Janggal, Vonis MA terhadap Dua Guru SMAN 1 Luwu Utara Menuai Kritik, PGRI Ajukan Grasi ke Presiden

Kasus dua guru SMAN 1 Luwu Utara divonis bersalah oleh MA karena iuran sukarela Rp20 ribu untuk guru honorer. PGRI ajukan grasi ke Presiden

Penulis: M Zulkodri CC | Editor: M Zulkodri
Tribuntimur.com/Ismaruddin
GURU DIPECAT- Ketua PGRI Luwu Utara, Ismaruddin serahkan surat resmi permohonan grasi untuk dua guru di Luwu Utara kepada DPRD. Dua guru di Luwu Utara diberhentikan dan diberi sanksi pidana karena pungutan dana komite sekolah sebesar Rp20 ribu.  
Ringkasan Berita:
  • Dua guru SMAN 1 Luwu Utara, Abdul Muis dan Rasnal, divonis bersalah dalam kasus iuran sukarela Rp20 ribu untuk membantu guru honorer.
  • Di pengadilan tingkat pertama, kedua guru itu divonis bebas karena tidak terbukti melakukan korupsi.
  • Lanjut ke Mahkamah Agung (MA) menjatuhkan vonis satu tahun penjara terhadap Abdul Muis dan Rasnal 
  •  PGRI ajukan grasi ke Presiden agar keputusan pemecatan dapat ditinjau dengan pertimbangan kemanusiaan.

 

BANGKAPOS.COM--Dua guru SMAN 1 Luwu Utara, Abdul Muis dan Rasnal, kembali menjadi sorotan setelah Mahkamah Agung (MA) memvonis mereka bersalah dalam kasus sumbangan sukarela sebesar Rp20 ribu per siswa yang sempat dinyatakan bukan pungutan liar.

Kasus yang terjadi pada periode 2018–2019 itu bermula dari inisiatif sekolah bersama Komite SMAN 1 Luwu Utara untuk mengatasi keterlambatan gaji guru honorer.

Dalam rapat bersama orang tua siswa, disepakati adanya iuran sukarela sebesar Rp20 ribu per bulan tanpa paksaan bahkan terdapat pengecualian bagi siswa kurang mampu.

Namun, pada tahun 2021, sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) melaporkan kebijakan tersebut sebagai pungutan liar (pungli) ke pihak kepolisian.

Kasus ini kemudian bergulir ke Pengadilan Tipikor Makassar.

Di pengadilan tingkat pertama, kedua guru itu divonis bebas karena tidak terbukti melakukan korupsi.

Keadilan seolah berpihak pada kebenaran. Namun, belum sempat bernapas lega, oknum LSM itu kembali beraksi.

Mereka mendesak jaksa untuk mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung (MA). 

Laporan itu kemudian berlanjut ke proses hukum hingga akhirnya Mahkamah Agung (MA) menjatuhkan vonis satu tahun penjara terhadap Abdul Muis dan Rasnal melalui putusan Nomor 4265 K/Pid.Sus/2023.

Mereka pun menjalani hukuman itu dengan tabah, meski hati mereka hancur. Mereka bukan koruptor, tapi diperlakukan seperti penjahat.

Putusan yang telah berkekuatan hukum tetap tersebut menjadi dasar bagi Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan menerbitkan Surat Keputusan (SK) Pemberhentian Tidak Dengan Hormat (PTDH) tertanggal 14 Oktober 2025, yang ditandatangani Gubernur Sulsel.

Banyak pihak juga menilai, keputusan pemecatan tersebut kontras dengan semangat mendukung kesejahteraan guru, terutama di tengah perjuangan mereka membiayai pendidikan dengan sumber daya terbatas.

Putusan Pemberhentian Tidak Dengan Hormat (PTDH) terhadap guru SMAN 1 Luwu Utara, Abdul Muis, dan mantan kepala sekolah, Rasnal, memicu gelombang protes dan keprihatinan.

Kedua figur penting tersebut dikenai sanksi berat karena kasus pengumpulan dana sukarela sebesar Rp20 ribu per siswa yang ternyata memiliki alasan kemanusiaan yang mendalam.

Insiden Iuran Rp20 ribu

PEMECATAN GURU - Mantan Kepala SMAN 1 Luwu Utara, Rasnal (kiri) dan Bendahara Komite SMAN 1 Luwu Utara, Abdul Muis (kanan) ditemui beberapa waktu lalu. Keduanya diberhentikan tidak dengan hormat buntut dana komite sekolah sebesar Rp 20 ribu. Orangtua siswa SMA Negeri 1 Luwu Utara, Sulawesi Selatan sebut sumbangan Rp20 ribu kesepakatan bersama.
PEMECATAN GURU - Mantan Kepala SMAN 1 Luwu Utara, Rasnal (kiri) dan Bendahara Komite SMAN 1 Luwu Utara, Abdul Muis (kanan) ditemui beberapa waktu lalu. Keduanya diberhentikan tidak dengan hormat buntut dana komite sekolah sebesar Rp 20 ribu. Orangtua siswa SMA Negeri 1 Luwu Utara, Sulawesi Selatan sebut sumbangan Rp20 ribu kesepakatan bersama. (TRIBUN-TIMUR.COM/Andi Bunayya Nandini)

Kasus yang dijuluki sebagai "Insiden Iuran Rp20 Ribu" ini menjadi sorotan tajam karena ironi hukum yang menghukum niat baik seorang pendidik.

Abdul Muis, yang menjabat sebagai Bendahara Komite Sekolah, mengungkapkan bahwa inisiatif pengumpulan dana tersebut bukanlah untuk kepentingan pribadi, melainkan demi kesejahteraan 10 guru honorer di SMAN 1 Luwu Utara.

Abdul Muis merasa prihatin dengan nasib guru honorer yang tidak dapat menerima gaji selama 10 bulan berturut-turut. 

Hal ini terjadi karena nama mereka belum tercantum dalam database Data Pokok Pendidikan (Dapodik), yang merupakan syarat mutlak untuk mendapatkan honor dari Dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS).

Untuk mengatasi masalah tersebut, pihak sekolah bersama Komite Sekolah menggelar rapat musyawarah dengan orang tua/wali murid.

Dalam rapat, disepakati adanya iuran sukarela tanpa paksaan sebesar Rp20.000 per siswa per bulan untuk membantu membayar gaji para guru honorer yang terkatung-katung.

Kesepakatan ini juga mencakup klausul pengecualian, yaitu membebaskan iuran bagi keluarga yang kurang mampu atau jika ada dua bersaudara di sekolah, cukup membayar untuk satu orang.

“Dana komite itu hasil kesepakatan orang tua. Disepakati Rp 20.000 per bulan. Yang tidak mampu, gratis. Yang bersaudara, satu saja yang bayar,” ujarnya, dilansir dari Kompas.com.

Dana itu digunakan untuk mendukung kegiatan sekolah dan memberikan tunjangan kecil bagi guru dengan tugas tambahan seperti wali kelas, pengelola laboratorium, dan wakil kepala sekolah.

Menurut Muis, saat itu sekolah menghadapi kekurangan tenaga pendidik karena banyak guru yang pensiun, mutasi, atau meninggal dunia.

“Tenaga pengajar itu kan dinamis. Ada yang meninggal, ada yang mutasi, ada yang pensiun. Jadi itu bisa terjadi setiap tahun,” ucapnya.

Sekolah pun harus mencari guru honor baru. 

Sementara, proses administrasi agar mereka masuk sistem Dapodik butuh waktu hingga dua tahun.

“Kalau guru honor baru itu, butuh dua tahun untuk bisa masuk ke Dapodik. Nah, sementara itu, kegiatan belajar tetap harus jalan,” tambahnya.

Jumlah guru honor di sekolah itu mencapai 22 orang, banyak di antaranya bekerja dengan penghasilan minim.

Selama menjadi bendahara, ia hanya menerima uang transportasi Rp125.000 per bulan dan tambahan Rp200.000 sebagai wakil kepala sekolah. 

Sebagian ia gunakan membantu guru honor. 

“Ada guru honor namanya Armand, tinggal di Bakka. Kadang saya kasih Rp150 ribu sampai Rp200 ribu karena dia sering tidak hadir, tidak punya uang bensin,” kenangnya. 

Meskipun niatnya murni dan disetujui oleh Komite serta sebagian besar orang tua siswa, inisiatif ini justru berujung bencana hukum.

Pemprov Sulsel Sebut Keputusan Berdasarkan Aturan ASN

GURU DIPECAT- Ketua PGRI Luwu Utara, Ismaruddin serahkan surat resmi permohonan grasi untuk dua guru di Luwu Utara kepada DPRD. Dua guru di Luwu Utara diberhentikan dan diberi sanksi pidana karena pungutan dana komite sekolah sebesar Rp20 ribu. 
GURU DIPECAT- Ketua PGRI Luwu Utara, Ismaruddin serahkan surat resmi permohonan grasi untuk dua guru di Luwu Utara kepada DPRD. Dua guru di Luwu Utara diberhentikan dan diberi sanksi pidana karena pungutan dana komite sekolah sebesar Rp20 ribu.  (Tribuntimur.com/Ismaruddin)

Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Sulawesi Selatan, Iqbal Nadjamuddin, menegaskan bahwa pemberhentian kedua guru tersebut bukan keputusan sepihak, melainkan tindak lanjut dari ketentuan hukum dan regulasi Aparatur Sipil Negara (ASN).

“Ini kasus lama, tahun 2018–2019. Sudah diputus pengadilan, dan kami hanya melaksanakan aturan ASN-nya,” ujar Iqbal, dikutip Kompas.com, Selasa (11/11/2025).

Ia menjelaskan, ASN dapat diberhentikan jika dijatuhi hukuman pidana, khususnya tindak pidana korupsi. “Untuk kasus korupsi, begitu diputus bersalah langsung diberhentikan,” katanya.

Lebih lanjut, ia menyebut akan ada Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama DPRD Sulsel untuk menjelaskan duduk perkara kasus ini secara terbuka.

Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Sulawesi Selatan menanggapi soal dua guru SMAN 1 Luwu Utara dipecat akibat kasus dana komite sekolah.

Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Sulawesi Selatan, Iqbal Nadjamuddin menjelaskan keputusan pemberhentian tersebut merupakan tindak lanjut dari putusan hukum dan ketentuan kepegawaian ASN, bukan keputusan sepihak dari Dinas Pendidikan.

"Besok ada rapat dengar pendapat (RDP). Saya sudah sampaikan, biar dijelaskan secara terbuka. Karena ini kasus lama, 2018–2019. Oleh pengadilan sudah diputuskan dan kami hanya melaksanakan aturan ASN-nya,” ujar Iqbal saat dikonfirmasi, Selasa (11/11/2025), dikutip Kompas.com.

Iqbal menuturkan, berdasarkan Undang-Undang Aparatur Sipil Negara (ASN), pemberhentian dapat dilakukan karena dua alasan, yakni permintaan sendiri atau karena hukuman pidana.

"Kalau ASN ditahan lebih dari dua tahun karena pidana umum, maka diberhentikan. Tapi kalau di bawah dua tahun, tidak diberhentikan. Untuk tindak pidana korupsi, begitu diputus bersalah langsung diberhentikan,” jelasnya. 

Dengan demikian, pemberhentian Rasnal dan Abdul Muis dilakukan karena telah memenuhi kriteria hukum dan administratif ASN.

“Kami hanya melaksanakan undang-undang ASN. Soal masalah hukum beliau, itu ranah yudisial. Kami hanya menjalankan aturan,” tegas Iqbal. 

Iqbal menambahkan, pihaknya akan menjelaskan secara terbuka duduk perkara kasus ini dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama DPRD Sulawesi Selatan yang dijadwalkan Rabu (12/11/2025).

“RDP ini penting agar publik tahu batas antara sumbangan sukarela dan pungutan wajib. Supaya tidak terjadi lagi kesalahpahaman seperti ini,” pungkasnya.

Lebih lanjut, ia menegaskan, keberadaan Komite Sekolah dan mekanisme pengumpulan dana pendidikan telah diatur secara jelas dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud). 

Namun, ia mengingatkan bahwa ada batas tegas antara “sumbangan sukarela” dan “pungutan wajib” yang tidak diperbolehkan. 

"Komite itu diatur di Permendikbud. Artinya, Komite tidak dilarang melakukan pengumpulan dana pendidikan, tetapi hanya dalam bentuk bantuan sukarela, bukan pungutan wajib,” katanya.

Menurut Iqbal, pengumpulan dana oleh Komite Sekolah diperbolehkan asalkan dilakukan secara transparan dan tidak bersifat memaksa.

"Pungutan tidak boleh mewajibkan. Tapi kalau meminta bantuan, boleh. Namanya sumbangan itu ya sukarela, terserah yang mau memberi,” jelasnya

Desakan Kemanusiaan dan Permohonan Grasi

Meski demikian, keputusan pemecatan itu menuai keprihatinan luas di kalangan pendidik. Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Luwu Utara menilai hukuman tersebut tidak mencerminkan semangat kemanusiaan dan justru menghukum niat baik seorang guru.

Ketua PGRI Luwu Utara, Ismaruddin, mengatakan bahwa pihaknya telah mengajukan permohonan grasi kepada Presiden Prabowo Subianto demi memulihkan status dan martabat kedua guru tersebut.

“Guru hari ini berada di posisi rentan. Tanpa perlindungan hukum yang jelas, kebijakan sekolah bisa berujung kriminalisasi,” ujarnya.

Abdul Muis: “Saya Hanya Ingin Orang Tahu, Saya Bukan Koruptor”

GURU DIPECAT -- Abdul Muis (59), guru mata pelajaran Sosiologi di SMA Negeri 1 Luwu Utara, Sulawesi Selatan saat dikonfirmasi kompas.com, Senin (10/11/2025)
GURU DIPECAT -- Abdul Muis (59), guru mata pelajaran Sosiologi di SMA Negeri 1 Luwu Utara, Sulawesi Selatan saat dikonfirmasi kompas.com, Senin (10/11/2025) (Kompas.com/MUH. AMRAN AMIR)

Abdul Muis, yang telah mengabdi sebagai guru sejak 1998, mengaku ikhlas namun tetap berharap keadilan ditegakkan.

Ia menegaskan bahwa dana Rp20 ribu tersebut digunakan sepenuhnya untuk membantu guru honorer yang tidak menerima gaji selama 10 bulan karena belum masuk database Dapodik.

“Dana itu hasil kesepakatan orang tua. Yang tidak mampu tidak bayar. Semua transparan, ada notulen rapatnya. Saya hanya ingin orang tahu, saya bukan koruptor,” tuturnya.

Kini, Abdul Muis dan Rasnal menanti kejelasan nasib mereka di masa purnabakti, dengan harapan ada kebijakan kemanusiaan yang dapat memulihkan nama baik dan hak mereka sebagai pendidik.

Dilaporkan Pungli

GURU DIPECAT - Rasnal, mantan Kepala SMAN 1 Luwu Utara yang kini mengajar di SMAN 3 Luwu Utara, ditemui di sekretariat PGRI Luwu Utara, Minggu (9/11/2025). Ia diberhentikan tidak dengan hormat karena kasus dana komite sekolah sebesar Rp20 ribu per siswa. 
GURU DIPECAT - Rasnal, mantan Kepala SMAN 1 Luwu Utara yang kini mengajar di SMAN 3 Luwu Utara, ditemui di sekretariat PGRI Luwu Utara, Minggu (9/11/2025). Ia diberhentikan tidak dengan hormat karena kasus dana komite sekolah sebesar Rp20 ribu per siswa.  (TRIBUN TIMUR/ANDI BUNAYYA)

Program yang berjalan sekitar tiga tahun ini dilaporkan oleh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) ke polisi dengan tuduhan pungutan liar (pungli) atau penyalahgunaan dana.

Masalah muncul pada 2021 ketika seorang pemuda yang mengaku aktivis LSM datang ke rumahnya menanyakan soal dana sumbangan.

“Anak itu datang, langsung bilang: ‘Benarkah sekolah menarik sumbangan?’ Saya jawab benar, itu hasil keputusan rapat. Tapi saya kaget, dia mau periksa buku keuangan,” tutur Muis.

Tak lama kemudian, ia mendapat panggilan dari pihak kepolisian. 

Kasus berkembang hingga ia dakwa melakukan pungutan liar (pungli) dan pemaksaan kepada siswa.

Pengadilan menjatuhkan hukuman satu tahun penjara dan denda Rp50 juta, subsider tiga bulan kurungan.

“Total saya jalani enam bulan 29 hari karena ada potongan masa tahanan. Denda saya bayar,” ujarnya.

Menurut Muis, proses hukum berjalan panjang. Setelah berkas dilimpahkan ke kejaksaan, sempat dinyatakan belum lengkap (P19) karena belum ditemukan bukti kerugian negara.

“Lalu entah bagaimana, polisi bekerja sama dengan Inspektorat. Maka lahirlah testimoni dari Inspektorat yang menyatakan bahwa Komite SMA 1 itu merugikan keuangan negara,” kata Muis.

Ia menyebut Inspektorat Kabupaten Luwu Utara hadir sebagai saksi dalam sidang Tipikor tingkat pertama.

Mantan Kepala SMAN 1 Luwu Utara, Rasnal, dan bendahara komite, Abdul Muis, ditetapkan sebagai tersangka.

Keduanya telah menjalani hukuman di Rumah Tahanan (Rutan) Masamba dan menerima Surat Keputusan (SK) Pemberhentian Tidak dengan Hormat (PTDH) dari Gubernur Sulawesi Selatan.

Meski menerima putusan, Muis tetap yakin tidak bersalah. 

Ia menilai kasus itu terjadi karena salah tafsir terhadap peran komite sekolah.

“Kalau itu disebut pungli, berarti memalak secara sepihak dan sembunyi-sembunyi. Padahal, semua keputusan kami terbuka, ada rapatnya, ada notulen, dan dana itu digunakan untuk kepentingan sekolah,” ucapnya.

“Kalau dipaksa, mestinya semua siswa harus lunas. Tapi faktanya banyak yang tidak membayar dan mereka tetap ikut ujian, tetap dilayani,” tambahnya.

Usai menjalani masa pidana, Muis kembali mengajar di SMAN 1 Luwu Utara.

Namun, beberapa waktu kemudian ia menerima SK pemberhentian tidak dengan hormat dari Gubernur Sulsel.

(Tribuntimur.com/Kompas.com/TribunSumsel.com)

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved