Tribunners
Bergerak Memulihkan Pendidikan
Memulihkan pendidikan dengan strategi merdeka belajar bukan hanya tugas Nadiem Makarim, tetapi juga pemda dan pemimpin di setiap satuan pendidikan
Berbagai kebijakan dalam kurikulum Merdeka Belajar sudah dilakukan dengan semangat tidak melakukan penyeragaman. Agar di mana pun peserta didik tinggal, mereka secara kreatif dan mandiri mendapatkan mutu pendidikan. Perlu disadari sungguh-sungguh bahwa kerja sama antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah harus serius dan komitmen meningkatkan pendidikan yang berkualitas. Kubur dan buang jauh-jauh semua geliat kepentingan yang meracuni anak-anak bangsa.
Pertama, menghidupkan kembali otonomi pendidikan setiap daerah dan mengubur dalam-dalam wajah etatisme pendidikan. Supaya tercapai pendidikan yang inklusif, pro pada masyarakat dan menjangkau seluruh kalangan masyarakat. Kebijakan ini merupakan usaha untuk mendapatkan pemerataan kualitas pendidikan sehingga tidak ada lagi kesenjangan pendidikan di pusat dan daerah, kota, dan desa. Apalagi didukung dengan UUD Pemda dan UU Sisdiknas yang menegaskan bahwa pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan menengah dan dasar merupakan kewenangan pemerintah daerah.
Hanya yang menjadi catatan penting bagi pemerintahan daerah adalah sungguh-sungguh mengoptimalkan sumber daya pendidikan daerah yang berbasis keunggulan dan keberagaman potensi daerah. Termasuk sumber daya manusia berkarakter lokalitas. Jangan sampai potensi besar daerah dibiarkan, tidak dimanfaatkan sehingga implementasi kebijakan otonomi pendidikan hanya indah dan menarik di atas kertas.
Pemerintah daerah tidak perlu gamang sebab dijamin Pasal 51 Ayat (1) UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yaitu otonomi sekolah yang menegaskan manajemen berbasis sekolah dan otonomi guru. Kebijakan ini juga sejalan dengan sistem pendidikan yang baik menurut Ki Hajar Dewantara. Menurutnya, pendidikan hendaknya bersambung dengan alam kebudayaan dan sumber dayanya sendiri (kontinu), konvergen dengan semua aliran kebudayaan, dan bersatu dengan alam kebudayaan umum tanpa menghilangkan kepribadian nasional.
Kedua, menyiapkan tenaga pengajar memiliki etos dan etis yang kuat. Bukan hanya pengajar di sekolah-sekolah penggerak namun pengajar di sekolah biasa. Kebijakan tentang sekolah dan guru penggerak sedang berjalan, cukup mengacaukan pikiran masyarakat. Sepintas seperti ada usaha pemerintah mengotak-ngotakkan tenaga pendidik. Ini tidak baik karena sangat berpengaruh pada pilihan peserta didik untuk sekolah.
Pada satu sisi, peserta didik diajarkan untuk merdeka dalam belajar namun sisi lain, sejak dalam pikiran kebebasan peserta didik untuk sekolah sudah dibelenggu. Boleh jadi peserta didik lebih memilih mengenyam pendidikan di sekolah-sekolah penggerak atau guru penggerak. Konsekuensi logisnya, sekolah bisa terancam punah di negara kita. Sekolah di luar sekolah penggerak bisa jadi seperti dinosaurus di zaman makin canggih dan absurd ini.
Kita seolah-seolah kembali ke pendidikan zaman kolonial. Hidup dikendalikan dan dibelenggu bangsa penjajah. Penting bagi pemerintah menyiapkan tenaga pendidik yang bukan hanya pandai mengajar, tetapi menjadi model lokalitas. Mendidik peserta didik agar tidak tercabut dari lingkungan sosial dan kearifan lokal, memiliki etos kerja yang kuat, menumbuhkan penghormatan pada hukum, ketertiban di masyarakat, kerja sama antar keberagaman peserta didik dan mendorong produktivitas peserta didik.
Ketiga, menyusun strategi transformasi pendidikan, perlu dijaga kesepadanan antara aspirasi dan kapabilitas (opini Yudi Latif dalam Kompas, Rabu 1 Mei 2022). Menurutnya, yang harus dihindari adalah dekonstruksi tak terukur, yang sulit direkonstruksi ulang dalam jangka pendek. Pemegang kebijakan pendidikan, perlu memiliki kemampuan lebih untuk menelaah dan membedah mata rantai terlemah dalam pendidikan saat ini yaitu pendidikan dini dan dasar, dengan memperkuat akar karakter.
Peserta didik sejak dini harus terhindar dari pemaksaan aneka hafalan dan kemampuan literasi, numerik, mendikte, dan metode pembelajaran yang memenjara serta membelenggu eksplorasi anak-anak. Sekolah mengondisikan dan mengutamakan anak tumbuh dalam budaya bermain, interaksi dengan keberagaman temannya, mengeksplorasi alam kehidupan, mengolah ketangkasan dan daya imajinasi.
Bagaimana dengan fokus pendidikan dasar? Pendidikan dasar sesuai dengan namanya diutamakan pendidikan dasar bukan memenuhi tuntutan kurikulum. Pengertian ini hendak disadari dengan sungguh oleh para pemegang kebijakan di setiap satuan pendidikan. Karena dasar, maka fokus pendidikan dasar diharapkan mampu menumbuhkan kecakapan dasar manusia pembelajar; budaya baca, menulis, menghitung, dan menutur.
Keempat ilmu dasar ini harus dikombinasikan dengan empat model pembentukan karakter; olah pikir (critical thinking dan problem solving), olah rasa (spiritual, etika, dan estetika), olahraga (permainan dan ketangkasan kinestetik), dan olah karsa (kemauan/imajinasi). Dengan memiliki keempat model pembentukan karakter ini, peserta didik siap memasuki dunia kehidupan sebagai masyarakat yang baik. Hanya saja pendidik tetap dibekali kemampuan mengidentifikasi kebutuhan dan kepribadian peserta didik.
Memulihkan pendidikan dengan strategi merdeka belajar bukan hanya tugas Nadiem Makarim, tetapi juga pemda dan pemimpin di setiap satuan pendidikan. Oleh sebab itu, ekosistem kerja kolaborasi ketiga pimpinan itu sangat dikedepankan di tengah kondisi pendidikan kita yang memprihatinkan ini. Supaya sekolah-sekolah dengan segala kekurangan dan kelebihannya membuka diri untuk mengimplementasikan kurikulum Merdeka Belajar. Mari bergerak bersama, memulihkan pendidikan kita dengan kurikulum Merdeka Belajar. (*)