Tribunners
Reformasi Birokrasi Budaya: Saatnya Tata Kelola Kebudayaan Babel Lebih Terbuka dan Berpihak
Reformasi birokrasi budaya bukan tentang efisiensi semata, tetapi tentang etika dan keberpihakan.
Oleh: Nahwand Sona Alhamd (Wandasona) - Ketua Dewan Kesenian Bangka, Pimpinan Sanggar Seni Lawang Budaya, Mahasiswa Pascasarjana Institut Pahlawan 12 Bangka
ADA sesuatu yang menggembirakan sekaligus menggugah hati dari langkah para pelaku budaya di Kepulauan Bangka Belitung belakangan ini. Setelah Musyawarah Besar Dewan Kesenian (DK) Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, DK se-Provinsi Kepulauan Bangka Belitung menyerahkan rancangan Peraturan Daerah tentang Pemajuan Kebudayaan kepada DPRD Provinsi. Sekilas ini mungkin tampak seperti urusan administratif, namun sejatinya ia adalah sebuah ikhtiar untuk menata ulang cara kita memandang dan mengelola kebudayaan di tanah sendiri.
Selama ini, kebudayaan sering hanya menjadi pelengkap dalam pembangunan daerah. Ia disebut di berbagai dokumen resmi, namun sering tak sungguh-sungguh dihidupi. Programnya banyak, tetapi esensinya kerap hilang di balik tumpukan laporan dan acara seremonial.
Padahal, kebudayaan bukan sekadar pertunjukan atau kegiatan tahunan, ia adalah sistem nilai, pengetahuan lokal, dan cara hidup yang memberi arah pada pembangunan. Dari situlah urgensi reformasi birokrasi budaya menjadi penting, bagaimana membangun sistem yang lebih manusiawi, terbuka, dan berpihak pada nilai.
Birokrasi kita selama ini tumbuh dari model lama yang hierarkis dan kaku. Osborne dan Gaebler (1992) dalam Reinventing Government menegaskan perlunya pergeseran dari government ke governance, dari sistem yang memerintah menuju sistem yang bekerja bersama. Dalam urusan kebudayaan, itu berarti pemerintah tak lagi bisa berjalan sendiri. Ia harus bekerja bersama seniman, budayawan, komunitas, akademisi, dan masyarakat adat. Pemerintah bukan pengendali, melainkan fasilitator; bukan pusat kekuasaan, melainkan pusat kepercayaan.
Namun di banyak daerah, pola lama masih dominan. Kebijakan kebudayaan berhenti pada kegiatan formal, bukan pada dialog substansial. Seperti dikemukakan Fred W. Riggs dalam teori prismatik society, birokrasi di negara berkembang sering berada di antara nilai tradisional dan modernitas. Akibatnya, kita punya struktur yang tampak modern di atas kertas, tetapi masih berjiwa feodal dalam praktiknya. Dalam konteks Babel, hal itu terasa, semangat pelestarian ada, tetapi masih terhambat rutinitas administratif yang membuat pelaku budaya kesulitan mengekspresikan gagasan.
Stephen Osborne (2010) melalui teori new public governance menawarkan arah baru birokrasi publik yang berlandaskan kolaborasi. Ia menekankan pentingnya co-governance, sinergi antara pemerintah, komunitas, dan masyarakat sipil. Dalam ranah kebudayaan, prinsip ini sangat relevan, karena nilai budaya hanya hidup melalui kebersamaan. Membangun tata kelola budaya yang sehat berarti membangun kepercayaan antara birokrasi yang terbuka dan masyarakat yang kreatif.
Namun, reformasi bukan hanya soal struktur, melainkan juga cara berpikir. Denhardt & Denhardt (2000) dalam konsep new public service menegaskan bahwa tugas birokrasi bukanlah mengendalikan masyarakat, tetapi melayani dan memberdayakan. Prinsip ini seharusnya menjadi dasar bagi seluruh bidang kebudayaan pada dinas urusan kebudayaan se-Kepulauan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, pelayanan publik budaya harus didorong oleh empati, bukan sekadar prosedur. Sebab, di sanalah rasa, identitas, dan martabat manusia bekerja.
Langkah Dewan Kesenian se-Provinsi Kepulauan Bangka Belitung menyerahkan raperda ini adalah simbol pergeseran paradigma. Masyarakat ingin dilibatkan, dan pelaku budaya ingin diakui sebagai mitra sejajar dalam kebijakan publik.
Tugas DPRD dan Pemerintah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung kini adalah memastikan pembahasan dilakukan secara partisipatif dan transparan. Dinas urusan kebudayaan di setiap kabupaten dan kota juga perlu memperkuat fungsi fasilitasi, bukan intervensi tetapi mendampingi, bukan mengatur tetapi membuka ruang, dan bukan menutup peluang.
Kita dihadapkan pada pilihan besar yakni terus mempertahankan birokrasi budaya yang kaku, atau mulai menata sistem baru yang berjiwa budaya. Reformasi birokrasi budaya bukan tentang efisiensi semata, tetapi tentang etika dan keberpihakan. Pemerintahan yang baik bukan hanya yang cepat dan rapi, tetapi yang memahami nilai-nilai yang hidup di masyarakat. Karena pembangunan tanpa kebudayaan hanyalah bangunan tanpa jiwa.
Langkah kecil para seniman Babel ini mungkin tampak sederhana, namun ia membawa pesan besar, bahwa kebijakan publik sejatinya harus menyentuh rasa kemanusiaan. Bahwa nalar dan rasa harus bersatu dalam tata kelola pemerintahan. Sebab tanpa budaya, birokrasi hanyalah mesin tanpa jiwa. Dan tanpa tata kelola yang beretika, budaya hanyalah cerita tanpa masa depan. (*)
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/bangka/foto/bank/originals/20251104_Nahwand-Sona-Alhamd.jpg)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.