Tribunners
Bergerak Memulihkan Pendidikan
Memulihkan pendidikan dengan strategi merdeka belajar bukan hanya tugas Nadiem Makarim, tetapi juga pemda dan pemimpin di setiap satuan pendidikan
TANGGAL 2 Mei setiap tahun diperingati sebagai Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas). Pada tahun 2022 ini, Hardiknas diundurkan ke tanggal 13 Mei karena tanggal 2 Mei bertepatan dengan perayaan Idulfitri 1443 H. Semangat yang mau dipupuk setiap kita memperingati Hardiknas mengenang pejuang pendidikan Indonesia Bapak Ki Hajar Dewantara. Pejuang pendidikan ini gigih memperjuangkan nasib warga pribumi agar mendapatkan pendidikan yang layak, bermakna, dan menyenangkan.
Hari Pendidikan Nasional tahun ini mengusung tema, "Pimpin Pemulihan, Bergerak untuk Merdeka Belajar".Terminologi pemulihan menggambarkan bahwa kondisi pendidikan sebelumnya dihinggapi "penyakit" yang harus lekas disembuhkan. Jenis "penyakit" seperti ini tidak mudah disembuhkan sehingga butuh duduk lebih lama menelaah akar penyakit akut ini. Supaya strategi yang ditemukan sungguh-sungguh memberikan kesembuhan.
Strategi yang ditawarkan oleh Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi untuk memulihkan pendidikan adalah implementasi kurikulum Merdeka Belajar. Untuk itu, dibutuhkan kolaborasi antara pemda dan penentu kebijakan setiap satuan pendidikan sehingga sekolah-sekolah mulai membuka diri pada kurikulum Merdeka Belajar.
Pertanyaannya, kondisi pendidikan seperti apa yang harus segera dipulihkan? Pertanyaan ini urgen untuk memastikan metode apa yang tepat dalam upaya pemulihan tersebut. Apakah upaya pemulihan pendidikan yang dipelopori Nadiem Anwar Makarim dalam seri-seri episode merdeka belajar tepat dan relevan?
Mari buka mata lebar-lebar menengok dan menelisik kondisi pendidikan di negara kita pasca- pandemi Covid-19. Kondisi pendidikan yang dipaparkan berikut ini bisa saja sudah ada dan berkembang sebelum Covid-19. Sebab, berbagai riset menunjukkan bahwa kualitas pendidikan kita memprihatinkan dan menggelisahkan bila dibandingkan negara-negara lain.
Pertama, proses pembelajaran selama ini yang didominasi oleh pembelajaran offline yang digantikan dengan pembelajaran daring mengakibatkan mutu pendidikan menjadi rendah. Artinya, dalam proses pembelajaran itu sharing dan transfer pengetahuan dari pendidik ke peserta didik, dari peserta didik ke sesamanya tidak optimal dan maksimal.
Peserta didik dikondisikan hanya mengalami proses belajar sehingga interaksi, diskusi, kerja proyek, dan lain-lain cenderung dilakukan seada dan sewajarnya saja. Dampaknya, peserta didik mengalami learning loss. Motivasi belajarnya menjadi rendah bahkan tidak ada daya juang dalam diri peserta didik.
Kedua, tingkat literasi dan numerasi peserta didik tergolong rendah. Kondisi ini dapat dibaca dari hasil asesmen nasional yang dilakukan di 259.000 satuan pendidikan SD, SMP, SMA dan SMAK sederajat. Satu atau dua peserta didik belum mencapai kompetensi minimum literasi dan dua atau tiga peserta didik belum mencapai kompetensi minimum numerasi.
Fakta ini berakibat pada karakter peserta didik, yaitu penghargaan pada sesama peserta didik masih rendah. Sering ditemukan praktik intoleransi, perundungan, dan pelecehan kemanusiaan yang menjurus pada seksual.Perilaku yang tidak mencerminkan manusia dan manusiawi. Harkat dan martabat manusia seakan-akan berada di bawah keset kaki.
Ketiga, pembelajaran yang berpusat pada peserta didik belum menjadi habitus dan budaya bagi sekolah. Akibatnya, peserta didik masih tampak seperti boneka dan robot. Dikendalikan sepenuhnya oleh pendidik sehingga emosi dan mental tetap bergantung pada orang lain. Peserta didik seolah-olah berada di tempat penitipan anak.
Kreativitas dan nalar kritisnya tumpul karena selalu diarahkan kendalikan orang lain. Empati, berbelah rasa, cakap bergaul, cakap bicara, dan kemampuan menyelesaikan masalah sangat rendah. Galau dan bingung saat bergelut dalam suatu masalah yang bisa jadi masalah itu biasa-biasa saja.
Keempat, muncul ke permukaan masyarakat ada semacam kastanisasi dalam ekosistem pendidikan. Paradigma yang terkonstruksi dalam pemikiran warga semenjak ada Sekolah Penggerak dan Guru Penggerak yang diperkenankan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi. Akibatnya, bisa terjadi diskriminasi antara sekolah penggerak/guru penggerak dengan sekolah biasa dan pendidik biasa.
Bila tidak diwanti-wanti, pendidikan kita bisa jatuh seperti di zaman kolonial. Indonesia sudah merdeka kuburkanlah penggolongan-penggolongan yang demikian. Semua warga memiliki hak dan kewajiban sama untuk mengenyam pendidikan. Aroma-aroma pendidikan yang mengarah pada pengkotak-kotakan harus lekas dihalau dari bumi Indonesia.
Kelima, minimnya tenaga pendidik yang profesional. Pengangkatan satu juta guru ASN PPPK yang ditargetkan selesai tahun 2022 belum tuntas. Sementara itu, para pendidik sudah dinyatakan lolos tes tahap satu dan dua. Jumlah para pendidik tersebut sebanyak 293.860. Mereka sudah dinyatakan lulus dan berstatus sebagai pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja tahun 2021. Para pendidik itu, menjadi korban dari ekosistem kerja yang belum tuntas dari pemerintahan pusat dan daerah.
Penulis menyadari bahwa kelima persoalan di atas turut mencoreng wajah pendidikan Indonesia yang cerah. Menteri Nadiem Anwar Makarim telah membuka jalan untuk memulihkan kondisi pendidikan Indonesia yang sulit dan memprihatinkan ini dengan mempopulerkan Merdeka Belajar diikuti berbagai episode. Dimulai dengan menghapus ujian sekolah berstandar nasional sampai dengan perluasan program beasiswa Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP). Ini merupakan transformasi pendidikan Indonesia dalam merdeka belajar.