Resonansi
Rahasia
Rahasia bukan sekedar sesuatu yang disembunyikan dari publik. Justru, rahasia menjadi mekanisme dalam kekuasaan.
Penulis: Ade Mayasanto | Editor: Fitriadi
Ruang gelap itu membuat masyarakat bakal sibuk menebak. Dan terkadang pula membuat seisi ruangan tidak lagi mempercayai. Bahkan, bisa saja membuat kehilangan kemampuan untuk berbicara satu sama lain. Ketika hal itu muncul, kekuasaan bakal menemukan keunggulannya.
Dalam sejarah manusia, kekuasaan yang ditopang kerahasiaan ini sudah banyak bermunculan.
Dalam rezim Stalin, misalnya. Pejabat tinggi hidup dalam ketakutan. Mereka tak tahu apakah pujian yang dilontarakan, bakal berbalik menjadi tuduhan pada esok harinya.
Sambutan hangat, pelukan, senyum, percakapan yang penuh kerahaman tuan rumah, bisa jadi basa-basi. Sebab, saat jam berlalu ke depan, polisi rahasia datang, membawa si pencerita ke lubang kematian.
Rahasia yang menjelma menjadi sebuah sistem, tak melulu berjalan dalam rezim totalitarian. Dalam alam demokrasi sekalipun, rahasia itu berganti rupa belaka.
Sebut saja, rapat tertutup, perundingan elite yang berakhir pada keputusan publik yang mencengangkan.
Ya, mereka terkadang memolesnya sebagai sebuah strategi, atau paling elit disebut sebagai rahasia negara. Tetapi, keduanya tidak berbeda. Sebab, publik hanya bisa menebak-nebak, menfasirkan potongan sinyal atau tanda yang tercecer di permukaan.
Hingga akhirnya tebak siapa kawan, lawan dan sengkuni dilakoni secara biasa-biasa saja. Yakni, membaca arah angin. Meski angin yang datang itu berasal dari ruang yang sunyi dan rahasia.

Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.