Tribunners
Di Ujung Antena Radio yang Tak Pernah Padam
Pemimpin yang bijak tidak akan membiarkan antena itu berkarat. Ia akan memastikan gelombang itu tetap bergetar, menyiarkan suara warganya tiap hari
Oleh: Abu Bakar, S.I.Kom. - Pemerhati Komunikasi Publik dan Media Daerah
PAGI itu, matahari baru naik di ujung Pulau Belitung. Di pelataran sebuah desa kecil, seorang kepala daerah berdiri di hadapan warganya. Tak ada panggung besar, tak ada spanduk berlebihan. Hanya satu unit ambulans baru yang terparkir di tengah lapangan, dan wajah-wajah lega yang menatapnya penuh harap.
Saat kunci mobil itu berpindah tangan, ia sempat terdiam. Ada sesuatu yang bergetar di dadanya. Mungkin rasa syukur, mungkin juga kenangan lama yang tiba-tiba muncul tentang masa kecilnya yang keras. Ia masih ingat betul, dulu harus berjalan kaki belasan kilometer menuju sekolah setiap pagi.
Masih terbayang jelas ketika ibunya sakit, dan ayahnya harus meminjam kendaraan tetangga untuk membawanya malam itu juga ke rumah sakit di kota. Tak ada ambulans, tak ada jalan yang mulus, hanya doa dan kesabaran yang menemani.
Kini, bertahun-tahun kemudian, ia berdiri sebagai kepala daerah. Dan di hadapannya, ambulans sederhana itu seakan menjadi pengingat masa lalu — bahwa kekuasaan tidak selalu lahir dari istana, melainkan dari luka yang pernah dirasakan dan keberanian untuk tidak melupakannya.
Dalam perjalanan pulang, ia bersandar di kursi mobil dinasnya. Tangannya refleks memutar tombol radio. Sudah lama ia tak mendengarkannya. “Apakah masih ada yang setia pada radio hari ini?” batinnya bergumam. Lalu, di antara gelombang frekuensi yang berisik, terdengar suara seorang penyiar lokal — disambung suara petani sawit dari desa terpencil, yang sedang bercerita tentang kelangkaan pupuk dan sawit-sawitnya yang mulai mengering.
Ia tertegun. Suara itu begitu jujur. Tak dibuat-buat, tak berlapis pencitraan seperti di media sosial. Sebuah suara yang mengingatkannya bahwa di luar ruang kerja yang berpendingin udara, masih banyak suara rakyat yang menunggu untuk didengar. Di situlah ia paham: kepemimpinan sejati bukan tentang seberapa banyak yang bisa dibagi, melainkan seberapa dalam ia mau mendengar.
Radio publik, yang selama ini sering dianggap media tua, tiba-tiba terasa sangat hidup di telinganya. Di balik suara penyiar dan gelombang statis, tersimpan denyut jantung masyarakat yang sebenarnya. Mereka berbicara apa adanya, tanpa naskah, tanpa drama. Dan di sanalah kejujuran lahir — jujur tentang harga sembako, kelangkaan pupuk, hingga harapan-harapan kecil yang jarang masuk meja rapat pemerintah.
Empati adalah kata kunci kepemimpinan hari ini. Daniel Goleman, dalam konsep emotional intelligence, menempatkan empati sebagai inti dari kemampuan sosial seorang pemimpin. Sementara itu Satya Nadella, CEO Microsoft, menegaskan bahwa empati adalah bahan bakar utama inovasi dan keberlanjutan organisasi.
Pemimpin yang empatik bukan hanya mendengar, tetapi memahami — bukan hanya hadir, tetapi menyelami. Kepemimpinan seperti itulah yang semestinya tumbuh di Bangka Belitung. Di tengah dunia yang serba visual dan cepat, para pemimpin daerah perlu kembali menyalakan telinga hati mereka. Mereka bisa belajar dari inisiatif kecil, tetapi berdampak besar seperti yang dilakukan Ombudsman Kepulauan Bangka Belitung— membuka jalur khusus bagi kelompok rentan, agar suaranya tidak tenggelam di tengah keramaian birokrasi. Dari langkah kecil itulah kepercayaan publik dibangun.
Mengapa hal seperti itu penting? Karena kepercayaan adalah fondasi yang tak bisa dibeli. Warren Buffett pernah berkata, “Butuh 20 tahun untuk membangun reputasi, tetapi hanya lima menit untuk menghancurkannya.”
Ketika siaran radio publik padam karena dianggap tak relevan, sejatinya yang padam bukan hanya frekuensi, melainkan juga saluran komunikasi yang paling jujur antara rakyat dan pemimpinnya.
Radio publik adalah ruang hening yang justru penuh kehidupan. Ia menjembatani jurang antara kota dan desa, antara pejabat dan rakyat kecil. Ia mengajarkan bahwa kemajuan bukan hanya tentang teknologi, tetapi tentang keterhubungan. Karena kadang, di balik suara serak penyiar yang menyapa pendengarnya satu per satu, tersimpan bukti bahwa negara masih ada — bahwa pemerintah masih mendengar.
Pemimpin yang bijak tidak akan membiarkan antena itu berkarat. Ia akan memastikan gelombang itu tetap bergetar, menyiarkan suara warganya setiap hari. Sebab dari sanalah ia belajar kembali makna dasar kekuasaan: melayani, bukan dilayani.
Dan mungkin, di ujung antena yang tak pernah padam itu, masih ada doa yang mengalun pelan dari pelosok desa — doa dari orang-orang kecil yang dahulu percaya, bahwa anak dari kampungnya suatu hari akan tumbuh menjadi pemimpin yang mau mendengar. (*)
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/bangka/foto/bank/originals/20251113_Abu-Bakar.jpg)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.