Tribunners
Buku Lawang Uma, Pintu Rumah yang Menjadi Simbol Perjalanan bagi Penulisnya
Dari pintu rumah, kita belajar bahwa hidup selalu tentang memilih. Apakah kita berani melangkah ke dalam atau tetap berdiri di luar.
Oleh: Rusmin Sopian - Penulis yang Tinggal di Toboali
DUNIA literasi Toboali Bangka Selatan kembali menyala. Di penghujung tahun ini, tepatnya di bulan Oktober yang bertepatan dengan hari jadi Kota Toboali ke-317 pada 25 Oktober 2025, penulus muda Rapi Pradipta mengeluarkan buku terbarunya yang berjudul Lawang Uma yang diterbitkan Galuh Patria Jogjakarta.
Buku yang berisikan 20 judul cerita pendek dengan 126 halaman ini merupakan buku kedua dari tenaga pendidik yang mengabdi di SDN 4 Lepar, Kecamatan Lepar, dan aktif menulis di kolom Tribunners Bangka Pos.
Menurut Rapi, buku ini merupakan kumpulan cerpen yang pernah dimuat di beberapa media yang ada di Bangka Belitung. “Pengumpulan naskah cerita pendek dalam buku ini sekitar tiga bulan,” ungkapnya saat berbincang beberapa waktu lalu.
Yang menarik, buku ini menggunakan judul bahasa daerah Toboali, lawang uma yang berarti pintu rumah, sebagai bentuk penghormatan terhadap Kabupaten Bangka Selatan yang dianugerahi sebagai Kabupaten Pelestari Bahasa Daerah oleh Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah Republik Indonesia.
Bagi Rapi Pradipta, lawang uma adalah pintu yang selalu terbuka untuk dirinya, terutama buat sang istri yang membuatnya yakin, kemana pun dia pergi, selalu ada pintu yang menantinya untuk pulang. Pintu rumah yang terbuka lebar menunggunya pulang ke rumah.
Pada sisi lain, pintu rumah bagi Rapi adalah simbol perjalanan. Ia menandai awal sekaligus akhir. Ia bisa menjadi gerbang menuju harapan, atau justru batas yang mengingatkan pada kehilangan.
Dari pintu rumah, kita belajar bahwa hidup selalu tentang memilih. Apakah kita berani melangkah ke dalam atau tetap berdiri di luar. Ragu menanti.
Berprofesi sebagai guru yang mengabdikan diri di pulau terpencil, /awang uma mengajarkannya arti rindu yang sesungguhnya. “Saya percaya, rindu masih menantinya untuk pulang. Selalu ada lawang uma yang siap diketuk untuk dibuka,” ungkapnya.
Menulis bagi Rapi bukan sekadar goresan tangan, melainkan doa yang dititipkan lewat aksara.
Sementara itu, penulis muda Bangka Selatan, Erik Juliawan, menggambarkan buku Lawang Uma karya Rapi Pradipta ini adalah jejak perjalanan, rasa dan makna yang tumbuh dari sebuah pengalaman.
“Dan ini bukan hanya tentang cerita, tetapi juga tentang makna yang sangat relate dengan apa yang dirasakan dalam kehidupan pribadi seseorang,” ujarnya.
Rapi Pradipta mempersilakan kita masuk ke dalam buku Lawang Uma. Buka perlahan, jangan terburu-buru karena setiap halaman yang kita baca dalam bukunya, akan membawa kita pada bacaan dan kisah yang mungkin mirip dengan kisah, cerita, bahkan perjalanan kita sebagai manusia.
Dan biarkan pintu-pintu itu berbicara dengan cara mereka masing-masing. Sebab setiap pintu menyimpan cerita dan setiap cerita selalu mencari pendengarnya.
Selamat untuk Rapi Pradipta. Teruslah menyalakan obor literasi dari Negeri Junjung Besaoh. (*)
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/bangka/foto/bank/originals/20251113_Rusmin-Sopian.jpg)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.