Kata Jokowi soal Utang Kereta Cepat Whoosh Rp 116 Triliun, Menkeu Purbaya Ogah Bayar Pakai APBN
Joko Widodo akhirnya buka suara soal utang kereta cepat Whoosh yang nilainya mencapai Rp 116 triliun.
Penulis: Fitri Wahyuni | Editor: Evan Saputra
"Itu kewenangan pemerintah, saya nggak mau jawab," jelas Jokowi.
Hal ini disampaikan Jokowi di Solo Jawa Tengah pada Senin (27/10/2025).
Jokowi lantas menjawab apakah utang membengkak Whoosh sudah diprediksi sebelumnya.
Dalam keterangannya, Jokowi mengatakan bahwa Whoosh sudah mencapai jumlah penumpang 20.000 orang.
Jokowi mengatakan bahwa seiring bertambahnya penumpang maka kerugian Whoosh akan semakin mengecil.
"Semakin bertambah penumpang, kerugian akan semakin mengecil, ini kan baru tahun pertama," tegas Jokowi.
Ia mengatakan bahwa peralihan antara pengguna mobil pribadi untuk naik transportasi umum akan tumbuh kisaran 6 tahun.
"Kurang lebih enam tahun nanti, tergantung perpindahan orangnya," papar Jokowi.
Pakar: Jokowi Tak Bisa Serta Merta Disuruh Tanggung Jawab
Pakar kebijakan publik dari Universitas Diponegoro (UNDIP) Teguh Yuwono menanggapi soal siapa yang harus bertanggung jawab terkait beban utang proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB) alias Whoosh.
Diketahui, proyek Whoosh berbuntut pada utang yang nilainya fantastis, yakni mencapai lebih dari Rp100 triliun dan membebani BUMN seperti PT KAI (Persero) sebagai salah satu pemegang saham utama.
Kereta cepat yang resmi beroperasi sejak 2 Oktober 2023 ini mengalami pembengkakan biaya (cost overrun) sebesar 1,2 miliar dollar AS atau sekitar Rp19,54 triliun, dari biaya awal yang direncanakan 6,07 miliar dollar AS.
Sehingga, total investasi proyek Whoosh mencapai 7,2 miliar dollar AS atau sekitar Rp116 triliun.
Untuk membiayai investasi 7,2 miliar dollar AS (Rp116 triliun) pada proyek ini, 75 persen di antaranya didapat dari pinjaman China Development Bank.
Sementara sisanya berasal dari setoran modal pemegang saham, yaitu PT KCIC yang merupakan gabungan dari PSBI (60 persen) dan Beijing Yawan HSR Co Ltd (40 persen).
Setelah terungkap besarnya beban dari proyek kereta cepat ini, nama Jokowi pun turut terseret hingga dituding sebagai pihak yang paling bertanggung jawab.
Lantas, benarkah Jokowi harus menanggung utang proyek tersebut?
Mulanya, Teguh Yuwono menyebut, suatu proyek pemerintah, ketika dicanangkan dan dilaksanakan, maka sifatnya adalah institusional.
Pihak-pihak yang menandatangani proyek tersebut bukan lagi perorangan, melainkan sudah atas nama negara atau pemerintah.
Hal ini dia sampaikan ketika menjadi narasumber dalam program On Focus yang diunggah di kanal YouTube Tribunnews, Rabu (22/10/2025).
"Perlu dicatat, dalam sistem pemerintahan kita, ketika negara atau pemerintah mengambil keputusan, maka keputusan itu bersifat institusional," tutur Teguh.
"Ketika seseorang [pejabat publik] sudah menandatangani sesuatu, itu dia atas nama negara, atas nama pemerintah. Jadi pihak-pihak [yang menandatangani] itu bukan perorangan."
"Jadi, saya kira, ada orang yang salah memahami tata kelola pemerintahan. Harusnya, pihak-pihak yang melakukan tanda tangan kontrak, maka itu adalah kontrak kelembagaan atau institusional."
"Yang ekstrem, seperti kasus IKN (Ibu Kota Nusantara). IKN itu kan sudah dicanangkan, ditandatangani oleh presiden sebagai kepala negara, maka presiden yang selanjutnya juga akan tetap terikat dengan tanda tangan kontrak itu."
Selanjutnya, Teguh menilai, proyek KCJB alias Whoosh sifatnya sama, yakni institusional atas nama negara.
Apalagi, proyek itu dibangun untuk meningkatkan kualitas layanan transportasi.
Sehingga, setiap pihak yang terlibat dalam pelaksanaannya, tidak bisa lagi dipandang sebagai orang per orang.
"Untuk kasus Kereta Cepat Jakarta Bandung itu, sebetulnya proses yang dilakukan kan berbasis kelembagaan. Jadi, bukan orang per orang, misalnya si A, si B, si C, itu pihak swasta, atau itu pihak negara," ujar Teguh.
"Yang terjadi di negara kita kan pemerintah mengambil inisiasi lalu memutuskan ini sebagai proyek yang dibiayai untuk meningkatkan pelayanan di bidang transportasi Jakarta-Bandung untuk mengurangi kemacetan, meningkatkan kualitas pelayanan."
"Itu harusnya berbasis fungsional kenegaraan."
Oleh karena itu, Teguh menegaskan, soal siapa yang harus bertanggung jawab terkait utang Whoosh, tidak bisa dilempar ke perseorangan saja, seperti kepada Jokowi selaku presiden saja atau cuma Sri Mulyani Indrawati selaku Menteri Keuangan RI saat itu.
"Jadi, tidak berarti karena Pak Jokowi yang tanda tangan, maka Jokowi yang harus bertanggungjawab. Itu kan seolah-olah semua beban dikembalikan ke Jokowi," papar Teguh.
"Padahal di situ ada banyak pihak yang ikut menandatangani proyek ini. Bahkan itu kan konsorsium, KCIC, Kereta Cepat Indonesia-China."
"Artinya kan [proyek Whoosh dikerjakan] melalui beberapa pilar dan pilar-pilar itu harusnya dilakukan berbasis institusi, tidak berbasis perorangan."
"Jadi, misal waktu itu Menteri Keuangan RI-nya adalah Sri Mulyani, maka ini salah Sri Mulyani. Bukan begitu."
"Siapa pun yang menjadi menteri, ex officio, ya dia harus bertanggungjawab juga karena ini atas nama negara."
Menurutnya, bahkan proyek Whoosh juga menjadi tanggung jawab Presiden RI Prabowo Subianto yang kini menggantikan Jokowi.
Teguh menambahkan, apabila masih berlanjut, maka proyek yang bersifat kelembagaan atau atas nama negara akan selalu mengikat siapa pun yang menjadi presiden.
"Ini yang kadang-kadang tidak kita lihat, bahwa ketika manajemen pemerintahan dikembangkan atau diterapkan, maka siapa pun yang tanda tangan, apalagi jika kontraknya serial (5, 10, atau 20 tahun ke depan) seperti IKN, itu kan mengikat presiden," ujar Teguh.
"Apalagi kalau itu sudah diundang-undangkan, siapa pun presidennya. Ya walaupun sekarang ini Presiden Prabowo tidak begitu intens ke sana, tetapi beliau berada dalam keterwajiban kelembagaan, sama juga untuk kasus KCJB ini, kira-kira setting policy making-nya begitu."
(Bangkapos.com/Tribunnews.com/Kompas.com)
| Gara-gara Adu Data, 2 Anggota DPR Ini Sentil Menkeu Purbaya dan Dedi Mulyadi, Ini Sosoknya |
|
|---|
| Sosok Tanti Aulia Calon Dokter Tewas Terpanggang di Deli Serdang, jadi Korban Kebakaran |
|
|---|
| Harta Kekayaan Kompol Yogi, Cemburu Wanita Sewaan Misri Bersama Brigadir Nurhadi, Tak Ada Mobil |
|
|---|
| Melda Safitri Tak Diajak saat Suami Pelantikan PPPK, Sibuk Jualan Cari Uang, Berhadap Foto Bersama |
|
|---|
| Harta kekayaan Hasan Nasbi, Komisaris Pertamina Kritik Gaya Menkeu Purbaya |
|
|---|

Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.