Anas Urbaningrum Bebas
Kilas Balik Anas Urbaningrum dan Kasusnya Pada Proyek Wisma Atlet Hambalang
Anas Urbaningrum adalah politikus sekaligus mantan Ketua Umum Partai Demokrat bebas dari penjara pada Selasa (11/4/2023). Simak kilas balik kasusnya.
Penulis: Dedy Qurniawan CC | Editor: Dedy Qurniawan
BANGKAPOS.COM - Setelah menjalani vonis 8 tahun penjara, Anas Urbaningrum akhirnya bebas pada Selasa (11/4/2023) ini.
Bagi yang belum tahu, Anas Urbaningrum adalah politikus yang sempat jadi mantan Ketua Umum Partai Demokrat pada 2010-2013 lalu tersangkut korupsi proyek wisma atlet Hambalang.
Ya, kasus Anas Urbaningrum yang membuatnya berakhir di penjara adalah korupsi proyek wisma atlet Hambalang.
Proyek ini adalah pembangunan Pusat Pendidikan, Pelatihan dan Sekolah Olahraga Nasional (P3SON) di Bukit Hambalang, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, sampai sekarang masih mangkrak.
Proyek yang digagas era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) ini setidaknya membuat negara merugi ratusan miliaran rupiah.
Beberapa nama yang ikut terseret dalam kasus mega korupsi ini adalah mantan Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum, mantan Bendahara Partai Demokrat Muhammad Nazaruddin, mantan Kemenpora Andi Mallarangeng, hingga Angelina Sondakh.
Pembangunan mega proyek tersebut sebelumnya telah mendapatkan izin dari Bupati Bogor dengan Nomor 591/244/Kpts/Huk/2004 pada 19 Juli 2004 tentang penetapan lokasi pembangunan gedung Pusat Pendidikan dan Latihan Olahraga Pelajar nasional (PLOPN).
Adapun luasnya kurang lebih 30 hektare atas nama Dirjen Olahraga Departemen Pendidikan Nasional.
Pada 2004, sudah dimulai pembangunan masjid, asrama, infrastrukstur dan pagar.
Tahun 2006 dianggarkan dan dilaksakan pembuatan master plan dan maket.
Rencananya wisma untuk para atlet internasional ini mencangkup sarana dan prasarana meliputi gedung serbaguna, masjid, pusat kesehatan, rehabilitasi dan pusat kebugaran, dua lapangan sepakbola, plaza, gedung penunjang, asrama dan cafetaria, tenis indoor, basket indoor, basket dan tenis outdoor, kolam renang, hall angkat besi dan angkat beban, hall senam dan gulat, lapangan latihan atletik, lapangan panahan, gedung wushu dan parkir.
Tahun 2007 diusulkan perubahan nama, dari PLOPN menjadi Pusat Pembinaan dan Pengembangan Prestasi Olahraga Nasional dengan pemrakarsa Kemenpora.
Namun, pembangunan tersebut terhenti karena banyak ditemukan kasus-kasus korupsi yang melibatkan Partai Demokrat, partai bentukan SBY yang kala itu menjabat sebagai Presiden RI.
Mega Proyek tersebut berujung pada penangkapan sejumlah elite Partai Demokrat.
Mereka di antaranya adalah mantan Ketua Umum Partai Demokrat, Anas Urbaningrum; mantan Menpora, Andi Mallarangeng; dan mantan anggota DPR, Angelina Sondakh.
Negara Rugi Rp 463,66 M
Melansir bpk.go.id, dari data Laporan Kerugian Negara yang dirilis Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), negara merugi Rp 463,66 M dari pembangunan proyek Hambalang.
“Hari ini kita tadi telah bisa menyelesaikan perhitungan kerugian negara atas kasus Hambalang yang tadi kami secara formal bertemu dan hari ini kami serahkan ke Ketua KPK. Kerugian negara resmi Rp 463,66 miliar,” kata Ketua BPK Hadi Poernomo, Rabu (4/9/2013).
Menurut Hadi Poernomo, kerugian negara ini diakibatkan karena gagalnya pelaksanaan pembangunan proyek Hambalang.
Adapun kontrak pembangunan Hambalang senilai Rp 1,25 triliun.
Namun, negara baru mengeluarkan uang sebesar Rp 471 miliar.
Akan tetapi, masih ada sisa uang sebesar Rp 8 miliar sehingga kerugian negara menjadi Rp 463,66 miliar.
“Ini semua termasuk pengadaan barang jasa. Ini total loss, bukan partial loss. Kesemuanya kasus Hambalang (pada tahun anggaran) 2010-2011, kerugiannya Rp 463,66 miliar,” kata Hadi.
Proyek Grusa-grusu, Tak Ada Manfaat
Wakil Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Arsul Sani menilai proyek Hambalang ini adalah proyek grusa-grusu.
Pernyataan ini diungkapkan Arsul Sani, menanggapi tuduhan Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) yang sebelumnya menyebut kebijakan Pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) grasa-grusu.
"Jadi bicara grasa-grusu maka proyek Hambalang itu justru lebih nyata grasa-grusunya," ujar Arsul Sani.
Lebih lanjut, ia juga menyinggung kebijakan deforestasi atau pelepasan kawasan hutan yang luar biasa luasnya untuk membangun proyek Hambalang ini.
Arsul Sani juga mempertanyakan nilai kemanfaatan proyek mangkrak ini bagi rakyat.
"Itu juga bisa dipertanyakan manfaatnya bagi rakyat kecil dan bagi preservasi lingkungan hidup kita," ungkap Arsul Sani.
Ibas Anak SBY Disebut Terlibat
Ketua Dewan Kehormatan Partai Demokrat versi Kongres Luar Biasa ( KLB) yang kala itu digelar di Sumatera Utara (Sumut), Max Sopacua, menyebut nama Edhie Baskoro Yudhoyono alias Ibas terlibat dalam kasus tersebut.
Dijelaskan Max, Ibas juga menjadi salah satu pihak yang juga menerima bagian dalam pembagian nilai korupsi ini.
"Anas Urbaningrum itu bagian yang tidak terlepas sekalipun beliau ditetapkan tersangka. Kalau kita menyampaikan, Pak Anas dapat berapa? Ibas dapat berapa? Dan yang lain itu dapat berapa, itu panjang nantinya," ujar Max dikutip dari TribunnewsBogor.com, Kamis (25/3/2021).
Sejumlah orang yang terlibat kasus itu telah menjalani proses hukum.
Pihaknya menyebut nama Andi Mallarangeng yang saat itu menjabat sebagai Menteri Pemuda dan Olahraga, anggota DPR Fraksi Partai Demokrat Angelina Sondakh, hingga Bendahara Umum Partai Demokrat Nazarrudin.
Namun, anak SBY ini tak tersentuh hukum.
Meskipun, pada saat sidang, banyak saksi kasus korupsi Hambalang yang menyebut namanya.
"Yang kita pertanyakan yang lain, yang tidak disentuh hukum. Itu persoalannya. Kalau ditanya kenapa kami konferensi pers di Hambalang, substansinya adalah kami tidak melupakan sejarah."
"Ya masih Ibas sendiri belum diraba. Ibas sudah disebutkan saksi berapa banyak," jelas Max.
Baca juga: Anas Urbaningrum Akan Bikin Kejutan di Hari Kebebasannya
Demokrat Lepas Tangan
Partai Demokrat tak mau disalahkan dalam kasus tindak pidana korupsi proyek Hambalang.
Kepala Badan Pembinaan Organisasi, Kaderisasi, dan Keanggotaan (BPOKK) DPP Partai Demokrat, Herman Khaeron justru menyalahkan pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang tak menganggarkan untuk melanjutkan proyek tersebut.
"Hambalang itu ya sebetulnya menurut saya itu jangan dilimpahkan terus. Yang bersalah itu pemerintahan selanjutnya karena pemerintahan selanjutnya tidak menganggarkan," ujar Herman, Sabtu (11/3/2023).
Menurut Herman, proyek Hambalang sejatinya bisa saja diselesaikan dalam sisa masa kerja Presiden SBY.
Namun, saat itu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mencegah untuk melanjutkan proyek Hambalang tersebut.
"Dulu sebetulnya kalau tidak dicegah oleh KPK untuk dilanjutkan sudah selesai Hambalang itu. Diselesaikan oleh pemerintah. Tentu para pelakunya sudah dihukum melalui mekanisme hukum," ungkap Herman.
Oleh karena itu, Herman meminta semua pihak tidak terus menggulirkan kasus proyek Hambalang ke arah partai Demokrat terus-menerus.
Kata Anas Urbaningrum Kala Itu
Terpidana kasus korupsi Wisma Atlet Hambalang, Anas Urbaningrum akan menghirup udara bebas pada Selasa (11/4/2023) hari ini.
Ia sudah menjalani masa tahanan selama delapan tahun di Lapas Sukamiskin, Bandung.
Mantan Ketua Umum Partai Demokrat itu dinyatakan bersalah serta terbukti korupsi menerima hadiah dan tindak pidana pencucian uang.
Terkait sosok Anas Urbaningrum, maka awam akan diingatkan dengan ucapannya yang penuh kontroversi.
Anas Urbaningrum pernah sesumbar siap digantung di Monas jika menerima uang satu rupiah pun dari proyek Hambalang.
Ucapan siap digantung di Monas itu dikatakan Anas pada 9 Maret 2013 saat masih memimpin Partai Demokrat.
Nama Anas disebut oleh mantan bendahara Partai Demokrat, Muhammad Nazaruddin sebagai orang yang paling bertanggung jawab dalam kasus proyek Hambalang, Bogor.
Nazaruddin menyebut pengambilan uang itu tak lain untuk pemenangan Anas Urbaningrum untuk menjadi calon Ketum Demokrat.
Gerah karena namanya terus dikaitkan, Anas Urbaningrum kembali menegaskan tak terlibat sedikit pun dalam kasus itu.
"Saya yakin. Yakin. Satu rupiah saja Anas korupsi di Hambalang, gantung Anas di Monas," ujar Anas di Kantor DPP Demokrat, Jakarta Pusat.
Ia juga mengatakan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak perlu repot-repot mengurusi kasus Hambalang karena kasus itu hanya isu yang beredar di publik.
Ia menganggap pernyataan Nazaruddin yang pertama kali menyebut Anas terlibat dalam kasus itu sebagai ocehan dan karangan semata.
"Saya tegaskan, ya, KPK sebetulnya tidak perlu repot-repot mengurus soal Hambalang."
"Mengapa? Karena itu, kan, asalnya ocehan dan karangan yang tidak jelas. Ngapain repot-repot," ujarnya, dikutip dari Kompas.com.
Namun akhirnya, Anas ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK terkait kasus korupsi proyek Hambalang pada 22 Februari 2013.
Ia diduga menerima pemberian hadiah berupa Toyota Harrier terkait Hambalang.
KPK telah memulai penyelidikan aliran dana Hambalang ini sejak pertengahan 2012.
Sehari kemudian, ia memutuskan berhenti dari jabatannya sebagai Ketua Umum DPP Partai Demokrat.
Terkait ucapan siap digantung di Monas, Anas menyatakan kata-kata itu bukan ungkapan spontan, melainkan sudah dipikirkan secara matang sebelum dilontarkan ke publik.
"Saya berpikir dulu dan saya yakin itu didasarkan pada keyakinan," kata Anas saat wawancara dengan Kompas TV pada 28 Februari 2013.
Anas kembali menegaskan, ucapan itu dikatakannya sebab ia yakin tidak terlibat dalam kasus Hambalang.
"Tetapi, ya kalau mau dicari-cari, dihubung-hubungkan silakan saja. Tapi, saya yakin betul tidak ada kaitan apa-apa dengan apa yang disebut sebagai proyek Hambalang," tegasnya.
Berkali-kali pernyataan ini dipertanyakan, Anas tetap kukuh dengan jawabannya.
Mantan Ketua PB HMI itu terus menjawab 'yakin' dengan singkat.
Setelah menjalani sejumlah persidangan, Anas pun dinyatakan bersalah dalam kasus korupsi proyek Hambalang oleh majelis hakim.
Anas Urbaningrum dijatuhi vonis delapan tahun penjara dan denda Rp 300 juta oleh Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta.
Tak hanya itu, tanah Pondok Ali Ma'sum di Krapyak, Yogyakarta seluas 7.870 meter persegi yang disebut-sebut merupakan hasil korupsi, disita.
Anas juga wajib membayar uang pengganti yang dijatuhkan pengadilan, yakni Rp 57.592.330.580 dan 5.261.070 dolar AS atau setara Rp 62 miliar.
Bila tidak mau membayar, asetnya disita. Bila masih tidak cukup, diganti dua tahun kurungan.
Ia pun mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi DKI Jakarta atas vonis tersebut.
Oleh PT DKI Jakarta, pada Februari 2015, vonis Anas Urbaningrum berkurang dari delapan tahun penjara, menjadi tujuh tahun.
Tanahnya di Krapyak, Yogyakarta pun dikembalikan karena dinilai untuk kepentingan umat.
Namun, ia tetap diwajibkan membayar denda Rp300 juta subsider tiga bulan.
Meski vonisnya telah diringankan, Anas Urbaningrum mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung (MA).
Namun, MA menolak kasasi Anas Urbaningrum dan justru memperbanyak masa hukumannya dua kali lipat menjadi 14 tahun.
Vonis ini diputuskan oleh Hakim Agung Almarhum Artidjo Alkostar pada Juni 2015.
Terkait semakin berat vonisnya itu, Anas Urbaningrum mengajukan peninjauan kembali (PK) pada 2018, setelah Artidjo pensiun.
Hasilnya, vonis Anas Urbaningrum disunat MA menjadi delapan tahun penjara.
Saat mengajukan PK, Anas sempat kembali menyinggung ucapannya soal gantung di Monas.
Ia tetap bersikukuh tidak menerima uang sepeser pun dalam kasus korupsi proyek Hambalang.
Profil Anas Urbaningrum
Anas Urbaningrum lahir di Blitar, Jawa Timur pada 15 Juli 1969.
Sehingga saat ini, ia berumur 53 tahun.
Dalam kehidupan pribadi, Anas Urbaningrum menikah dengan Athiyyah Laila dan dikarunia empat anak.
Anas Urbaningrum menempuh pendidikan dari SD hingga SMA di Kabupaten Blitar.
Setelah lulus dari SMA 1 Srengat, ia masuk ke Universitas Airlangga, Surabaya, melalui jalur Penelusuran Minat dan Kemampuan (PMDK) pada 1987.
Di kampus ini, ia belajar di Jurusan Politik, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, hingga lulus pada 1992.
Anas melanjutkan pendidikannya di Program Pascasarjana Universitas Indonesia dan meraih gelar master bidang ilmu politik pada 2000.
Anas Urbaningrum termasuk sosok yang aktif di organisasi.
Saat di bangku kuliah, Anas bergabung dengan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI).
Ia sempat menjadi Ketua Umum Pengurus Besar HMI pada kongres yang diadakan di Yogyakarta pada 1997.
Era Reformasi 1998, Anas menjadi anggota Tim Revisi Undang-Undang Politik atau Tim Tujuh yang menjadi salah satu tuntutan Reformasi.
Setahun kemudian, ia menjadi anggota Tim Seleksi Partai Politik atau Tim Sebelas pada Pemilu 1999.
Tugas Anas dkk saat itu adalah memverifikasi kelayakan partai politik untuk ikut dalam pemilu.
Total ada 48 partai yang berhak mengikuti Pemilu 1999.
Kemudian, Anas juga menjadi anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) periode 2001-2005 yang mengawal pelaksanaan Pemilu 2004.
Setelah mengundurkan diri dari KPU pada 8 Juni 2005, Anas Urbaningrum merapat dan bergabung dengan Partai Demokrat.
Di partai berlambang Mercy itu, Anas didaulat menjadi Ketua Bidang Politik dan Otonomi Daerah.
Partai inilah yang akhirnya mengantarkan Anas Urbaningrum lolos ke Senayan pada Pemilu 2009 dengan perolehan suara sebanyak 178.381 suara.
Ia maju mewakili dapil Jawa Timur VII meliputi Kota Blitar, Kabupaten Blitar, Kota Kediri, Kabupaten Kediri, dan Kabupaten Tulungagung.
Sekira satu tahun di DPR, Anas Urbaningrum mengundurkan diri pada 23 Juli 2010 karena terpilih menjadi Ketua Umum Partai Demokrat.
Saat itu, Anas mengalahkan dua koleganya yaitu Andi Mallarangeng dan Marzuki Alie dalam kongres ke-2 Partai Demokrat di Bandung.
(Tribunnews.com/Sri Juliati/Rizki Sandi Saputra//Galuh Widya Wardani/Fersianus Waku/ Igman Ibrahim/(Kompas.com) (TribunnewsBogor.com/Vivi Febrianti/ Dedy Qurniawan)
| Perlakuan Anas Terhadap Angelina Sondakh saat Mereka Sama-sama Dipenjara |
|
|---|
| Isi Pidato Anas Urbaningrum Usai Bebas dari Lapas Sukamiskin, Buktikan Tak Mati Membusuk di Penjara |
|
|---|
| Anas Urbaningrum Bebas, Ini Profil dan Perjalanan Kasusnya |
|
|---|
| Bebas dari Penjara, Anas Urbaningrum Ingin Sungkem dan Minta Doa pada Orang Tuanya di Blitar |
|
|---|
| Kilas Balik Kasus Anas Urbaningrum Hingga Mantan Ketua Umum Demokrat Bebas Setelah 8 Tahun Dipenjara |
|
|---|

Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.