Protes Mantan Hakim, Terdakwa Kasus Suap CPO Sebut Jaksa Tak Punya Hati Nurani, Ada Disparitas

Mantan hakim Arif Nuryanta & Djuyamto protes tuntutan JPU hingga 15 tahun dalam kasus suap CPO. Disparitas tuntutan jadi sorotan

Penulis: M Zulkodri CC | Editor: M Zulkodri
Kompas.com
Hakim nonaktif Djuyamto dalam sidang di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Rabu (5/11/2025) 

Ringkasan Berita:
  • Menjelang vonis 3 Desember, mantan hakim & terdakwa kasus suap CPO protes tuntutan JPU dianggap tidak adil.
  • Arif Nuryanta dituntut 15 tahun, Djuyamto 12 tahun, meski sudah mengembalikan uang suap.
  • Soroti disparitas tuntutan dengan kasus serupa

BANGKAPOS.COM--Menjelang pembacaan putusan dalam kasus dugaan suap majelis hakim yang memberikan vonis lepas kepada tiga korporasi crude palm oil (CPO), sejumlah mantan hakim dan terdakwa menyampaikan protes keras terhadap tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang dinilai terlalu tinggi.

Kasus ini menarik perhatian publik karena melibatkan mantan pejabat tinggi pengadilan dan jumlah suap yang mencapai puluhan miliar rupiah.

Para mantan hakim yang menyuarakan protes ini adalah Muhammad Arif Nuryanta, eks Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, dan Djuyamto, hakim yang dulu sering menangani perkara Tipikor di Pengadilan Tipikor Jakarta.

Protes senada juga disampaikan oleh tiga terdakwa lainnya, yakni Agam Syarif Baharudin, Ali Muhtarom, dan Wahyu Gunawan, saat membacakan duplik dalam sidang di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Rabu (19/11/2025).

Tuntutan Jaksa Dinilai Disparitas

Eks Ketua PN Jakarta Selatan, Muhammad Arif Nuryanta, dituntut 15 tahun penjara oleh jaksa, meskipun hanya dikenakan satu pasal, yaitu Pasal 6 Ayat (2) UU Tipikor. Menurut Arif, tuntutan ini terlalu tinggi dan tidak adil jika dibandingkan dengan kasus serupa.

Salah satu perbandingan yang disebutkan adalah kasus eks Ketua PN Surabaya, Rudi Suparmono, yang dituntut 7 tahun penjara dalam perkara pengurusan vonis bebas terdakwa pembunuhan Gregorius Ronald Tannur.

Padahal, Rudi dikenakan dua pasal berbeda, yaitu Pasal 5 Ayat (2) dan Pasal 12B UU Tipikor, sementara Arif hanya dikenakan satu pasal.

Pengacara Arif, Philipus Sitepu, menegaskan bahwa perbedaan tuntutan ini menunjukkan ketidakadilan sistem hukum:

“Bayangkan saja disparitas tuntutan pidana antara terdakwa Rudi Suparmono dengan terdakwa Muhammad Arif Nuryanta. Rudi dituntut dua pasal namun hanya tujuh tahun, sementara Arif satu pasal dituntut 15 tahun. Hal ini jelas tidak proporsional,” ujar Philipus.

Kubu Arif juga menyoroti bahwa baik Arif maupun Rudi memiliki peran yang sama, yaitu sebagai pejabat pengadilan yang menentukan majelis hakim, bukan sebagai majelis hakim yang memutus perkara.

Dengan demikian, menurut pengacara, keduanya seharusnya mendapat perlakuan hukum yang sebanding.

Pengembalian Uang Suap Tidak Diperhitungkan Sebagai Hal Meringankan

Salah satu poin krusial dalam duplik Arif adalah protes terkait tidak dimasukkannya pengembalian uang suap sebagai faktor meringankan.

Arif telah mengembalikan Rp 15,7 miliar kepada negara, namun JPU tidak mempertimbangkan hal ini dalam tuntutannya.

Menurut pengacara, tidak memasukkan pengembalian uang suap sebagai hal meringankan akan berdampak buruk pada kasus Tipikor di masa depan, karena bisa membuat terdakwa enggan mengembalikan hasil korupsi.

Sumber: bangkapos
Halaman 1/2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved