Harga Sawit

Harga Sawit Anjlok Kapan Naik Lagi? Sri Mulyani Jawab dengan Penghapusan Pungutan Ekspor CPO

Harga sawit anjlok diharapkan bisa naik lagi dengan adanya kebijakan penghapusan pungutan ekspor CPO hingga 30 Agustus 2022

Editor: Dedy Qurniawan
TRIBUNNEWS/Jeprima
ilustrasi- Kapan harg sawit naik lagi? Harga sawit anjlok diharapkan bisa naik lagi dengan adanya kebijakan penghapusan pungutan ekspor CPO hingga 30 Agustus 2022 

BANGKAPOS.COM - Ada kabar berita sawit terbaru yang mungkin bisa menjadi angin segar bagi para petani.

Berita sawit terbaru itu berupa kebijakan pemerintah yang mungkin bisa mengatasi persoalan harga sawit anjlok di banyak daerah.

Seperti diketahui, di banyak daerah misal harga sawit di Riau, harga sawit di Kalimantan, harga sawit di Sumatera hingga harga sawiti di Bangka Belitung anjlok beberapa waktu terakhir.

Keadaan itu membuat petani sawit teriak.

Mereka seolah bertanya kapan kejayaan sawit kembali dan kapan harga sawit naik lagi.

Ya, beberapa waktu belakangan harga sawit di tingkat petani masih anjlok.

Merosotnya harga sawit di Sumatera, Kalimantan, Riau, hingga Bangka Belitung pada tingkat petani saat ini dinilai paling rendah hingga di bawah Rp 500 per kilogram.

Pemerintah tengah berupaya memperbaiki harga sawit.

Satu di antaranya menghapus pungutan ekspor minyak kelapa sawit mentah atau crude palm oil (CPO) beserta produk turunannya.

Kebijakan ini diharapkan bisa menjawab pertanyaan banyak petanti sawit yakni "kapan harga sawit naik lagi".

Kebijakan ini diungkapkan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati di sela-sela agenda G20, di Nusa Dua, Bali, Sabtu (16/7/2022), dikutip Bangkapos.com dari Kontan.co.id.

Beleid penghapusan pungutan ekspor CPO dan turunanya ini berlaku hingga 30 Agustus 2022.

Dengan kebijakan ini, maka pemerintah menggratiskan pungutan ekspor CPO selama periode tersebut.

Setelah itu, tarif pungutan ekspor CPO akan berlaku kembali secara progresif.

Ketentuan penghapusan pungutan ekspor CPO dan turunanya ini tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 115/PMK.05/2022, tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 103/PMK.05/2022 tentang Tarif Layanan Badan Layanan Umum Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit pada Kementerian Keuangan.

“PMK ini adalah perubahan atas PMK 103/PMK.05/2022 tentang tarif Badan Layanan Umum (BLU) dana perkebunan sawit menyangkut pajak ekspor yang banyak disampaikan di publik,” tutur Sri Mulyani.

Baca juga: KISAH Pahit Petani Sawit Indonesia: Gadai Emas, Bikin Sayembara Hingga Bakar TBS

Sri Mulyani menjelaskan, aturan penghapusan pungutan ekspor CPO dan turunanya ini memberikan perubahan tarif terhadap seluruh produk tandan buah segar (TBS), kelapa sawit, CPO dan palm oil, serta use cooking oil, juga CPO.

Menurut Sri Mulyani, dalam regulasi tersebut, pajak tarif pungutan ekspor CPO dan turunanya diturunkan menjadi 0 hingga 30 Agustus 2022.

Pajak pungutan ekspor CPO yang digratiskan ini juga berlaku untuk seluruh produk yang berhubungan dengan CPO.

“Ini yang biasanya di collect jadi sumber dana Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS untuk stabilisasi harga,” kata Sri Mulyani.  

Adapun Sri Mulyani mengatakan, aturan ini dikeluarkan sebagai respons pemerintah atas situasi industri kelapa sawit di dalam negeri. Meski begitu, pembebasan pungutan ekspor produk sawit (CPO) dan turunannya ini tidak berlaku permanen.

Ia menambahkan, pada 1 September 2022, pemerintah memberlakukan skema tarif pungutan ekspor CPO dan turunnya yang progresif.

Artinya, jika harga CPO global turun, tarif pungutan ekspor juga akan turun dan murah. Sebaliknya, jika harga CPO global naik, tarif pungutan ekspor ikut naik.

Sebelumnya, permasalahan pungutan ekspor CPO menjadi sorotan karena dianggap ikut membebani petani kelapa sawit di tengah anjloknya harga TBS sawit.

Petani kelapa sawit menilai, pungutan ekspor akan menjadi penghambat upaya untuk kembali mendongkrak ekspor CPO usai dilarang Presiden Jokowi beberapa waktu lalu. Dengan belum pulihnya ekspor CPO ini membuat harga TBS sawit yang tengah ambruk sulit untuk merangkak naik.

Masalah pungutan ekspor CPO ini menjadi sorotan berapa pihak, termasuk Menteri Koordinator bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan. Luhut meminta Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati untuk menurunkan pajak ekspor minyak kelapa sawit ini.

Tujuannya tak lain adalah untuk menggenjot tingkat ekspor CPO yang tengah mempengaruhi harga tandan buah segar (TBS) petani lokal. Luhut mengaku telah menghubungi Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati guna merealisasikan tujuannya itu. Ia menyebut ini jadi bentuk insentif bagi pelaku ekspor minyak kelapa sawit.

Baca juga: Petani Sawit Teriak, Harga Sawit Anjlok, Pupuk Subsidi Malah Dihapus

Luhut meyakini, harga TBS petani yang murah saat ini imbas dari sektor hulu yang masih tersendat. Salah satunya mengenai kegiatan ekspor crude palm oil (CPO) yang masih tertahan.

"Kalau itu lancar kita harapkan TBS akan membaik, tapi nggak cukup itu aja. Itu lancar supaya lancar kita mungkin kita akan menurunkan (pajak ekspor)," jelas Luhut.

Bahkan Ketua Umum Asosiasi Petani Plasma Kelapa Sawit Indonesia (APPKSI) MA. Muhammadyah menyatakan yang diinginkan petani saat ini bukan hanya sekedar penurunan tarif pungutan ekspor, melainkan kebijakan ini harus dihapus.

"Bukan penurunan pungutan ekspor CPO tapi penghapusan Pungutan Ekspor CPO yang agar harga TBS bisa kembali naik setelah jatuh hingga di bawah Rp 1.000 per kg, di mana sebelum di kisaran Rp 3.500 per kg," kata dia, Rabu (13/7).

Menurut Muhammdyah, jika pungutan ekspor ini masih ada, maka masih akan membebani harga TBS sawit petani. Sebab, pabrik kelapa sawit (PKS) tidak mau memikul pungutan ekspor tersebut sendirian.

"Sebab jika masih ada pungutan ekspor CPO akan tetap dibebankan pada harga TBS petani oleh PKS (pabrik kelapa sawit) nantinya," lanjut dia.

Oleh sebab itu, APPKSI berharap agar Sri Mulyani menghapuskan pungutan ekspor CPO. Terlebih selama ini petani menilai jika pungutan ekspor hanya digunakan untuk mensubsidi Industri Biodiesel yang juga memiliki perkebunan sawit besar dan PKS yang besar.

Sebelumnya, Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Dr Hamdan Zoelva ikut meminta pemerintah untuk menghentikan sementara pungutan ekspor sawit.

"Petani sawit sudah menjerit dan meminta agar pungutan ekspor dihentikan karena imbasnya ke harga TBS. Hentikan dulu pungutan ekspor dan penggunaan dana yang dihimpun BPD PKS untuk biodiesel," tegasnya.

Selain itu, dia juga menilai alokasi dana yang dihimpun Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit ( BPDPKS ) tersebut perlu dievaluasi.

Menurut Hamdan, Undang-undang no 39 tentang Perkebunan memang membolehkan adanya penghimpunan dana dari pelaku usaha perkebunan.

Namun tidak ada peruntukan bagi subsidi biodiesel. Dalam pasal 93 penggunaannya untuk pengembangan sumber daya manusia, penelitian dan pengembangan, promosi Perkebunan, peremajaan, Tanaman Perkebunan, dan/atau sarana dan prasarana Perkebunan.

Dalam perkembangan berikutnya, lanjut Hamdan, lahir PP No. 24, tanggal 25 Mei 2015 tentang Penghimpunan Dana Perkebunan.

Dalam pasal 9 diatur penggunaan dana, salah satunya untuk bahan bakar nabati (biofuel). Di luar itu, juga digunakan pengembangan Perkebunan, pemenuhan hasil Perkebunan untuk kebutuhan, dan hilirisasi industri Perkebunan.

"Dari aturan tersebut jelas, dana pungutan ekspor bukan hanya untuk biodiesel. Tapi prakteknya mayoritas untuk subsidi biodiesel. Artinya dana yang dihimpun tidak kembali ke petani, khususnya untuk pengembangan sember daya manusia dan replanting," tegasnya.

Hamdan mengingatkan bahwa tahun 2017 Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pernah merilis pernyataan tentang potensi korupsi pungutan ekspor sawit.

"Subsidinya salah sasaran. Dinikmati oleh korporasi besar yang oknum pejabatnya tersangkut kasus korupsi minyak goreng," pungkasnya.

Baca juga: Harga Sawit Anjlok, Timah Murah, Anak Mau Sekolah, Emak-emak di Bangka Belitung Harus Rela Jual Emas

Sebelumnya, dua organisasi petani sawit yakni Asosiasi Petani Plasma Kelapa Sawit Indonesia (APPKSI) dan Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (APKASINDO) meminta pemerintah bertindak cepat melakukan pencabutan aturan penghambat ekspor dan kebijakan pungutan ekspor.

Hal tersebut selain berdampak pada rendahnya penyerapan TBS sawit petani juga pada anjloknya harga jual.Menurut Ketua Umum Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) Gulat Manurung (9/7) harga TBS yang ditetapkan oleh Dinas Perkebunan adalah Rp2.392 per kg, ini rata-rata terhadap 22 provinsi penghasil sawit. Namun, harga riil pembelian di tingkat petani lebih rendah dan turun terus.

"Umumnya petani sekarang mengambil kebijakan tidak memanen. Upah memanen hingga pengiriman itu lebih mahal. Sekarang harga 1 kg TBS nggak cukup bayar parker, kan kejam sekali," tukas Gulat.

Harga pembelian per kilogram TBS pada 4 Juli 2022 rata-rata Rp 916 di petani swadaya dan Rp 1.259 di petani plasma/ bermitra. Pada 5 Juli 2022, harga itu turun menjadi Rp 898 di petani swadaya dan Rp 1.236 di petani bermitra/ plasma. Harga kembali turun pada 6 Juli 2022, menjadi Rp 811 di petani swadaya dan Rp 1.200 di petani mitra/ plasma. 

Petani Sawit Surati Presiden

Sebelumnya, Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) sempat  melayangkan surat terbuka kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyusul harga TBS kelapa kelapa sawit anjlok di sejumlah wilayah Indonesia.

Dalam surat terbuka tersebut Apkasindo memaparkan bahwa kondisi petani saat ini sangat memprihatinkan karena harga TBS kelapa sawit di PKS berada pada angka rata-rata Rp 800 per kilogram untuk petani swadaya dan Rp 1.200 per kilogram untuk petani bermitra.

Harga TBS kelapa sawit ini akan lebih rendah jika petani sawit menjualnya ke pedagang pengumpul, yaitu kisaran Rp 300-600 per kilogram TBS.

Padahal biaya produksi (HPP) saat ini sudah mencapai Rp 1.850-Rp 2.250 per kilogram dimana enam bulan lalu biaya produksinya hanya Rp 1.200 per kilogram.

Akibat harga TBS kelapa sawit anjlok, mengakibatkan terganggunya aspek ekonomi, sosial, terkhusus didaerah sentra perkebunan kelapa sawit rakyat.

"Hasil pengamatan kami juga menunjukkan sektor usaha lain juga sangat terdampak, akibat melemahnya daya beli dan pendapatan petani sawit. Perbankan, property, otomotif dan sektor industry lainnya juga ikut terdampak sehingga secara keseluruhan sudah mengganggu keberlangsungan ekonomi nasional," isi surat tersebut, Jumat (15/7/2022), dikutip dari Kompas.com.

Dalam surat terbuka tersebut Apkasindo juga meminta Jokowi melakukan lima langkah strategis agar menyeimbangkan antara ketersediaan, kebutuhan dan keterjangkauan minyak goreng dengan tatakelola perkelapasawitan Indonesia.

Pertama, mencabut domestic market obligation (DMO), domestic price obligation (DPO), dan Flush Out (FO) untuk crude palm oil (CPO). Apkasindo menilai ketiga kebijakan itu sudah tidak efektif pada saat ini.

Kedua, memerintahkan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) untuk meniadakan Pungutan Ekspor (PE) dan Bea Keluar (BK) untuk sementara waktu. Atau paling tidak menurunkan tarif PE, BK, dan menghapus FO.

Asumsi yang digunakan adalah jika beban CPO sudah diturunkan maka harga CPO domestik akan terangkat, harga TBS kelapa sawit kembali baik, ekspor akan kembali lancar, dan kondisi saat ini harga minyak bumi di atas harga CPO.

Ketiga, menjaga harga CPO global agar tidak terkoreksi akibat ekspor CPO Indonesia. Oleh karena itu Apkasindo menyarankan supaya pemerintah meningkatkan konsumsi CPO dalam negeri melalui memberlakukan mandatori Biodiesel dari B30 ke B40.

Baca juga: Harga Sawit Anjlok Terendah Sepanjang Sejarah, Kapan Harga Sawit Naik Lagi? Ini Kata Pemerintah

Hal ini dapat dilakukan supaya ketersediaan CPO dalam negeri yang diperkirakan mencapai 7 juta ton bisa segera terserap paling tidak 3 juta ton untuk peningkatan dari B30 ke B40.

Keempat, meminta Jokowi memerintahkan Kementerian Perdagangan (Kemendag), Kementerian Pertanian (Kementan), dan Kementerian BUMN melakukan pengawasan melekat kepada PT Kharisma Pemasaran Bersama Nusantara (KPBN).

"Supaya proses tender di KPBN patuh terhadap harga referensi Kementerian Perdagangan sebagaimana diatur dalam Permendag No.55 Tahun 2015 dan memastikan tidak ada yang mengambil keuntungan sepihak di masa pemulihan ini," sambung surat itu.

Terakhir, Apkasindo meminta Jokowi untuk memerintahkan Kementerian Pertanian (Kementan) untuk segera merevisi Permentan 01 Tahun 2018 tentang Tataniaga TBS. Pasalnya, Permentan ini hanya diperuntukkan bagi petani yang bermitra.

Faktanya luas kebun petani yang bermitra tidak lebih dari 7 persen dari total luas perkebunan rakyat, yakni 6,72 juta hektar.

"Sisanya adalah petani swadaya yang melakukan usaha taninya secara mandiri dan menggunakan harga referensi Kemendag untuk menjadi referensi perhitungan TBS," tulis surat tersebut.

Adapun surat terbuka itu telah ditandatangani oleh Ketua Umum Apkasindo Gulat Manurung dan Sekretaris Jenderal Apkasindo Rino Afrino.

(Kontan.co.id/Siti Masitoh/Tendi Mahadi/Kompas.com/Elsa Catriana)

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved