Protes Mantan Hakim, Terdakwa Kasus Suap CPO Sebut Jaksa Tak Punya Hati Nurani, Ada Disparitas

Mantan hakim Arif Nuryanta & Djuyamto protes tuntutan JPU hingga 15 tahun dalam kasus suap CPO. Disparitas tuntutan jadi sorotan

Penulis: M Zulkodri CC | Editor: M Zulkodri
Kompas.com
Hakim nonaktif Djuyamto dalam sidang di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Rabu (5/11/2025) 

“Yang tidak dijadikan hal-hal meringankan terkait pengembalian uang yang sudah dikembalikan oleh terdakwa menjadi contoh tidak baik ke depannya. Ini membuat orang-orang yang dikenakan pasal Tipikor menjadi enggan mengembalikan dugaan hasil Tipikor,” jelas Philipus.

Pedoman Jaksa Agung RI Nomor 1 Tahun 2019 tentang Tuntutan Pidana Korupsi menegaskan bahwa pengembalian uang kepada negara seharusnya menjadi pertimbangan meringankan pidana.

Kubu Arif menekankan bahwa prinsip ini tidak diterapkan dalam tuntutan JPU, sehingga menimbulkan ketidakadilan.

Protes Djuyamto: Jaksa Tak Punya Hati Nurani

Protes serupa juga datang dari Djuyamto, mantan hakim Tipikor, yang dituntut 12 tahun penjara dengan denda Rp 9,5 miliar subsider 5 tahun.

Djuyamto menilai tuntutan JPU jauh dari rasa keadilan karena tidak mempertimbangkan sikap kooperatifnya selama penyidikan.

Djuyamto mengaku telah berupaya mendorong rekan-rekan hakim lain, termasuk Ali Muhtarom dan Agam Syarif Baharudin, untuk membuka jumlah uang suap yang diterima.

Selain itu, Djuyamto menyatakan telah mengembalikan Rp 8,05 miliar uang suap kepada negara, berbeda dari angka yang didakwakan jaksa.

“Saya tegas meminta hukuman seadil-adilnya, bukan sekadar seringan-ringannya. Majelis hakim yang mulia pasti akan menegakkan hukum dan keadilan sesuai UU Kekuasaan Kehakiman,” ujar Djuyamto.

Djuyamto menegaskan bahwa prinsip penegakan hukum bukan hanya soal pidana, tetapi juga menegakkan keadilan substantif.

Hal ini menjadi argumen utama kubu terdakwa dalam meminta majelis hakim mempertimbangkan faktor-faktor meringankan, termasuk pengembalian uang suap.

Rincian Tuntutan dan Total Suap

Dalam kasus ini, lima terdakwa dituntut menerima total Rp 40 miliar dari tiga korporasi, yaitu Permata Hijau Group, Wilmar Group, dan Musim Mas Group, agar majelis hakim menjatuhkan vonis lepas (ontslag).

Rincian tuntutan JPU:

  • Muhammad Arif Nuryanta: 15 tahun penjara, denda Rp 500 juta subsider 6 bulan, uang pengganti Rp 15,7 miliar subsider 5 tahun.
  • Djuyamto: 12 tahun penjara, denda Rp 9,5 miliar subsider 5 tahun.
  • Agam Syarif Baharudin & Ali Muhtarom: 12 tahun penjara, uang pengganti Rp 6,2 miliar subsider 5 tahun.
  • Wahyu Gunawan: 12 tahun penjara, denda Rp 500 juta subsider 6 bulan, uang pengganti Rp 2,4 miliar subsider tambahan 6 tahun penjara jika tidak dikembalikan.

Para terdakwa dituduh melanggar Pasal 6 Ayat 2 jo Pasal 18 jo Pasal 55 Ayat 1 ke-1 KUHP. Djuyamto, Ali, dan Agam dituduh memutus vonis lepas untuk tiga korporasi CPO, sementara Wahyu Gunawan berperan sebagai jembatan antara pihak korporasi dengan pengadilan.

Pembacaan Vonis Dijadwalkan 3 Desember

Ketua Majelis Hakim Effendi menyatakan pembacaan vonis dijadwalkan pada 3 Desember 2025, dua minggu setelah sidang duplik.

Majelis hakim membutuhkan waktu lebih lama untuk bermusyawarah karena terdapat lima terdakwa dan jumlah saksi yang cukup banyak.

“Sidang kita tunda dua minggu, dengan agenda pembacaan putusan pada Rabu, 3 Desember 2025,” ujar Effendi.
 
Kasus ini menjadi sorotan karena menyoroti dugaan suap besar di lingkungan pengadilan dan disparitas tuntutan pidana, sekaligus menegaskan pentingnya pertimbangan pengembalian uang suap sebagai hal meringankan dalam putusan hukum.

Sumber Kompas.com/Tribunnews.com

 

Sumber: bangkapos
Halaman 2/2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved