Pandji Pragiwaksono Terancam Denda 48 Kerbau dan Rp2 Miliar, Sempat Disebut Tak Masuk Akal

Tongkonan Adat Sang Torayan (TAST) mengklarifikasi bahwa denda 48 kerbau dan Rp2 miliar kepada Pandji Pragiwaksono ini baru berupa ancaman.

Penulis: Dedy Qurniawan CC | Editor: Dedy Qurniawan
TRIBUNNEWS/HERUDIN
TERSANDUNG ADAT - Gara-gara materi stand up-nya pada 2013 yang kembali viral baru-baru ini, komika Pandji Pragiwaksono terancam denda 48 kerbau dan Rp 2 miliar. 
Ringkasan Berita:
  • Gara-gara materi stand up-nya pada 2013 yang kembali viral baru-baru ini, komika Pandji Pragiwaksono terancam denda 48 kerbau dan Rp 2 miliar.
  • Di media sosial, denda ini dianggap sudah dijatuhkan kepada Pandji bahkan pemerhati budaya sempat menyebutnya tak masuk akal.
  • Tongkonan Adat Sang Torayan (TAST) mengklarifikasi bahwa denda 48 kerbau dan Rp2 miliar kepada Pandji Pragiwaksono ini baru berupa ancaman.
  • Saat ini belum ada keputusan hukum adat resmi yang dijauthkan kepada Pandji.

BANGKAPOS.COM - Gara-gara materi stand up-nya pada 2013 yang kembali viral baru-baru ini, komika Pandji Pragiwaksono terancam denda 48 kerbau dan Rp 2 miliar.

Di media sosial, denda ini dianggap sudah dijatuhkan kepada Pandji bahkan pemerhati budaya sempat menyebutnya tak masuk akal.

Tongkonan Adat Sang Torayan (TAST) mengklarifikasi bahwa denda 48 kerbau dan Rp2 miliar kepada Pandji Pragiwaksono ini baru berupa ancaman.

Saat ini belum ada keputusan hukum adat resmi yang dijauthkan kepada Pandji.

Fakta ini diketahui saaat TAST memberikan klarifikasi terkait pernyataan yang beredar di media sosial mengenai sanksi adat terhadap komedian Pandji Pragiwaksono.

Klarifikasi ini disampaikan langsung oleh Ketua TAST, Benyamin Tandiallo dan Sekretaris Ronny Parassa di Sekretariat TAST, Pantan, Kecamatan Makale, Kabupaten Tana Toraja.

 Ronny Parassa menjelaskan bahwa angka 48 ekor hewan dan denda Rp2 miliar bukan merupakan sanksi yang dijatuhkan, melainkan bentuk ancaman hukuman adat yang berlaku secara umum bagi pelanggaran serupa di wilayah adat Toraja.

“Belum ada sanksi yang dijatuhkan terhadap Pandji. Bagaimana mau menjatuhkan sanksi sementara terduga saja belum datang. Angka 48 ekor dan Rp2 miliar itu adalah ancaman hukuman bagi siapa pun yang melanggar adat Toraja,” ujar Ronny.

Ia kemudian menjelaskan dasar perhitungan angka tersebut, yang bersumber dari Aluk Tomate (aturan adat pemakaman).

“Dalam Aluk Tomate, ada yang disebut Rapasan Tomate. Di Tallu Lembang, standarnya 24 ekor. Di Padang Ma'dikai disebut 9 mapenduan berarti 18, di wilayah utara 12 dikali 2 berarti 24. Dari situ, kami jadikan 24 dikali 2 menjadi 48 ekor, dan sanksi morilnya Rp2 miliar,” jelasnya.

Ketua TAST, Benyamin Tandiallo menegaskan bahwa hingga saat ini Pandji belum dinyatakan melanggar hukum adat.

Menurutnya, proses adat harus tetap menghormati tahapan dan pembuktian sebelum penjatuhan sanksi.

“Terkait Ma’ Rambu Langi, itu adalah sanksi adat tertinggi, biasanya dijatuhkan kepada pelaku pelanggaran berat seperti hubungan sedarah. Kasus Pandji belum tentu masuk kategori itu. Ada juga yang disebut Mangngorongi, yang tingkatannya berbeda,” ujar Benyamin.

Baca juga: Biodata Pandji Pragiwaksono, Komika yang Terancam Denda 50 Kerbau karena Singgung Adat Toraja

Sempat Disebut Tak Masuk Akal

Sebelumnya, pemerhati budaya sekaligus pemuda Toraja, Rajus Bimbin sempat menyebut bahwa keputusan Tongkonan Adat Sang Torayan (TAST) yang menjatuhkan sanksi 48 ekor kerbau dan babi serta denda moral senilai Rp2 miliar kepada komedian Pandji Pragiwaksono sebagai tindakan yang berlebihan dan tidak mencerminkan nilai adat Toraja.

Rajus menyebut besarnya sanksi tersebut tidak masuk akal dan justru menyerupai tindakan pemerasan.

Menurutnya, langkah itu merusak citra luhur adat Toraja yang dikenal menjunjung tinggi nilai kemanusiaan dan kehormatan.

 “Saya secara pribadi melihat bahwa ini mempermalukan identitas kita, rasa keberbudayaan kita. Dengan adanya denda ini kita kayak tidak beradab, membuat peluang menampatkan kesempatan untuk memeras kepada seseorang,” ujarnya melalui pesan suara via WhatsApp dilansir dari Tribun Toraja

Ia juga menyampaikan kekecewaannya terhadap lembaga adat yang mengeluarkan sanksi tersebut, karena dianggap tidak mencerminkan tata cara adat yang seharusnya dijalankan dengan bijak dan bermartabat.

Menurut Rajus, penetapan denda adat tidak boleh dilakukan secara sepihak.

Setiap keputusan menyangkut sanksi, besaran material, hingga lokasi pelaksanaan, seharusnya diputuskan melalui sidang adat yang sah.

“Sidang adat menjadi wadah yang sah untuk menentukan bentuk sanksi sesuai dengan nilai-nilai dan aturan adat Toraja yang berlaku,” ujarnya menegaskan.

Rajus menilai, langkah tergesa-gesa dalam menjatuhkan sanksi tanpa mekanisme yang jelas justru dapat menurunkan wibawa adat dan menimbulkan kesalahpahaman publik terhadap budaya Toraja.

Karena itu, ia mengimbau masyarakat untuk berhati-hati dalam menanggapi persoalan yang menyangkut nilai adat agar tidak memperkeruh citra budaya lokal.

Pandji Minta Maaf

Sebelumnya, Komika Pandji Pragiwaksono telah menyampaikan permintaan maaf secara terbuka kepada masyarakat Toraja atas candaan dalam pertunjukan “Mesakke Bangsaku” tahun 2013, yang baru-baru ini kembali menuai sorotan dan kecaman.

Dalam pernyataan resminya, Pandji mengakui kekeliruannya setelah berdialog langsung dengan Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Rukka Sombolinggi.

“Selamat pagi, Indonesia. Terutama untuk masyarakat Toraja yang saya hormati. Dalam beberapa hari terakhir, saya menerima banyak protes dan kemarahan dari masyarakat Toraja terkait sebuah joke dalam pertunjukan Mesakke Bangsaku tahun 2013. Saya membaca dan menerima semua protes serta surat yang ditujukan kepada saya,” kata Pandji melalui unggahan di Instagram pribadinya @pandji.pragiwaksono, Selasa (4/11/2025).

Pandji menjelaskan bahwa setelah berbicara dengan Rukka Sombolinggi, ia baru memahami makna dan nilai mendalam dari budaya Toraja.

“Dari obrolan itu, saya menyadari bahwa joke yang saya buat memang ignorant, dan untuk itu saya ingin meminta maaf sebesar-besarnya kepada masyarakat Toraja yang tersinggung dan merasa dilukai,” ujarnya.

Pandji juga menegaskan bahwa saat ini terdapat dua jalur penyelesaian yang sedang berlangsung, yakni melalui proses hukum negara dan proses hukum adat.

“Berdasarkan pembicaraan dengan Ibu Rukka, penyelesaian secara adat hanya dapat dilakukan di Toraja. Ibu Rukka bersedia menjadi fasilitator pertemuan antara saya dengan perwakilan dari 32 wilayah adat Toraja. Saya akan berusaha mengambil langkah itu. Namun bila secara waktu tidak memungkinkan, saya akan menghormati dan menjalani proses hukum negara yang berlaku,” jelas Pandji.

Lebih lanjut, Pandji menyatakan bahwa peristiwa ini menjadi pelajaran penting dalam perjalanan kariernya sebagai pelawak.

“Saya akan belajar dari kejadian ini, dan menjadikannya momen untuk menjadi pelawak yang lebih baik, lebih peka, lebih cermat, dan lebih peduli,” tambahnya.

Meski demikian, Pandji berharap kejadian ini tidak membuat para komika takut membahas keberagaman budaya dan identitas bangsa.

“Menurut saya, anggapan bahwa pelawak tidak boleh membicarakan SARA kurang tepat. Indonesia adalah negara dengan keragaman luar biasa. Yang penting bukan berhenti membicarakan SARA, tapi bagaimana membicarakannya tanpa merendahkan atau menjelek-jelekkan,” tegasnya.

Ia menutup pernyataannya dengan harapan agar para komika tetap berkarya dengan cara yang lebih bijak dan menghormati budaya Indonesia.

“Semoga para komika di Indonesia terus bercerita tentang adat dan tradisi bangsa ini dengan cara yang lebih baik, lebih bijak, dan lebih menghormati,” pungkas Pandji.

Bermula Video Stand Up 2013 yang Kembali Viral

Masalah Pandji dengan masyarakat ada Toraja ini bermula dari potongan video singkat yang menampilkan komika Pandji Pragiwaksono tengah membawakan materi stand-up comedy menuai kecaman luas di media sosial.

Video itu merupakan materi candaan dalam pertunjukan “Mesakke Bangsaku” tahun 2013 yang kembali viral pada 2025 ini,

Dalam video tersebut, Pandji dianggap menyinggung masyarakat Toraja karena melontarkan candaan yang dinilai melecehkan tradisi adat Rambu Solo’, upacara pemakaman khas Tana Toraja.

Dalam cuplikan itu, Pandji menyebut bahwa banyak warga Toraja jatuh miskin akibat memaksakan diri menggelar pesta kematian, bahkan menggambarkan jenazah keluarga yang belum dimakamkan dibiarkan terbaring di ruang tamu, tepat di depan televisi.

Ketua Perhimpunan Masyarakat Toraja Indonesia (PMTI) Makassar, Amson Padolo, menjadi salah satu yang paling vokal menyuarakan keberatan.

“Kami sangat menyayangkan seorang tokoh publik berpendidikan seperti Pandji menjadikan adat Toraja sebagai bahan lelucon,” ujar Amson saat dihubungi Tribun Toraja, Minggu (2/11/2025) malam WITA.

“Ada dua hal yang membuat kami terluka. Pertama, pernyataannya bahwa banyak warga Toraja jatuh miskin karena pesta adat. Kedua, anggapan bahwa jenazah disimpan di ruang tamu atau depan TV. Itu tidak benar dan sangat menyinggung,” tegasnya.

Amson menjelaskan, dalam tradisi Toraja, jenazah tidak pernah disimpan sembarangan.

Bila keluarga belum siap menggelar upacara Rambu Solo’, jenazah akan disemayamkan di ruang khusus dengan penghormatan penuh.

“Kalau keluarga memang belum mampu, akan ada kesepakatan bersama untuk memakamkan. Tidak pernah ada yang menaruh jenazah di depan TV,” katanya.

Menurutnya, Rambu Solo’ bukan pesta kemewahan, melainkan bentuk penghormatan terakhir kepada orang yang telah meninggal dunia.

Prosesi ini mencerminkan nilai-nilai gotong royong, kasih sayang, dan solidaritas sosial yang kuat di tengah masyarakat Toraja.

“Esensi Rambu Solo’ itu penghormatan kepada orang tua atau kerabat yang telah meninggal,” jelas Amson.

“Ini adalah bentuk akulturasi antara ajaran Aluk Todolo dan nilai kekristenan. Bukan soal pesta atau kemewahan, tapi rasa hormat dan cinta kasih,” ujarnya.

Amson menilai, banyak pihak luar sering salah paham terhadap prosesi adat Toraja karena hanya melihat kemegahannya tanpa memahami makna spiritual di baliknya.

“Pandji seharusnya memahami konteks ini sebelum melontarkan candaan yang justru melukai perasaan banyak orang,” tambahnya.

Menurut Amson, humor seharusnya digunakan untuk mendidik dan membangun kesadaran, bukan memperkuat stereotip negatif.

“Tidak semua hal bisa dijadikan bahan tertawaan. Bagi kami, ini bukan lucu, ini menyakitkan. Apalagi diucapkan oleh publik figur,” tegasnya. (tribunnews/Tribun Toraja/ Bangkapos.com)

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved