhadap sesama, dan kecenderungan mementingkan diri sendiri. Dalam kondisi seperti ini, sikap kepahlawanan dapat dimaknai ulang bahwa bukan lagi soal mengangkat senjata, melainkan mengangkat martabat melalui sikap kejujuran, integritas, serta keberanian bersikap benar walaupun sepi tepuk tangan.
Pahlawan tidak pernah meminta untuk dikenang, pada dasarnya mereka berharap nilai perjuangannya untuk diteruskan. Maka dari itu, Hari Pahlawan bukan sekadar upacara serimonial, tetapi menanamkan komitmen. Berkomitmen dalam setiap profesi, setiap langkah hidup, dan setiap keputusan publik harus tercermin dalam keberanian moral dan kecintaan pada bangsa.
Memori kepahlawanan itu tumbuh di ruang kelas ketika guru mendidik dengan hati, di kantor ketika aparatur melayani tanpa suap, di desa ketika pemuda menjaga lingkungan, dan di rumah ketika orang tua menanamkan kejujuran pada anak-anaknya. Begitulah cara bangsa meneruskan kemerdekaan ini.
Pada akhirnya, sejarah tidak menuntut kita menjadi besar, sejarah hanya bertanya apakah kita telah berarti. Jika para pendahulu menjaga tanah air ini dengan nyawa, maka tugas kita hari ini adalah menjaga martabat bangsa dengan moral serta ikhtiar terbaik. Sebab kemerdekaan bukan hanya tentang bebas dari penjajahan, melainkan juga bebas dari kerendahan budi pekerti.
Pahlawan hidup bukan hanya di batu nisan, tetapi di hati orang yang meneruskan nilai perjuangannya. Semoga kita menjadi pewaris yang baik serta yang bukan hanya mendengar kisah pahlawan, tetapi melanjutkan jejaknya dalam kejujuran, kesantunan, dan pengabdian untuk negeri yang tercinta ini. (*)
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/bangka/foto/bank/originals/20251110_Luthfi-Amrusi.jpg)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.