Harga Sawit
Ekspor CPO Tersendat Picu Harga Sawit Anjlok, Mendag Minta Pabrik Beli TBS Sawit Minimal Rp 1.600
Kemendag akan mempercepat ekspor CPO agar harga TBS kembali normal mencapai di atas Rp 2.500 per kilogram.
"Jadi kalau ada pabrik kelapa sawit (PKS) yang membeli dengan TBS petani dengan harga rendah harus ditindak. Bukan tidak memungkin agar PKS tersebut ditutup, lalu diambil alih oleh pemerintah, ini levelnya udah level krisis," ujar Henry.
Henry meminta, izin ekspor perusahaan kelapa sawit dicabut juga jika membeli TBS dibawah harga normal. pemerintah.
"Dana segar yang ada di di Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) bisa dialokasikan untuk atasi masa krisis ini, bukan hanya memanjakan korporasi," papar Henry.
Baca juga: Kabar Baik dari Mendag, Harga Sawit Diperkirakan Naik Sebulan Lagi
Sementara itu, Ketua Umum Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) Gulat ME Manurung meminta pemerintah menurunkan bea keluar CPO yang saat ini US$ 288 menjadi US$ 200.
Kemudian, Apkasindo berharap pungutan ekspor dari yang saat ini US$ 200 menjadi US$ 100. Sehingga total beban harga CPO menjadi US$ 350.
Dengan asumsi harga CPO Cif Rotterdarm US$ 1.400 per 23 Juni dan dikurangi beban US$ 350, maka seharusnya harga CPO Indonesia adalah US$ 1.050.
Sehingga, apabila US$ 1.050 dikonversikan ke mata uang rupiah, maka harga CPO Indonesia seharusnya berada di Rp 15.500 per kilogram.
Apkasindo mengatakan, jika ditransmisikan kepada harga TBS petani sawit senilai Rp 3.300 per kilogram TBS.
“Ini lah yang disebut Pak Luhut harga TBS harus di atas tiga ribu," ucap Gulat.
Apkasindo mencatat, harga TBS untuk petani swadaya saat ini hanya dihargai Rp 1.150 per kilogram. Sedangkan untuk petani bermitra sebesar Rp 2.010 per kilogram.
Gulat memgatakan paradoks harga TBS dengan harga CPO di pasar internasional ini karena kebijakan kementerian pelaksana teknis, khususnya terkait penyediaan minyak goreng dan ketentuan ekspor minyak sawit yang tidak efektif.
“Hingga hari ini, harga TBS masih anjlok. Menteri Perdagangan harus bertanggung jawab,” kata Gulat Manurung dalam keterangannya, Jumat (3/6/2022).
Gulat menilai, kebijakan Menteri Perdagangan terkait penyediaan minyak goreng inkonsisten dan tidak efektif. Alih-alih menyelesaikan persoalan minyak goreng, kebijakan yang dikeluarkan justru mematikan masa depan industri sawit nasional.
Beberapa kebijakan yang inkonsisten tersebut, kata Gulat, antara lain peraturan tentang Domestic market obligation (DMO) dan Domestic price obligation (DPO) yang gagal menjadi solusi malah diberlakukan kembali pasca pencabutan pelarangan ekspor.
“Bongkar pasang kebijakan seperti ini pada akhirnya hanya membuat petani sawit sengsara,” kata Gulat.
Baca juga: INILAH 3 Pemicu Rontoknya Harga Sawit Rakyat
