Tribunners
Pendidikan Karakter di Era Digital: Tantangan Serius bagi Generasi Belitung
Teknologi akan terus berkembang. Namun, karakter yang kuat akan membuat anak-anak kita mampu menghadapinya tanpa terseret arus
Oleh: Junaidi - Guru Pendidikan Agama Islam SMKN 1 Sijuk, Kabupaten Belitung
PERKEMBANGAN teknologi digital bergerak lebih cepat dari kemampuan banyak keluarga dan sekolah dalam mendampingi anak-anak menghadapinya. Di Belitung, yang dalam beberapa tahun terakhir tumbuh sebagai daerah wisata unggulan dan pusat aktivitas ekonomi kreatif, perubahan gaya hidup masyarakat terasa makin kuat. Namun bersamaan dengan itu, muncul pula tantangan baru, terutama terkait pembentukan karakter generasi muda.
Pendidikan karakter bukan tema lama yang diulang-ulang, melainkan kebutuhan nyata yang makin mendesak. Di sekolah-sekolah, guru menghadapi fenomena siswa yang makin akrab dengan layar gawai, tetapi sering kesulitan mengendalikan emosi, menyelesaikan konflik, dan berkomunikasi secara sopan. Ada yang terlibat cekcok hanya karena komentar media sosial, ada yang menghabiskan malam untuk bermain gim daring hingga mengantuk berat saat belajar. Situasi ini tidak unik di Belitung, tetapi terasa lebih mencolok karena masyarakatnya sedang berada dalam fase transisi menuju kehidupan yang lebih digital.
Data nasional memperlihatkan betapa seriusnya tantangan ini. Survei APJII (Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia) tahun 2024 menyebutkan lebih dari 79 persen anak usia sekolah di Indonesia sudah memiliki akses internet pribadi melalui gawai. Namun, hanya 30 persen yang mendapatkan edukasi literasi digital dari sekolah secara terstruktur. Ketimpangan antara akses teknologi dan kemampuan moral inilah yang membuat pendidikan karakter harus menjadi prioritas utama.
Belitung pun tidak terlepas dari fenomena tersebut. Sejumlah sekolah melaporkan meningkatnya penggunaan gawai tanpa kontrol: mulai dari akses konten tidak pantas, perundungan digital, hingga penyebaran informasi palsu antarpelajar. Kasus-kasus kecil yang tampak sepele—seperti saling sindir di fitur komentar atau pesan grup kelas—sering berkembang menjadi konflik di dunia nyata. Guru dan wali kelas akhirnya harus menangani situasi yang sebenarnya bisa dicegah bila karakter siswa lebih kuat.
Pendidikan karakter tidak cukup diajarkan lewat ceramah atau slogan motivasi yang terpampang di dinding sekolah. Ia harus hadir dalam keseharian siswa. Guru harus menjadi teladan, sekolah harus menjadi ruang yang aman dan mendidik, dan keluarga harus menjadi tempat pertama pembentukan nilai. Karena itu, pendidikan karakter tidak boleh dianggap sebagai program tambahan, tetapi sebagai roh dari seluruh kegiatan pendidikan.
Belitung memiliki modal sosial yang sebenarnya sangat besar. Budaya ramah-tamah, semangat gotong royong, serta kebiasaan saling menghargai antarwarga adalah ciri khas masyarakatnya. Nilai-nilai lokal ini dapat menjadi dasar kuat dalam pendidikan karakter.
Sayangnya, perubahan sosial akibat perkembangan teknologi membuat nilai-nilai tersebut mulai tergerus. Anak-anak yang dahulu tumbuh bermain di pantai, berinteraksi dengan tetangga, kini lebih banyak berinteraksi dengan layar. Dunia digital yang mereka masuki tidak selalu buruk, tetapi penuh godaan yang membutuhkan kendali diri. Tanpa pendampingan yang memadai, mereka lebih mudah meniru konten negatif daripada mempelajari nilai-nilai positif.
Peran guru makin berat. Banyak yang mengaku kesulitan mendidik karakter siswa di era digital karena harus menjadi pengajar, pembimbing, sekaligus “penjaga” interaksi digital siswa. Namun, justru di sinilah peluang untuk menghadirkan inovasi. Pendidikan karakter kini perlu dikaitkan langsung dengan perilaku digital sehari-hari. Siswa perlu memahami bahwa etika berlaku di mana saja, termasuk di layar ponsel.
Misalnya, siswa perlu diajak berdiskusi tentang bagaimana menggunakan media sosial secara bertanggung jawab, bagaimana memverifikasi informasi sebelum menyebarkannya, dan bagaimana merespons komentar negatif tanpa harus membalas dengan kebencian. Literasi digital yang menyatu dengan pendidikan karakter akan membuat siswa mampu bersikap dewasa dalam menghadapi berbagai situasi.
Pembelajaran berbasis pengalaman (experiential learning) dapat menjadi pendekatan efektif. Di Belitung, kegiatan seperti bersih pantai, aksi sosial desa wisata, atau keterlibatan dalam kegiatan budaya lokal dapat menjadi media pembelajaran karakter. Siswa tidak sekadar diberi teori tentang tanggung jawab atau empati, tetapi merasakannya secara langsung. Mereka belajar bahwa karakter bukan sekadar nilai rapor, tetapi kebiasaan baik yang dibangun setiap hari.
Selain itu, sekolah perlu memperkuat hubungan antara guru dan siswa. Banyak konflik di dunia digital sebenarnya muncul karena minimnya komunikasi langsung. Siswa yang terbiasa “bicara lewat layar” sering kesulitan mengekspresikan maksudnya secara jelas. Dengan dialog rutin, kegiatan mentoring, dan kehadiran guru yang peduli, siswa bisa belajar menyampaikan pendapat dengan santun dan menyelesaikan masalah secara dewasa.
Orang tua juga memegang peran kunci. Tidak sedikit orang tua yang memberikan gawai kepada anak sebagai bentuk hiburan atau “penjaga sementara”, tanpa mengatur durasi dan kontennya. Padahal, kontrol keluarga adalah benteng pertama karakter. Orang tua perlu memberi batasan, memberi teladan, dan berkomunikasi tentang apa yang anak lihat di media sosial. Tanpa dukungan keluarga, sekolah akan sulit bekerja sendiri.
Di sisi lain, pemerintah daerah melalui dinas pendidikan dapat mengambil peran strategis. Misalnya, dengan membuat pelatihan literasi digital rutin bagi guru, membangun sistem pelaporan perundungan digital, atau mengembangkan kurikulum muatan lokal yang memuat nilai-nilai karakter khas Belitung seperti kejujuran, kesantunan, dan kerja sama. Kebijakan yang mendukung akan memperkuat gerakan pendidikan karakter menjadi gerakan kolektif.
Kita semua tentu ingin melihat generasi muda Belitung tumbuh sebagai anak-anak yang bukan hanya cerdas secara akademik, tetapi juga matang secara moral, berani bertanggung jawab, menghargai sesama, dan mampu mengendalikan diri meski hidup di era serba cepat. Kemajuan digital tidak boleh membuat kita kehilangan nilai-nilai kemanusiaan. Justru di era serba online inilah karakter menjadi benteng paling penting.
Pendidikan karakter di era digital bukan perkara mudah, namun sangat mungkin diwujudkan. Ia membutuhkan keseriusan, keteladanan, dan ekosistem pendidikan yang sehat. Bila sekolah, keluarga, dan masyarakat bergerak bersama, Belitung akan memiliki generasi yang siap bersaing di tengah perubahan zaman, tanpa kehilangan akar identitas dan kearifan lokalnya.
Pada akhirnya, teknologi akan terus berkembang. Namun, karakter yang kuat akan membuat anak-anak kita mampu menghadapinya tanpa terseret arus. Pendidikan karakter adalah investasi sosial jangka panjang, dan saat ini adalah waktu terbaik untuk memperkuatnya — demi masa depan Belitung yang lebih beradab, cerdas, dan bermartabat. (*)
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/bangka/foto/bank/originals/20251116_Junaidi.jpg)