Rumah Dinas Gubernur Riau Abdul Wahid Digeledah, KPK Minta Semua Pihak Kooperatif

Penyelidikan sebagai bagian dari proses pengembangan penyidikan perkara dugaan tindak pidana korupsi berupa pemerasan yang menjerat Abdul Wahid

Penulis: Vigestha Repit Dwi Yarda | Editor: Rusaidah
KOMPAS.com/HARYANTI PUPSA SARI
ABDUL KENAKAN ROMPI TAHANAN - Gubernur Riau Abdul terlihat mengenakan rompi tahanan di di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Rabu (5/11/2025). 

BANGKAPOS.COM -- Tim penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menggeledah umah dinas Gubernur Riau Abdul Wahid (AW),  Kamis (6/11/2025).

Penyelidikan sebagai bagian dari proses pengembangan penyidikan perkara dugaan tindak pidana korupsi berupa pemerasan yang menjerat Abdul Wahid sebagai tersangka.

“Dalam lanjutan penyidikan perkara dugaan tindak pidana korupsi di wilayah Pemprov Riau, hari ini penyidik melakukan penggeledahan di rumah dinas gubernur dan beberapa lokasi lainnya,” ujar Juru Bicara KPK, Budi Prasetyo, dalam keterangan resminya, Kamis (6/11/2025).

Baca juga: Inflasi Bangka Belitung Oktober 2025 Terkendali, BI dan TPID Perkuat Sinergi Jaga Stabilitas Harga

Budi menegaskan, KPK mengimbau seluruh pihak untuk kooperatif dan mendukung penuh proses penyidikan agar berjalan efektif dan transparan.

“KPK juga menyampaikan apresiasi dan terima kasih kepada seluruh masyarakat, khususnya di wilayah Riau, yang terus mendukung penuh pengungkapan perkara ini,” tambahnya.

Penggeledahan ini dilakukan setelah operasi tangkap tangan (OTT) terhadap Abdul Wahid pada Senin (3/11/2025) lalu.

Langkah ini sekaligus menjadi tindak lanjut dari penetapan Abdul Wahid sebagai tersangka dalam perkara dugaan pemerasan terkait pengalokasian penambahan anggaran di Dinas PUPR PKPP Provinsi Riau Tahun Anggaran 2025.

Dalam konferensi pers sebelumnya, Wakil Ketua KPK Johanis Tanak menjelaskan secara rinci konstruksi perkara tersebut.

Menurutnya, Abdul Wahid melalui Kepala Dinas PUPR PKPP Riau, M Arief Setiawan (MAS), diduga meminta “jatah” sebesar 5 persen dari total penambahan anggaran yang nilainya melonjak dari Rp 71,6 miliar menjadi Rp 177,4 miliar atau meningkat sekitar Rp 106 miliar.

Permintaan “jatah” 5 persen itu setara dengan Rp 7 miliar, yang disebut-sebut sebagai “jatah preman” di lingkungan dinas tersebut.

Bahkan, menurut KPK, permintaan itu disertai ancaman pencopotan dan mutasi jabatan bagi pejabat yang menolak memenuhi permintaan sang gubernur.

“Hasil pertemuan tersebut kemudian dilaporkan kepada Kepala Dinas PUPR PKPP Riau (MAS) dengan menggunakan bahasa kode ‘7 batang’,” ungkap Johanis Tanak.

Kasus ini kini terus dikembangkan oleh KPK, termasuk dengan penelusuran aliran dana serta keterlibatan pihak lain yang diduga mengetahui maupun menikmati hasil korupsi tersebut.

Gubernur Diduga Terima Rp2,25 M 

Dari total kesepakatan Rp 7 miliar itu, KPK menduga Gubernur Abdul Wahid telah menerima setoran sebesar Rp 2,25 miliar dalam tiga tahap, yakni:

1. Juni 2025: Rp 1 miliar (diterima melalui Tenaga Ahli Dani M Nursalam).
2. November 2025: Rp 450 juta (diterima melalui Kadis M Arief Setiawan).
3. November 2025: Rp 800 juta (diduga diterima langsung oleh AW).

Halaman 1/2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved